Menerbitkan buku semula adalah sesuatu yang tidak pernah terbayang di benak Rakhmadi Gunawan (37) alias Mbah Goen. Seorang laki-laki biasa asal Sleman, Jogja.
Namun, nyatanya dia baru saja meluncurkan buku pertamanya pada Sabtu (22/3/2025) sore WIB di halaman Akademi Bahagia. Dihadiri oleh kisaran seratus orang dari beragam kalangan.
Sore itu, buku yang dia beri judul “Mengawal Harda Kiswaya dari Dekat” diluncurkan sekaligus dibedah oleh Totok Hedi Santosa (anggota Komisi VI DPR RI) dan Arie Sujito (pakar sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM)). Hadir juga penulis kenamaan Jogja founder Akademi Bahagia: Puthut EA.
Hingga saat duduk di atas panggung peluncuran buku bertajuk “Ketika Orang Biasa Menulis Buku”, Mbah Goen tampak terbengong-bengong. Masih tak percaya kalau dia telah menerbitkan sebuah buku.
“Rasanya nggak nyangka. Tapi juga plong. Ternyata saya bisa sampai di titik ini,” ungkapnya.
Apalagi, selama ini dia tumbuh dalam perasaan inferior—karena kelewat sering dipinggirkan dan disepelekan. Hanya karena secara fisik dia berbeda (mengidap Alport Syndrome).

Ikhtiar orang biasa di Sleman Jogja
Mbah Goen pada dasarnya sudah dekat dengan dunia buku. Sejak 2014, dia mengabdikan dirinya untuk menggalakkan gerakan literasi. Khususnya di Sleman, Jogja.
Mbah Goen punya perpustakaan bajaj (bajaj yang dilengkapi dengan buku-buku). Dengan itu, biasanya dia akan keliling dari kampung ke kampung. Mempersilakan anak-anak membaca buku-bukunya secara gratis.
Sementara di kediamannya di Jetis, Sleman, dia memiliki Angkringan Pasinaon. Sebuah angkringan yang juga dilengkapi denga buku-buku. Bisa dibaca oleh siapa saja yang singgah di situ.
Di kediamannya pula dia membuat sanggar tari bernama Sanggar Ciptaningtyas. Di ruang depan rumahnya yang dia jadikan ruang pentas, berderet rak-rak berisi buku.
“Sama Pak Totok dan Mas Puthut saya sering di-gojlok. Pegiat literasi kok nggak punya buku. Saya didorong menulis buku. Itu membuat saya tertantang. Akhirnya saya coba tulis buku berdasarkan pengalaman saya sendiri. Yang paling dekat ya pengalaman mengawal Pak Harda (Bupati Sleman) saatu Pilkada 2024 lalu,” beber Mbah Goen.
Dalam prosesnya, tentu saja tidak mudah. Perasaan tak percaya diri terus menghantui. Belum lagi kendala-kendala lain seperti kejemuan hingga kebuntuan.
Tapi, Mbah Goen mengaku, motivasinya kelewat besar untuk merampungkan buku tersebut. Hingga akhirnya rampunglah dalam kurun satu bulan pengerjaan untuk 10 bab berisi 100-an halaman. Ditambah ilustrasi sampul dan isi yang juga dia garap sendiri.
Dorongan untuk terus belajar
Totok Hedi Santosa, orang yang dalam buku Mbah Goen tulis selaiknya bapak dan guru sendiri, awalnya tak percaya kalau Mbah Goen bisa menulis. Bahkan ketika Mbah Goen menyodorkan naskah final bukunya sebelum naik cetak, Totok Hedi masih sangsi.
Akan tetapi, faktanya buku itu jadi juga. Dan hari itu tengah diluncurkan di Akademi Bahagia, Sleman, Jogja. Totok Hedi tak menutup-nutupi rasa bangganya.
“Karena yang seperti ini adalah cita-cita saya. Ketika orang di partai politik, itu tidak hanya diajak bicara soal politik elektoral. Tapi juga didorong untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya,” tutur sosok yang juga merupakan Sekjen DPD PDIP DIY itu.

