Perjalanan liburan akhir tahun kemarin cukup berbeda bagi Edwardus Audre (23). Alih-alih berwisata ke destinasi alam yang murni menunjukkan keindahan di Bali, Edward malah diajak keluarganya ke Kuburan Desa Trunyan.
Sebetulnya, bagi Edward, perjalanan ke Kuburan Desa Trunyan, Bali termasuk indah karena ia bisa melihat pemandangan alam yang memanjakan mata. Pohon-pohon hijau, udara segar, dan permukiman warga yang diapit oleh danau dan tepi kawah terluar Gunung Batur.
Di sisi lain, suasana saat tiba di lokasi sedikit berubah. Kuburan Desa Trunyan tak hanya menawarkan pemandangan yang indah, tapi juga hal-hal magis.
“Mungkin istilahnya wisata ekstrem ya, karena jujur menguji adrenalin. Dan nggak sepopuler wisata-wisata lain di Bali,” kata dia kepada Mojok, Sabtu (11/1/2025).
Beberapa kejadian tak mengenakkan di sana juga sempat terjadi. Namun, bukan karena mayat-mayat yang dimakamkan secara “tak wajar” di sana. Edward justru risih karena ulah warganya sendiri.
Dipalak porter Kuburan Desa Trunyan
Edward dan keluarganya berangkat ke Kuburan Desa Trunyan, Bali secara rombongan. Ia dan 8 orang anggota keluarganya menggunakan satu mobil. Sepanjang perjalanan, akan ada para porter yang menawarkan jasanya untuk mengantar wisatawan ke Desa Trunyan.
Mulanya, keluarga Edward ingin menggunakan google maps saja, sebab ibunya pernah ke sana semasa muda. Namun, karena ragu dan takut nyasar mereka akhirnya memilih jasa porter untuk menunjukkan jalan. Selain itu, porter juga bertugas menjaga jika tiba-tiba ada kendaraan dari arus sebaliknya. Maklum, jalanan menuju desa terbilang berkelok dan curam.
“Mereka naik motor gitu terus kita ngikutin dari belakang,” ucap Edward.

Proses menyewa jasa porter juga tak mudah, karena Edward dan keluarganya harus melakukan tawar-menawar. Mulanya, salah satu porter mematok harga Rp1,2 juta. Artinya per kepala harus membayar Rp150 ribu. Harga jasa porter memang mahal, itu belum tergolong tiket masuk desanya.
Tim Mojok juga pernah mengunjungi Kuburan Desa Trunyan pada akhir tahun 2024 lalu. Kami harus membayar Rp250 ribu per kepala. Bahkan seorang wisatawan asal India diharuskan membayar Rp3 juta. Liputan lengkapnya bisa dibaca di sini.
Beruntung, ibu Edward jago menawar sehingga mereka hanya membayar total Rp700 ribu.
“Pokoknya kita nggak kalah omong aja. Mamaku waktu itu tanya, kalau per orang harganya berapa? Kalau rombongan berapa? Terus kami minta angkut semuanya dengan harga sekian, yang masuk akal. Nanti mereka luluh sendiri,” tutur Edward, menceritakan cara ibunya menawar.
Suasana desa yang kontras, indah tapi kotor
Untuk menuju Desa Trunyan, Edward dan keluarganya harus melewati jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil. Jalannya pun tidak rata, banyak bebatuan, dan berlubang, sehingga tubuh Edward sering terguncang dalam mobil.
“Sebetulnya nggak nyaman, tapi aku maklum sih karena desanya terpencil dan memutari danau,” ujarnya.
Setelah menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Kintamani, rombongan Edward turun di Pelabuhan Trunyan. Baru saja Edward menapakkan kakinya ke tanah, udara dingin langsung terasa. Begitu juga kabut yang mengelilingi desa, menambah suasana mencekam saat itu.
“Karena di sana sedang musim penghujan, bulan Desember kan. Jadi suasana kengerian dan keindahan bercampur aduk,” ujarnya.

