Sarjana yang sulit kerja dan masih menganggur memang sedang menjadi fenomena umum. Namun, bagaimana kalau sarjana nganggur karena tak mendengarkan petuah orang tua?
***
Hidup memang penuh ironi. Teman-teman bilang, ikuti kata hati. Sementara kata orang tua: ikuti petuah mereka. Nah, Niko (27), dengan penuh kesadaran dan idealismenya, memilih yang pertama.
Hasilnya? Kuliahnya lancar, ia berhasil menjadi sarjana dengan IPK mentereng: 3,7. Sialnya, ia susah cari kerja dan nganggur nyaris setahun lamanya.
Lelaki asal Jawa Timur ini lulus dari salah satu PTS di Jogja pada 2023 lalu. Ia mendapatkan predikat sarjana sastra setelah lulus S1 Jurusan Sastra Indonesia.
Ekspektasinya pun begitu tinggi. Bagaimana tidak: ia lulus cumlaude, selama kuliah aktif juga di UKM yang bikin relasinya lumayan luas. Namun, ekspektasi itu tak sesuai realitas di lapangan.
Lamaran kerjanya bolak-balik ditolak. Yang dikirim tanpa pernah berbalas malah lebih banyak. Alhasil, ia harus rela setahun menganggur dan terpaksa hidup dari freelance serta duit orang tua.
Memilih jurusan sastra karena passion
Saat masih SMA, Niko mengaku sudah punya bayangan ketika lulus kuliah mau jadi apa. Ia membayangkan hidup yang ideal sebagai novelis, penulis skenario film, atau penulis kondang yang setiap sore minum anggur di tepi pantai sambil menunggu transferan royalti karyanya masuk.
Maka dari itu, dengan penuh kesadaran, ia memilih Jurusan Sastra Indonesia. Baginya, mau PTN atau PTS sama saja. Yang penting kuliah di jurusan itu.
Sialnya, kedua orang tuanya yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS), sudah mewanti-wanti dengan nada serius: “kuliah jurusan sastra mau kerja apa? Itu jurusan yang bikin lulusannya sulit kerja”.
“Paling banter kamu nanti jadi guru,” ujar Niko, Senin (16/5/2025), menirukan wejangan orang tuanya enam tahun lalu.
Mereka pun menyarankan Niko kuliah di jurusan yang pasti-pasti saja secara prospek. Seperti Jurusan Ilmu Ekonomi, Hukum, atau sekalian Perminyakan.
Namun, karena merasa itu bukan passion-nya, opsi tadi ditolak. Ia ngotot ambil Jurusan Sastra Indonesia. Melihat anaknya yang tak mau kalah argumen, orang tuanya pun cuma bisa menurutinya.
Tak sepenuhnya bisa menikmati masa kuliah
Niko mulai kuliah di salah satu PTS Jogja pada 2019 lalu. Karena ditolak UGM, maka opsi paling mungkin adalah memilih kampus swasta di kota ini. Baginya, kuliah di Jogja adalah pilihan terbaik karena “menjadi tempat berkumpulnya para penulis hebat.”
Sejak awal masuk, ia sudah mulai aktif di UKM dan beberapa komunitas luar kampus yang berhubungan dengan dunia sastra. Sayangnya, bulan madunya dengan Jogja kira-kira cuma bertahan setahun karena adanya pandemi Covid-19.
“Itu akhir 2020 orang tua nyuruh pulang. Kampus juga udah lockdown,” ujar sarjana nganggur ini. “Padahal kalau nggak suruh pulang, aku maunya di Jogja aja. Tapi karena keselamatan, memang lebih baik di rumah saja.”
Alhasil, Niko tak benar-benar bisa menikmati masa kuliahnya. Belajar-mengajarnya online, tak bisa nongkrong, dan yang jelas tak bisa sering-sering ngumpul bareng komunitasnya.
“Itu berlangsung nyaris dua tahun. Kayaknya cepet aja, kayak baru masuk kuliah, eh tahu-tahu udah masuk semester enam, padahal cuma di rumah aja,” kata dia.
“Ke Jogja buat sekadar main sih masih ya. Tapi jarang banget, kadang cuma dua bulanan sekali gitu.”
Niko kembali ke menjalani kuliah offline pada 2022. Itupun untuk menjalani perkuliahannya yang sudah di ujung: KKN dan mengerjakan skripsi. Masa-masa kuliah menyenangkan seperti bayangannya dulu rasanya sudah pupus.
Lulus dengan IPK 3,7, tapi penuh kecemasan, takut jadi sarjana yang nganggur
Di penghujung 2023, Niko menyelesaikan kuliahnya. Ia lulus dengan predikat cumlaude. IPK-nya pun amat mentereng: 3,7.
Jujur saja, ia bangga dengan pencapaiannya itu. Kedua orang tuanya pun, kata dia, juga demikian. Namun, ia juga tak memungkiri kalau…
Baca halaman selanjutnya…
60-an lamaran kerja ditolak. Berakhir nganggur dan “membuang idealisme”.