Meski harus membayar hingga puluhan juta, tetap akan dilakukan asal bisa kerja di Jepang. Begitu kira-kira yang Rio (26) katakan pada saya, Minggu (26/7/2025), di atas bus dalam perjalanan Jogja-Semarang.
***
Hujan deras mengguyur Magelang saat bus yang saya tumpangi berhenti di sebuah halte. Di luar tampak beberapa orang berlarian menuju pintu depan bus: naik. Sisa seorang pemuda yang tampak masih mengurus koper dan ransel besarnya di bagasi.
Tak lama berselang, pemuda itu masuk. Rambut dan wajahnya tampak basah. Untungnya jaketnya tahan air hujan. Sehingga tak membuat sekujur tubuhnya turut basah kuyup.
Usai celingak-celinguk dari arah depan, pemuda itu memutuskan duduk di kursi sebelah saya yang kosong sedari Terminal Jombor, Jogja. Pemuda yang cukup grapyak.
Apalagi setelah tahu saya dari Rembang, Jawa Tengah, dia malah makin semangat bercerita. Karena ternyata, pemuda yang memperkenalkan diri bernama Rio itu juga dari Rembang.
Menunggu keberangkatan kerja di Jepang
“Saya pulang ke Rembang ini buat pamitan, Mas, ke orangtua. Minggu depan aku sudah berangkat kerja di Jepang,” tuturnya.
Rio bercerita, hingga Januari 2025, sudah enam bulan dia menuntaskan pendidikan bahasa dan budaya Jepang. Juga pelatihan-pelatihan kerja lain untuk bekalnya di Negeri Sakura.
Tiga bulan pertama dia habiskan masa pendidikan di Solo, Jawa Tengah. Sementara tiga bulan sisanya dia gunakan untuk gladi bersih atau pematangan di Magelang, Jawa Tengah.
“Itu nggak cuma belajar bahasa. Tapi ada ujiannya. Kalau lolos dari Magelang, bisa langsung dapat job kerja di Jepang. Tapi kalau gagal, ya coba lagi terus,” ungkapnya.
Beruntung, Rio termasuk salah satu yang lolos. Sehingga kini dia tinggal menunggu pemberangkatan ke Jepang.
Untuk pemberangkatannya sendiri, Rio nanti harus kembali ke Magelang. Rio berencana minta diantar orangtuanya hingga ke Magelang. Sekadar untuk pamit dan berpelukan.
Setelah dari Magelang, Rio akan naik bus bersama rombongan lain menuju Jakarta, sebelum akhirnya bertolak ke Negeri Matahari Terbit.
Pontang-panting di negeri sendiri
Rio lulusan sebuah SMK di Rembang. Setelah lulus, dia pernah menjalani beragam pekerjaan dan di berbagai daerah. Di antaranya, pernah jadi karyawan minimarket di Rembang sendiri, kerja di pabrik garmen di Semarang, kerja nguli di Surabaya, hingga pilihan terakhirnya adalah melaut bersama saudaranya di Sarang, Rembang.
“Yang paling berat tentu kerja garmen. Harus siap mental. Itu pasti. Sebab, di garmen itu penuh caci maki. Bisa dari bos, bisa dari teman sendiri. Salah sedikit saja, sudah habis,” katanya dengan senyum getir. Itu lah kenapa, kata Rio, banyak temannya di garmen Semarang berguguran, karena mentalnya tak kuat.
Urusan caci maki tidak jadi soal bagi Rio. Namun, ada dua hal yang membuatnya tersiksa selama kerja di garmen. Pertama, gaji yang sering molor, bahkan sering dirapel dua sampai tiga bulan sekali. Kedua, uang lemburan yang tak dibayarkan.
Alhasil, Rio sering bertahan hidup dari uang utangan. Setiap terima gaji, mesti langsung ludes separuh untuk membayar utang-utang tersebut.
Dengan begitu, alih-alih bisa mengirim uang ke orangtua, menjamin diri sendiri bisa bertahan hidup saja megap-megap. Rio pun memutuskan resign, pulang ke Rembang, dan mencari pemasukan dari melaut.
Baca halaman selanjutnya…