Belum lagi, kondisi pelabuhan terlihat kotor karena sampah. Beberapa lalat terlihat hinggap di sana. Saat Edward berjalan melewatinya, puluhan lalat itu beterbangan di sekitarnya. Namun, Edward tak terlalu kaget, karena di Kintamani pun, tempat ia menginap, lalat-lalat juga ada disana. Dan cukup banyak.
“Aku pernah tanya, ‘kenapa kok banyak lalat ya Mbok?’ beliau jawab karena efek dari pupuk. Saat musim penghujan, dosis pupuknya harus ditambah dan jenis pupuknya ini mengundang banyak lalat,” jelas Edward mengingat penjelasan dari pengurus penginapan.
Nenek-nenek pengemis di pelabuhan Desa Trunyan
Tak hanya itu, Edward masih menjumpai pengemis di Desa Trunyan. Ia pikir para pengemis hanya ada di Kota Denpasar atau lokasi wisata yang ramai. Kebanyakan pengemis adalah nenek-nenek. Ia jadi terganggu saat ingin berfoto atau sekadar melamun menikmati suasana.
“Maaf, bukannya menjelek-jelekkan atau tidak menghargai adat istiadat desa di sana, tapi sangat disayangkan saja. Agak kurang bersih dan ditambah banyak pengemis,” ucap dia.
Setelah menunggu kurang dari 10 menit, Edward dan rombongannya harus menaiki perahu untuk menyebrangi danau menuju ke Kuburan Desa Trunyan. Kali ini, Edward tak diminta membayar lagi.
Konon, ada oknum yang sengaja memberhentikan perahunya di tengah danau dengan alasan macam-macam, supaya wisatawan memberikan uang tambah. Mungkin, kata Edward, itu yang menjadi alasan destinasi wisata tersebut sepi–tak banyak yang mengunjungi.
Edward juga sempat ke toilet sebelum masuk Kuburan Desa Trunyan. Fasilitasnya tampak baru tapi sudah berdebu. Seperti jarang dipakai. Padahal, destinasi wisata Kuburan Desa Trunyan, bagi dia, cukup menarik.
Ia bisa melihat tradisi pemakaman mayat yang tidak dikubur ataupun dibakar. Melainkan, diletakkan biasa di bawah pohon Taru Menyan yang aromanya menyamarkan bau busuk.
Mayat yang bergeletakan di Kuburan Desa Trunyan

Setelah menyeberangi danau, Edward dan rombongan langsung melihat papan peraturan yang berisi pantangan. Misalnya, tidak boleh berkata kotor, memegang tengkorak, mengambil barang-barang di sekitar kuburan, melakukan hal-hal tidak sopan, dan membuang sampah sembarangan.
“Pengunjung juga dilarang membawa apa saja dari kuburan. Batu, uang, bahkan tanah. Karena bisa celaka,” jelas Bli Toni, juru kunci di Kuburan Desa Trunyan saat diwawancarai Mojok, Rabu (18/12/2024).
Selanjutnya, Edward dan rombongan harus berjalan sekitar 100 meter menuju pintu masuk. Di sanalah Edward melihat barang-barang bekas yang berserakan. Sekilas, barang-barang itu terlihat seperti sampah. Ada juga foto-foto orang yang sudah meninggal.
Bli Toni menjelaskan barang-barang yang terlihat seperti sampah itu adalah peninggalan yang sering dipakai oleh mayat semasa hidup mereka. Tak hanya itu, sejumlah mayat juga dimasukkan dalam sangkar bambu. Ritual itu dinamakan Mepasah.
Ketika ada mayat baru, maka mayat paling lama yang ada di dalam sangkar akan dikeluarkan. Dan digeser di atas tanah. Jika sudah menjadi tengkorak, maka akan ditumpuk di atas batu. Sekali lagi, wisatawan dilarang menyentuh, apalagi mengambilnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ambisi Pemerintah Mencari Profit dengan Merusak Budaya Masyarakat Adat di Bali atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.