Barangkali, kehidupan Hasan (28) adalah dambaan banyak orang. Bagaimana tidak: umurnya belum kepala tiga, tapi dia sudah berhasil bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Bagi banyak orang, profesi ini adalah impian. Pekerjaan berkelas, gaji besar, dan tunjangan mumpuni adalah gambaran pertama ketika mendengar kata ASN.
Namun, itu tidak berlaku bagi lelaki asal Jawa Tengah ini. Bagi dia, menjadi ASN adalah sebuah ironi. Ingin disebut menyesal, tidak juga; tapi kalau disebut menikmati, kok batinnya tersiksa.
“Walaupun banyak orang mendambakan pekerjaanku ini, percayalah nggak semua PNS itu hidup makmur. Apa yang bisa kamu harapkan dari gaji yang nggak seberapa dan rutinitas yang membosankan?” ujarnya, bercerita kepada Mojok, Rabu (18/5/2025).
Sejak kuliah sudah ngebet jadi ASN
Kalau mau jujur, menjadi ASN memang cita-cita Hasan. Sejak kuliah di sebuah PTN Jawa Tengah, potret abdi negara dengan seragam rapi dan penuh wibawa selalu membayanginya.
“Sekarang aku tanya, siapa coba yang nggak mau jadi PNS? Aku yakin semua orang mau. Apalagi PNS itu profesi paling stabil di tengah ketidakpastian ekonomi kayak begini,” ujarnya.
Baginya, ada alasan kuat selain “wibawa” yang membuatnya ngebet ingin jadi ASN. Menurut Hasan, secara ekonomi, kehidupan ASN itu terjamin: gajinya pasti, ada tunjangan, dan nggak mungkin dipecat.
“Kalau kita kerja di swasta kan ada kemungkinan dipecat, atau amit-amit PHK juga bisa. Sedangkan kalau PNS itu nyaris nggak mungkin dipecat kalau kesalahannya nggak fatal. Mentok mutasi aja.”
Menjadi ASN di usia 26
Oleh karena itu, setelah lulus kuliah pada 2021, Hasan mempersiapkan betul mental dan kapasitasnya agar untuk mengikuti serangkaian tes CASN. Sebelum menjadi ASN, ia merupakan tenaga honorer di salah satu kantor pemerintahan daerah di Jawa Tengah.
Sialnya, dalam percobaan pertama di CASN 2022 ia gagal. Barulah pada kesempatan berikutnya setahun berselang, Hasan lolos sebagai ASN.
Ia tercatat diangkat ASN pada tahun 2023. Usianya kala itu masih 26 tahun. Dan, cuma beberapa bulan setelah diangkat sebagai abdi negara, ia menikahi perempuan yang kini menjadi ibu dari buah hatinya yang berusia setahun.
Gaji sebulan sudah habis dalam dua minggu
Awal-awal menjadi ASN, Hasan menikmati betul kehidupannya. Bayangan kehidupan ideal yang pernah ia bayangkan, akhirnya tergapai juga.
Namun, makin ke sini, ia merasakan kehidupannya semakin berat. Apalagi kalau sudah berbicara soal gaji.
“Percaya nggak percaya, sekarang itu rasa-rasanya gaji sebulan abis dalam dua minggu aja. Kayak nggak tahu aja kemana larinya,” kata dia.
Hasan tak merinci terkait uang yang bisa ia bawa pulang tiap bulannya. Namun, sebagai gambaran, untuk ASN staf golongan IIIa sepertinya, gaji pokoknya berkisar di angka Rp3 juta. Itu belum termasuk tunjangan keluarga, tunjangan makan, dan tunjangan umum, yang kalau ditotal tak lebih dari Rp4,5 juta.
“Enak sih enak, dapat penghasilan pasti tiap bulannya,” ujarnya. “Tapi itu nggak seberapa dibanding pengeluaran tiap bulannya yang lebih besar.”
Sandwich generation yang banyak tagihan
Ada alasan mengapa pengeluaran bulanan Hasan begitu besar. Di samping untuk membiayai keluarga intinya (istri dan anak), ia juga merupakan seorang sandwich generation.
Ada orang tua dan dua adik (masih SMP dan SMA) yang harus dia tanggung.
“Gimana coba caranya muterin duit 4 juta sebulan untuk keluarga besar gitu?” keluhnya.
Apalagi fakta bahwa dari jumlah kepala yang ia tanggung, cuma dirinya yang bekerja. Istrinya ibu rumah tangga, sementara kedua orang tuanya sudah tua. Mereka sudah tidak bekerja, ke kebun pun cuma biar ada “kesibukan” saja.
Belum lagi, setelah menikah Hasan memutuskan meminjam uang yang cukup besar ke bank (modal SK ASN) untuk membangun rumah baru bagi dia dan istri. Tiap bulannya, cicilannya tak sedikit. Inilah yang bagi Hasan semakin menyiksa fisik dan batinnya.
Ortu sering pamer soal pencapaiannya
Bagian yang paling menguras energi Hasan adalah, ia tak pernah menceritakan betapa susahnya menjadi ASN kepada orang tua. Mereka hanya tahu bahwa jadi ASN itu enak, serba berkecukupan.
Alhasil, orang tuanya, dengan penuh kebanggaan, sering pamer terkait pencapaian itu.
“Bapak sama ibu itu tiap kali ngomongin aku jadi PNS, suka dilebih-lebihkan. Bilangnya gaji sekian lah, sudah punya rumah lah, inilah, itulah, sampai aku sendiri sebenarnya malu,” kata dia.
Jujur saja, ketika mendengar itu ia tak bisa berbuat banyak. Ia mewajarinya karena siapa, sih, orang tua yang tidak bangga anaknya sudah sukses?
Namun, ada kalanya juga ia merasa getir, karena di balik gembar-gembor orang tuanya itu, dia sendiri sedang mikir keras bagaimana sisa gajinya cukup sampai akhir bulan.
Teman suka meminjam uang yang susah buat ditolak
Tak sampai di situ, selain harus menghidupi banyak kepala dan tumpukan tagihan, ada satu lagi yang memberatkan Hasan: menjadi “ATM berjalan” bagi teman-temannya. Mentang-mentang profesinya ASN, ia dianggap selalu ada uang.
Alhasil, kalau ada temannya yang butuh uang, pasti selalu datang kepadanya buat ngutang.
“Kalau minjam tapi baliknya tepat waktu sih nggak apa-apa. Masalahnya mereka sering telat, bahkan mungkin lupa kalau ngutang,” ujarnya.
Kendati sudah tahu risikonya, Hasan tak bisa menolak. Yang pinjam uang ini biasanya adalah teman-teman baiknya yang mungkin sudah dianggap keluarga. Apalagi kalau alasan yang dipakai ngutang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, rasanya tak tega buat menolak.
“Makanya, kalau ada temen minjem duit. Rasanya kayak dipalak. Hahaha.”
Pun, kalau berasalan nggak punya uang, rasa-rasanya mustahil. Alasan ini tidak akan bisa diterima karena sudah jadi rahasia umum kalau ASN itu “dianggap” selalu berduit.
“Jujur, kalau dibilang menyesal sih nggak juga. Cuma ya aku nggak menikmati juga jadi ASN. Mungkin ekspektasiku aja yang dulu ketinggian,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Rasanya Jadi Perantau Mengurus KTP Hilang di Dukcapil Sleman: “Sat-Set”, Lima Menit Selesai, Tidak Ribet Seperti di Tangerang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.