Kecamatan Gedebage adalah kawasan yang potensial di Bandung, Jawa Barat. Simbol-simbol kemewahan Bandung terletak di sana. Mulai dari Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Pasar Cimol, Summarecon Mall, hingga Masjid Raya Al-Jabbar.
Sialnya, kini kecamatan di Bandung bagian timur itu malah berubah menjadi kawasan yang awut-awutan: macet, banjir, dan bau sampah di mana-mana.
Sampai ada warganya yang bikin pepatah satire: “Bumi Pasundan (Bandung) lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, sementara Gedebage diciptakan saat Tuhan marah.”
Perencanaan kota yang terlihat tak terencana
Tio (25), salah satu warga asli Bandung, mengingat bahwa 10-15 tahun lalu Kecamatan Gedebage masih menjadi sebaik-baiknya tempat tinggal. Persawahan masih terhampar luas. Kabut pagi yang menyegarkan pun masih kerap ia temui ketika hendak berangkat sekolah.
Namun, dalam sepuluh tahun ke belakang, wajah Gedebage yang indah itu telah sepenuhnya berubah. Hamparan sawah sudah menjadi perumahan. Saat pagi buta, kabut segar tak dijumpai lagi; sudah berganti menjadi asap kendaraan yang sedang terjebak kemacetan.
“Lahan produktif yang sempat menjadi pusat lumbung padi, sekarang sudah dicor sama beton. Wajah Gedebage udah nggak sama lagi,” ujarnya, berkisah kepada Mojok, Rabu (21/5/2025) sore.
Ia pun tak bisa untuk tak menyalahkan pemerintah. Menurutnya, Gedebage salah urus. Sampai-sampai, ia berani mengatakan kalau urban planning (perencanaan kota) terburuk ada di kotanya.
“Malah saya ragu kalau di Bandung Timur (Gedebage) urban planning-nya nggak punya planning. Saking buruknya.”
Banjir di Kecamatan Gedebage makin parah, hujan sebentar saja sudah tenggelam
Bagi Tio, banjir sudah menjadi masalah menahun di Kecamatan Gedebage, Bandung. Sejak ia kecil, ketika terjadi hujan lebat, banjir jadi masalah yang tak terelakkan. Apalagi melihat fakta bahwa Gedebage merupakan area cekungan yang rentan tergenang air.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masalah ini semakin parah. Kata dia, hujan sebentar saja genangan air sudah terjadi di mana-mana. Apalagi kalau hujan deras, banjir bandang yang ada.
Ia ingat betul, ketika Covid-19 pada 2020 lalu dirinya sedang di rumah karena kuliah diliburkan. Saat itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan sensasi banjir yang begitu dahsyat.
“Dulu kalau banjir, mentok itu se-mata kaki. Dengkul pun udah paling tinggi. Tapi 2020 kemarin, jangankan dengkul, orang rumah saja tenggelam,” ungkapnya.
Saat itu, tak ada yang tersisa dari keluarga Tio. Satu-satunya yang bisa disyukuri adalah fakta bahwa seluruh anggota keluarganya selamat. Sementara barang-barang berharga seperti TV, laptop, motor, semuanya hancur diterjang air bah.
View this post on Instagram
Menurut sejumlah pemberitaan, ada 1.100 lebih warga yang menjadi korban akibat banjir di Kecamatan Gedebage, Bandung. Tio berasumsi, pembangunan yang masif sehingga bikin area resapan air hilang jadi penyebab utama banjir di daerahnya.
Sementara sejumlah pakar menyebut, pembangunan jalur Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) adalah satu penyebab utamanya.
Bau sampah di Kecamatan Gedebage makin meresahkan
Kecamatan Gedebage diwarisi masalah klasik yang sudah lama membayangi Bandung, yakni kemacetan. Kata Tio, macet itu sudah semacam rutinitas. Apalagi di jam-jam berangkat kerja.
“Jam tujuh pagi, waktunya anak-anak berangkat sekolah ketemu sama pekerja yang mau ke pabrik, udah tumpah semua mereka di jalan. Transportasi publik jelek, jalan sempit, ya mau apalagi yang didapat kalau bukan macet?,” jelasnya.
Namun, ada yang membedakan kemacetan di Gedebage dengan kawasan Bandung lainnya. Yakni, di Gedebage, orang yang terjebak kemacetan dipaksa mencium bau busuk yang berasal dari tumpukan sampah.
Kata Tio, setahun ke belakang ini, masalah sampah di kecamatan ini makin tak terkendali. Nyaris di tiap pasar, pinggir jalan, bahkan selokan, tumpukan sampah mudah dijumpai.
“Mana baunya busuk banget!,” keluhnya.
Melansir laman resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, per April 2025 kemarin, tumpukan sampah yang berada di Kecamatan Gedebage mencapai 1.120 meter kubik. Jumlah sampah yang dibuang per harinya rata-rata mencapai 20 ton.
Pemerintah menduga, pungutan liar dari pedagang untuk iuran sampah yang tidak dikelola menjadi faktor penyebab mandeknya penanganan sampah di Pasar Gedebage. Sementara bagi Tio, masalah ini hanya menjadi titik kulminasi saja, sebab sejak 2024 lalu masalah sampah ini sudah tercium. Namun, pemerintahnya terkesan abai.
“Dulu itu udah banyak yang protes, bikin laporan sana-sini, tapi cuma dilempar. Birokrasinya ribet. Nggak heran kalau sekarang makin numpuk, dan pemerintahnya baru kerja.”
Syarat jadi kota tak layak huni sudah terpenuhi
Tio pun berharap, Kecamatan Gedebage bisa kembali asri seperti saat ia masih kecil dulu. Keinginannya tak muluk-muluk. Paling tidak, selesaikan dulu masalah banjir dan sampah.
“Menurutku, banjir itu karena sawah dibetonin. Gedebage itu nggak cocok dengan pembangunan masif yang nggak terencana. Karena jadinya ya banjir kayak gini,” ungkapnya. “Makanya, stop betonin sawah, biarin sawah tetap asri.”
Jika pembangunan terus dipaksakan tanpa rencana yang jelas, Tio yakin dalam 10 tahun ke depan Gedebage bakal masuk daftar kota paling tidak layak huni. Sebab, baginya, kini semua syaratnya sudah terpenuhi.
“Pemerintah mah enak tinggal ngatur ini, ngatur itu. Yang menderita, ya kita-kita juga.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ironi di Balik Perkantoran Mewah Slipi Jakarta Barat: Ijazah S2 Dianggap Tak Berguna, Pekerjanya Sengsara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.