Kalau berkunjung ke Kampung Kentingan Baru, Jebres, Solo, kalian akan bertemu Jamin. Ia adalah lelaki berusia senja yang dengan sisa-sisa tenaganya masih sanggup berjuang mempertahankan tanahnya.
Jamin tidak sendiri. Kampung tersebut dihuni oleh 50-an warga dari belasan kartu keluarga (KK), termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka tinggal di bangunan berdinding triplek, bertiang bambu, serta memanfaatkan terpal atau seng sebagai atapnya.
Saat siang hari, Jamin dan warga lainnya beraktivitas seperti biasa. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, membuka usaha bengkel kecil-kecilan, dan ada juga yang sibuk mengurus anak mereka di rumah.
Namun saat malam tiba, jangan berharap tidur nyenyak. Binatang melata seperti ular dan biawak bisa datang kapan saja; masuk ke dalam rumah yang memang punya rongga sana-sini.
“Ular paling sering. Saya malah pernah membunuh ular hijau,” kisah Jamin, kepada Mojok, Minggu (16/2/2025)

Saya sendiri, dengan mata kepala, baru saja menjumpai biawak seukuran buaya saat tengah berkeliling Kampung Kentingan Baru. Kira-kira 1,5 meter panjangnya. Saya kira, binatang yang saya jumpai tadi langka. Nyatanya, Jamin bilang kalau binatang seperti itu memang kerap dijumpai di sini.
“Dulu bahkan ada yang sampai meninggal karena digigit tikus. Infeksi,” ungkapnya, menceritakan kisah mencekam lainnya.
Janji politik bagi warga Kentingan Baru
Secara geografis, letak Kampung Kentingan Baru amat strategis. Lokasinya persis berada di samping Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Bahkan, dinding tembok kampung menjadi pembatas teritori dengan Fakultas Pertanian UNS.
Makanya, sangat menjadi ironi bahwa ada kampung di tengah kota dan berbatasan langsung dengan universitas elite, tapi kondisi lingkungan dan warganya amat memprihatinkan.

Secara historis, Kampung Kentingan Baru berdiri sekitar 1999-2000. Masyarakat membangun kampung ini karena janji politik Walikota Soloa periode 2000-2005, Slamet Suryanto. Kala itu, Slamet menjanjikan tanah kepada para relawannya yang belum memiliki tanah apabila dia menang.
Jamin sendiri merupakan salah satu relawan Slamet pada masa tersebut.
“Saya ini termasuk orang yang membabat alas di sini. Dulu kondisinya benar-benar masih kayak kebun, sebelum kami bangun permukiman,” kata Jamin.
Tanah yang kemudian hari menjadi Kampung Kentingan Baru itu merupakan tanah negara yang telantar. UU Pokok Agraria menyebut bahwa tanah negara yang dikuasai masyarakat dan didirikan perkampungan sekurang-kurangnya selama 20 tahun, maka itu menjadi hak warga yang menempatinya.
“Kalau ikut undang-undang, kami harusnya sudah dapat sertifikat. Pak Slamet dulu juga menjanjikan sertifikat, tapi sampai beliau purna jabatan, diganti Pak Rudy, Jokowi, sampai Mas Gibran, nggak ada sertifikat. Malah tanah ini dipermasalahkan.”
Ada individu yang mengklaim tanah Kentingan Baru
Awalnya, Jamin dan masyarakat Kentingan Baru hidup dengan nyaman. Meski sertifikat belum kunjung diterbitkan oleh Wali Kota Slamet Suryanto, setidaknya mereka sudah memiliki tempat tinggal.
Sayangnya, pada 2003, ada pihak yang mengklaim bahwa tanah Kentingan Baru adalah miliknya. Menurut pengklaim itu, Kentingan Baru merupakan tanah dari beberapa individu yang tidak digunakan, sehingga dibiarkan terlebih dahulu. Namun, ketika warga meminta sertifikat aslinya, mereka tidak mampu menunjukkan.
Pada 2009, salah satu pihak pengklaim tanah mengajukan gugatan ke pengadilan atas tanah. Namun, gugatan dinyatakan tidak terima karena tidak mengetahui batas tanahnya secara pasti.
Sialnya, pada kurun 2011-2012, pengklaim tanah dibantu pemerintah Kota Surakarta–saat itu dipimpin Jokowi–merelokasi warga Kentingan Baru. Beberapa warga dipindahkan ke lahan dekat TPA Putri Cempo–bau sampah sangat menyengat di sana.

Relokasi ini tidak sepenuhnya berhasil karena masih banyak warga yang menolak. Warga yang menolak, termasuk Jamin, ingin masalah Kentingan Baru diselesaikan melalui pengadilan.
Digusur paksa polisi dan preman
16 Desember 2018 barangkali menjadi tanggal yang tak akan pernah dilupakan Amin (25), anggota League of Social Studies and Research (LSSR), yang kala itu ikut mendampingi warga Kampung Kentingan Baru. Kabar soal penggusuran paksa sudah terdengar sejak jauh-jauh hari.
Pukul 8 pagi, polisi bersama satpol PP, TN, Linmas, dan anjing sudah berkumpul di Rusun Jurug yang berada di seberang Kampung Kentingan Baru.
Tak lama berselang, sekitar 150 orang yang mengaku dari ormas juga datang. Mereka langsung berbaris menghadap ke warga kampung yang tengah berjaga.
“Kami sudah menanyakan surat tugas ke polisi, tapi mereka tak ada yang mampu menunjukkannya,” kata Amin, saat Mojok temui di Kentingan Baru, Minggu (16/2/2025).
Ia menggambarkan, situasi kala itu sudah seperti perang. Warga yang berusaha mempertahankan tanah mereka, kudu berhadapan dengan aparat negara juga preman.
Aksi saling dorong pun terjadi. Sejak pukul 10, bentrokan tak terhindarkan. Saat itu, Amin yang berusaha menyelamatkan mahasiswa dari perilaku pelecehan preman, beberapa kali juga kena pukul.

Aksi berakhir chaos dan tercatat ada lima rumah warga yang dirobohkan. Penggusuran paksa ini dipicu karena dialog antara warga Ketingan Baru dengan pihak pengklaim tanah tak menemui titik temu. Warga menginginkan persoalan diselesaikan via pengadilan, sementara pengklaim ingin rampung secara instan lewat relokasi.
“Bukannya dialog, malah polisi, preman, dan becho yang datang,” ucap Amin.
Polisi makin bar-bar, 200-an warga terusir
Setahun berselang, tepatnya pada 7 November 2019, penggsuran paksa kembali terjadi. Warga yang pernah punya pengalaman pahit sebelumnya, sudah bersiap. Mereka membentengi kampung dengan bambu.
Namun, polisi dan preman yang datang juga lebih banyak. Mereka bahkan bersikap lebih agresif. Jamin mengingat, saat itu jeritan warga terdengar di mana-mana. Mereka, yang berani melawan, hanya mempersenjatai diri dengan batu.
“Perut saya kena tendang beberapa kali, Mas. Sampai seminggu masih terasa nyerinya,” kata Jamin.
Selain dipukul, banyak warga dan mahasiswa yang bersolidaritas juga ditangkap. Ada ratusan rumah di empat blok yang dihancurkan paksa oleh polisi dan preman. 200 warga juga terusir. Mereka memilih bersedia direlokasi karena takut dan trauma dengan penggusuran paksa itu.

“Kalau saya memilih bertahan karena ini memang hak saya, Mas. Kami kalau diadu di pengadilan, selalu memang karena posisinya memang benar. Hanya saja polisi-polisi lebih pro ke para mafia tanah,” ujar Jamin dengan nada meninggi.
“Mereka bilang, ‘Pak Jamin, kamu itu bisa dibunuh kapan saja’, jujur saya nggak takut karena posisi saya benar.”
Penggusuran inilah yang menyebabkan 50-an warga Kampung Kentingan Baru, termasuk Jamin, saat ini harus hidup dalam keterbatasan. Mereka hanya bisa membangun rumah-rumah darurat yang kapan saja bisa dimasuki biawak, ular, atau–kata Jamin–”polisi-polisi yang mau menggusur lagi”.
Harusnya warga sudah menang, tapi penggusuran ilegal bisa datang kapan saja
LBH Jogja yang memberi layanan bantuan hukum kepada warga Kentingan Baru, sudah melaporkan Wali Kota Solo saat itu, FX Hadi Rudyatmo ke Komnas HAM atas tindakan represif aparat. Akibat tindakan represif tersebut, sejumlah warga terusir paksa dan yang masih bertahan harus kehilangan rumahnya karena dirobohkan.
Pendamping Hukum Warga Kentingan Baru dari LBH Jogja, Edi, mengaku pihaknya telah memenangkan gugatan warga dalam sidang sengketa informasi melawan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Solo di Komisi Informasi Provinsi KIP (Jateng).
“Dengan demikian, warga bisa meminta informasi terkait hak guna bangunan (HGB) tanah di Kentingan Baru,” jelasnya kepada Mojok.
Hingga tulisan ini ditayangkan, Edi menjelaskan 13 nama yang mengaku memiliki HGB atas tanah di Kampung Kentingan Baru–yang oleh warga disebut “mafia tanah”–belum bisa menunjukkan surat mereka.
“Artinya, warga sedikit bernapas lega karena setidaknya ini menjadi jaminan untuk mereka yang masih bertahan tak mengalami penggusuran lagi. Berdasarkan keputusan ini, warga harusnya sudah menang,” terangnya.
“Tapi, kami masih terus meng-update perkembangannya, karena penggusuran brutal di 2018-2019 itu kan ilegal juga. Bisa kapan saja menimpa warga sini.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pesisir Surabaya di Ambang Kehancuran akibat Proyek Warisan Jokowi, Dipegang PT yang Punya Riwayat Celakakan Orang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.