Mahfud MD dan Dahlan Iskan adalah contoh bahwa menulis di media bisa menjadikan seseorang terkenal. Kuncinya adalah konsisten.
***
Suatu sore, Mahfud MD muda tengah menyaksikan peta. Ada gambar negara Amerika Serikat, Benua Eropa, Benua Afrika, dan tempat-tempat lain yang nun jauh di sana. Sementara ia sendiri tinggal di Waru, sebuah desa kecil di Pamekasan, Madura, yang berjarak 33 kilometer dari pusat kota.
“Saya dulu membayangkan Surabaya saja tak berani,” kata dalam acara podcast Ruang Sahabat yang tayang di Youtube Mahfud MD Official, dikutip Mojok pada Kamis (17/4/2025). “Tapi sekarang, semua tempat yang dulu saya lihat di peta, sudah saya kunjungi semua,” sambungnya.
Benar. Mahfud MD berhasil “menjelajahi dunia” setelah dirinya berhasil mendapatkan jabatan strategis di pemerintahan Indonesia. Baik sebagai anggota dewan, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahkan menteri. Namun, jauh sebelum itu, ia mengakui bisa sampai di titik ini berkat menulis.
Saya menjadi teringat dengan perkataan wartawan senior junjungan anak-anak pers mahasiswa, Andreas Harsono. Kata dia, kekuasaan itu “authority” yang berasal dari kata “author” (penulis). Artinya, sambung Andreas, seorang pemegang kekuasaan (pemimpin, orang besar) yang baik, haruslah penulis yang baik juga.
“Cara paling sederhana, ya, menulis di media,” kata Andreas, beberapa tahun lalu saat mengisi kelas di lembaga pers mahasiswa UNY.
Entah apakah Mahfud MD mengamini kredo “authority-author” ini apa tidak, yang jelas selama masih kuliah di Jogja ia menggembleng kemampuan menulisnya. Saat itu motivasinya cuma satu: “ingin jadi terkenal”.
“Dulu itu orang terkenal itu kalau bisa nulis,” katanya. “Saya kagum sama tokoh-tokoh seperti Pak Amien Rais, Pak Nurcholish Madjid, yang tulisannya bagus dan jadi bahan diskusi mahasiswa,” sambungnya.
Sebelum dikenal sebagai politisi, Mahfud aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa dan wartawan di media lokal Jogja, Kedaulatan Rakyat.
Aktivis mahasiswa yang doyan menulis di media
Sama seperti Mahfud MD, sahabatnya, Dahlan Iskan pun demikian. Dalam obrolan di siniar yang sama, ia mengaku bahwa dulu dirinya juga ingin terkenal. Pada masa itu, bagi Dahlan, indikator orang terkenal adalah ketika tulisannya telah dimuat media-media besar.
“Kami saat itu aktif sebagai aktivis mahasiswa yang kerjaannya rapat dan demo. Tapi ada keinginan juga gagasan kami bakal didengar. Caranya seperti apa? Tentunya dengan menulis di media, karena pada masa itu kalau tulisannya dimuat media besar berarti dia orang hebat,” jelasnya.
Kebetulan sekali, sebagai aktivis Dahlan memang terbiasa menulis. Setidaknya menulis publikasi terkait kajian isu yang tengah digodok oleh lembaga/gerakannya. Dari sana, ia mulai aktif di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dan mulai menulis untuk koran kecil di Samarinda yang terbit seminggu sekali.
Gayung bersambut. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengadakan pelatihan bagi 10 wartawan muda koran daerah, yang harapannya bisa meningkatkan mutu jurnalisme di daerahnya. Durasi pelatihannya selama tiga bulan. Dahlan pun menjadi salah satu peserta yang terpilih.
Sejak muda sudah menyukai dan disukai Tempo
“Saat lolos pelatihan itu, saya cuma bisa berdoa, semoga tempat pelatihan saya adalah Tempo atau Kompas. Soalnya dua media itu paling prestisius di zamannya,” kata Dahlan.
Doanya terkabul. Selama satu setengah bulan ke depan, ia akan bergabung sebagai peserta pelatihan dan akan menulis di media untuk Tempo. Uniknya, pemimpin majalah Tempo saat itu, Bur Rasuanto memintanya untuk tidak pindah meskipun durasi “magangnya” sudah habis, satu setengah bulan. Setelah perdebatan panjang dengan panitia, Dahlan diizinkan menyelesaikan tiga bulannya di Tempo.
Setelah masa pelatihan selesai, Bur Rasuanto kembali mendatangi Dahlan. Ia dianggap layak menjadi wartawan Tempo dan diminta untuk gabung ke media tersebut. Namun, hal ini justru menyisakan dilema bagi Dahlan.
Di satu sisi, dia senang-senang saja mengingat Tempo memang media yang didambakan. Tapi di sisi lain, itu bakal menyalahi program pelatihan, karena peserta yang sudah lulus nantinya harus kembali ke koran daerah asalnya.
“Akhirnya, diberikan jalan tengah, saya diangkat menjadi wartawan Tempo di daerah saya karena koran mengizinkan saya buat rangkap. Itu saya pulang dengan bangga karena membawa kartu pers Tempo.”
Ikhtiar sehari menulis satu tulisan
Berawal dari seorang yang gemar menulis di media, baik Mahfud MD dan Dahlan Iskan kemudian menjadi orang besar di pemerintahan. Kendati demikian, mereka mengaku tak pernah bisa berhenti untuk menulis.
Dahlan Iskan, misalnya, ketika menjadi Dirut PLN (2009-2011) ia tetap menulis meski tak ada keharusan buat melakukannya. Kala itu, ia aktif menulis “CEO Notes” di blog pribadinya, seminggu satu tulisan.
“Saya berpikir, karyawan PLN itu jumlahnya ada puluhan ribu sampai ke daerah-daerah. Dengan saya menulis, mereka jadi tahu jalan pikiran saya. Itu bisa menjadi pedoman mereka,” ungkapnya. Saat menjadi Menteri BUMN (2011-2013) Dahlan juga menulis satu tulisan per minggu.
Setelah berhenti sebagai pejabat pemerintahan, hasrat menulis Dahlan bahkan semakin tinggi. Ia pun berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk menulis setiap hari, apapun yang terjadi.
“Kadang-kadang jengkel. Sampai jam 9 malam belum ada ide menulis, padahal kan enak nggak menulis karena memang tak ada yang menuntut saya menulis,” kata dia. “Tapi inilah nilai hidup yang disebut komitmen.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Panduan untuk Calon Penulis agar Hidup Sejahtera, Karena Tak Cukup kalau Andalkan Royalti Saja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.