Dorongan Totok Hedi pada Mbah Goen pun bukan semata agar Mbah Goen punya legitimasi sosial-intelektual sebagai seorang pegiat literasi. Uniknya, secara natural, dorongan itu muncul atas keresahan Totok Hedi sendiri pada Mbah Goen.
“Kalau Goen saya ajak pergi. Saya yang resah karena tidak punya lawan bicara sepadan. Sementara Goen cuma main HP. Maka saya dorong, Goen kamu harus lebih banyak belajar. Biar cerdas,” imbuh Totok Hedi.
Kekuatan relasi
Tidak bisa dimungkiri, Mbah Goen bisa dibilang terberkahi karena kedekatannya dengan seorang Totok Hedi. Dari situ, Mbah Goen mulai diarahkan Totok Hedi untuk mengenal dan belajar dari orang-orang besar.
“Karena saya punya teman penulis (Puthut EA), punya teman di penerbit Buku Mojok, saya doronglah Goen belajar ke sana. Belajar nulis,” ungkap Totok Hedi. Kata kuncinya adalah relasi.

Akan tetapi, tidak semua orang punya keberkahan seperti Mbah Goen. Di luar sana, ada sangat banyak orang biasa dengan potensi besar yang aspirasinya—misalnya aspirasi membuat buku—terabaikan. Lantas, bagaimana?
“Jangan menutup diri. Kalau merasa tidak punya relasi, maka buatlah relasi. Perluas pergaulan. Main ke komunitas-komunitas seperti Akademi Bahagia ini,” tegas Totok Hedi.
Bukan buku yang fokus pada Bupati Sleman
Jika membaca judulnya saja, buku “Mengawal Harda Kiswaya dari Dekat” sepintas terlihat hanya akan bicara soal Bupati Sleman yang baru: Harda Kiswaya.
Tapi tidak demikian. Buku ini, pertama, lebih banyak bicara perihal pengalaman otentik Mbah Goen selama berada dalam pusaran Pilkada 2024.
Kedua, menggambarkan ikhtiar Mbah Goen sebagai orang biasa yang tidak diperhitungkan, lalu mencoba menaklukkan batas-batas tubuhnya untuk mewujudkan sebuah karya.
“Ini justru buku yang menarik. Bicara politik dari pengalaman otentik orang biasa (Mbah Goen) yang ada dalam pusarannya,” sementara begitulah komentar Arie Sujito. “Bagaimanapun, pengalaman akan melahirkan ilmu pengetahuan.”

Tidak melulu rezim akademik
Arie Sujito mengamini bahwa selama ini ada kecenderungan yang dia bahasakan sebagai “rezim akademik”. Yakni ketika ilmu pengetahuan harus dituturkan melalui lapis standarisasi khas kampus yang rumit.
Hal itu, tidak dimungkiri menimbulkan elitisme ilmu pengetahuan. Sehingga, orang-orang biasa seperti Mbah Goen menjadi tidak diperhitungkan. Padahal, Mbah Goen, orang-orang biasa lain (petani, peternak, lurah, dll) sedianya punya ilmu pengetahuan yang khas atas pengalaman mereka menekuni bidang tertentu.
“Demokratisasi ilmu pengetahuan itu perlu. Berikan ruang pada orang-orang seperti Goen untuk berbagi pengalaman mereka. Bertutur dengan cara mereka. Maka, akan lahir intelektual-intelektual organik,” beber Arie.
Lanjut Arie, tidak ada persoalan dengan itu: menulis pengalaman, yang bahkan tidak memenuhi standarisasi rezim akademik. Sepanjang tidak menulis suatu kebohongan, pengalaman yang ditulis tetap sah dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
“Buku sampai kapanpun akan tetap penting sebagai sarana menstrukturkan ilmu pengetahuan. Dan orang biasa seperti Goen sedang mencoba melakukannya. Maka itu patut diapresiasi,” tekan Arie.
Hingga akhir sesi peluncuran, Mbah Goen, laki-laki biasa asli Sleman itu masih terpaku. Seperti orang linglung. Kok bisa ya aku bikin buku? Begitu gumamnya berkali-kali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ruang Publik yang Sadarkan Berpikir Kritis Jadi Solusi atas Gejala Pembusukan Otak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan