Setidaknya ada tiga hal yang Pramoedya Ananta Toer singgung perihal Jogja. Lewat seminar, karya sastra, bahkan pidato internasional.
***
Seabad Pramoedya Ananta Toer (Februari 2025) memang sedang dirayakan di mana-mana. Termasuk di Jogja sebagai kota yang akrab dengan label literasi.
Ada banyak titik di Jogja yang menggelar diskusi perihal Pram, sapaan akrab sastrawan Blora yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah buangan Pulau Buru itu. Salah satunya adalah di Akademi Bahagia, Ngaglik Sleman, tempat saya tinggal selama ini.
Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Klub Buku Bahagia, melingkar selepas Asar. Masing-masing membawa buku-buku karya Pram. Mereka lalu saling melempar interpretasi atas karya-karya Pram.
Energi Perlawanan di Tiap Karya Pram
Karya sastra Pram memang tidak sebatas kisah-kisah imajinatif belaka. Tapi berangkat dari kritik sejarah yang tajam dan bahkan terus relevan hingga kini. Energi perlawanan begitu terasa dari setiap karyanya: dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) hingga Tetralogi Arok Dedes (Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir).
Tak heran jika karya-karyanya sangat ditakuti penguasa era rezim Orde Baru. Tak boleh ada yang membacanya. Pram diasingkan. Sementara karya-karyanya dibakar.
Namun, Pramoedya Ananta Toer bukan sembarang sastrawan. Sebelumnya, Mojok sudah memaparkan bagaimana cerdiknya Pram “mengamankan” karya-karyanya hingga akhirnya bisa dinikmati lintas generasi: karya-karya yang senantiasa mengusik kesadaran dan kewarasan.
“Pram itu seperti aktivis jalanan yang melempar bom molotov ke kepala pembaca. Dia konsisten membuat kepala pembaca berasap, membuat dada sesak seperti sehabis mengonsumsi gas air mata secara maksimum.” Begitu penilaian arsiparis, Muhidin M. Dahlan, tentang Pramoedya Ananta Toer dalam program Jasmerah di kanal YouTube Mojokdotco.
Lanjut Muhidin, Pram punya persinggungan serius terhadap Jogja, daerah yang saat ini massanya sedang riuh merayakan seabad sastrawan Blora itu:
1# Ke Jogja untuk merevolusionerkan Sastra Jawa
Pramoedya Ananta Toer atas nama Lekra masuk Jogja pada 1964, menghadiri seminar di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bertajuk “Membina Sastra Jawa Revolusioner sebagai Senjata Rakyat untuk Menyelesaikan Revolusi Agustus 1945 Sampai ke Akar-akarnya”.
Kedatangan Pram ke Jogja membawa satu misi akbar: membereskan Sastra Jawa.
Di hadapan peserta seminar yang dibuka oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X itu, Pram menyebut, walaupun Sastra Jawa mendayu-dayu, tapi sesungguhnya masih punya potensi untuk direvolusionerkan, bisa ditumbuhkan untuk melawan feodalisme-imperalisme. Singkatnya, tegas Pram, Sastra Jawa bisa dinaikkan kelasnya.
“Dalam seminar di itu Pram menegaskan, bahwa sastra dalam tradisi Jawa sudah sangat akrab dan bahkan menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sudah mandarah daging di kalangan petani dan di desa-desa: (contohnya) ludruk, pembacaan puisi tembang di jagongan bayi dan seterusnya,” tutur Muhidin.
“Cuma, ada masalah di sana. Konten apa yang mereka lakonkan, yang mereka pantunkan, tembangkan? Tugas Lekra, disampaikan Pram, adalah membereskan kontennya, isinya. Misi Pram ke Jogja adalah kulo nuwun sastra progresif di gerbang Sastra Jawa,” sambungnya.
Sastra Jawa: titik bakar kesadaran progresif
Dalam makalah yang dibacakan di seminar UGM itu, Pramoedya Ananta Toer menyinggung lakon ketoprak yang isinya melulu mengenai kultur raja, melulu sanjungan pada kesatria yang berkorban untuk segelintir manusia.
Maka, kata Pram, perlu cara pandang yang progresif dan kritis terhadap unsur isi Sastra Jawa. Misalnya terhadap cerita Rara Mendut dan Pranacitra (gampangnya: Romeo-Juliet Jawa dengan latar belakang Mataram Islam di masa Sultan Agung (abad ke-17 M)).
“Cerita Rara Mendut dan Pranacitra bukan romansa belaka. Harus dilihat secara kritis dengan kesadaran kelas yang tajam. Karena ini cerita dua orang dari kalangan rakyat jelata yang tidak memiliki perlindungan hukum. Keduanya mati mempertahankan satu-satunya milik yang mereka impikan, yang mereka cita-citakan, mereka perjuangkan: diri mereka sendiri,” jelas Pram yang coba dibacakan ulang oleh Muhidin.
Dengan konten ini, masih kata Pram, pekerja Sastra Jawa wajib hukumnya menggunakan karya Rara Mendut dan Pranacitra sebagai standar, bukan Ramayana, Mahabharata, Arjuna Wiwaha, atau Dewaruci.
Singkatnya, Pram ke Jogja membawa misi, Sastra Jawa seharusnya bisa menjadi titik bakar bagi kesadaran progresif kaum tani-kaum tertindas di tanah sendiri.
Maka, yang harus pekerja Sastra Jawa lakukan adalah mengembangkan karya lama yang maju dengan diberi wajah baru. Seperti Rara Mendut yang tidak hanya disajikan sebagai kisah romansa, tapi juga sebagai kisah perlawanan kelas.
2# Menggugat kekerasan lewat “Mangir”
Mangir adalah kitab keempat dari Tetralogi Arok Dedes. Berlatar belakang pembangkangan Ki Ageng Mangir terhadap mertuanya sendiri, Raja Mataram Islam pertama, Panembahan Senopati.
“Di Mangir, menurut saya, adalah tafsir sangat keras Pram yang meninju watak buruk penguasa kraton. Dalam hal ini Panembahan Senopati,” ujar Muhidin.
Mangir, bagi Muhidin, adalah kritik keras Pram terhadap penguasa yang melanggengkan kekerasan.
3# Menyangkal mitos Nyi Roro Kidul di Jogja
Ada banyak versi cerita mengenai Nyi Roro Kidul. Kajian akademis-ilmiah pun banyak yang mengulasnya, sebagai sosok magis penguasa laut selatan yang konon memiliki hubungan istimewa dengan Kraton Mataram Islam hingga sekarang Kraton Jogja.
Pramoedya Ananta Toer turut ambil bagian dalam memberikan pandangannya soal Nyi Roro Kidul.
Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988 di Filipina, Pram menyebut bahwa Nyi Roro Kidul tidak lebih dari sekadar mitos belaka.
Lewat pidato tertulis berjudul “Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?”, Pram mengatakan, sosok Nyi Roro Kidul adalah rekaan dari pujangga Kraton Mataram Islam. Sebagai penghibur atas dua kali kekalahan Sultan Agung saat menyerang VOC Batavia (1628 dan 1629).
Kekalahan itu memberi dampak serius. Selain gagal merebut Batavia dari VOC, kekalahan itu membuat Sultan Agung kehilangan jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.
“Untuk menutupi kehilangan tersebut, pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan. Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” ungkap Pram dikutip ulang oleh Muhidin.
Tabu-tabu lain lantas lahir seiring dengan penciptaan sosok Nyi Roro Kidul oleh pujangga kraton. Misalnya, larangan mengenakan pakaian hijau di wilayah pantai selatan.
Bagi Pram, tabu tersebut tidak lebih dari bentuk kebencian para pujangga terhadap VOC. Hijau, kata Pram, adalah representasi warna pakaian serdadu Belanda.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menggugat Perjanjian Giyanti dengan Metode Pramoedya Ananta Toer atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan