Order fiktif kerap menyasar driver ojek online (ojol) seperti Gojek. Modus penipuan ini tentu saja membuat para driver nelangsa. Terutama jika berkaitan dengan pesan-antar makanan dengan sistem pembayaran tunai.
Sebab, dengan sistem itu, driver mau tidak mau harus menalangi dengan uang pribadinya terlebih dulu. Jika orderan yang dia terima ternyata fiktif, maka uangnya bisa amblas. Sialnya lagi, total pembelian biasanya dalam nominal besar.
Bagi driver Gojek yang bercerita kepada Mojok, modus order fiktif menjadi salah satu hal yang begitu “menyiksa” kehidupan para driver.
Order fiktif jadi modus balas dendam, tapi libatkan driver Gojek yang tidak ikut-ikutan
Beberapa waktu lalu, sempat viral di media sosial driver Gojek menjadi korban order fiktif di balik modus balas dendam.
Jadi ada orang yang karena sakit hati diputus, lalu dia membuat berkali-kali order fiktif ke alamat rumah sang mantan. Tujuannya, jelas untuk memeras uang dari sang mantan untuk membayar order fiktif tersebut.
Sebab, jelas-jelas alamat rumah dan nama penerima adalah si mantan. Jadi dia tidak bisa mengelak. Kejadian serupa pernah dialami oleh Nuril (27), seorang driver Gojek di Jogja.
Kejadiannya pada 2023 silam. Bagi Nuril, mendapat orderan dengan angka besar tentu menggiurkan. Itulah kenapa dia mengambilnya.
Tapi ketika beberapa boks makanan cepat saji itu dia antarkan ke alamat tujuan, si pemilik rumah malah bingung.
“Ini benar rumah Mbak Anu (nyebut nama), Kan?,” tanya Nuril.
“Ya bener, ini rumah saya. Tapi saya nggak merasa order, Mas. Ini saya kasih buktinya,” sangkal si pemilik rumah.
Nuril lantas memelas. Pasalnya, nominalnya terlalu besar. Beruntung, si pemilik rumah berbaik hati. Mungkin karena merasa iba dengan Nuril. Alhasi, si pemilik rumah memutuskan membayar order fiktif itu.
“Mas, kalau ada order lagi atas namaku, jangan diambil. Kayaknya ada yang salahgunakan namaku,” pesan si pemilik rumah.
Istri senang, suami nelangsa
Bukan sekali itu saja Nuril menerima order fiktif. Hingga 2025 inipun dia kerap menerimanya. Tanpa pernah dia ketahui apa motif sebenarnya si pengorder: sekadar usil (prank) atau untuk merugikan pihak lain.
Sebelum tahu mekanisme pengaduan order fiktif kepada aplikator, hanya satu hal yang Nuril lakukan: Terpaksa membawa pulang makanan hasil order fiktif itu.
“Itu awalnya bikin istri di kos seneng. Karena bisa makan enak. Jadi kalau kena order fiktif, ya kuniati anggap saja aku bayar makanan buat nyenengin istri,” ungkap Nuril. Walaupun di satu sisi merasa nelangsa: Sudah keluar bensin dan uang, tapi pendapatan tidak bertambah.
Akhirnya Nuril mencoba mempelajari mekanisme pengaduan order fiktif ke aplikator. Mekanisme itu memungkinkan uang Nuril yang amblas karena order fiktif diganti secara utuh oleh pihak aplikator.
Meski begitu, Nuril akhirnya jadi dilema sendiri terhadap order makanan, apalagi jika metode pembayarannya tunai.
“Beberapa masih ngambil dan nggak fiktif. Tapi masih kena juga yang fiktif. Begitu kan dampaknya panjang. Kita nggak tahu kan, misalnya terlanjur menolak orderan, eh siapa tahu ternyata itu rezeki beneran,” tutur Nuril.
Begitu sebaliknya. Ketika terlanjur yakin bahwa orderan yang masuk bukan fiktif, setelah diambil eh ternyata fiktif. Alhasil, berpengaruhlah ke pendapatan yang masuk hari itu.
Baca halaman selanjutnya…