Sosok Gus Javar—yang belakangan juga dipanggil Gus Akira—sebenarnya sudah mencuri perhatian sejak lama. Namun belakangan, seiring santernya kritik publik pada fenomena gus, bermunculan (lagi) banyak video tingkah-tingkah “nyeleneh” Gus Javar Akira asal Pasuruan itu di media sosial.
***
Gus Javar Akira konon merupakan seorang wali majdzub asal Pasuruan. Penjelasan sederhananya, yakni seorang wali yang bertingkah nyeleneh dan di titik tertentu tampak seperti orang gila. Dia sudah lupa terhadap dunia, bahkan dirinya sendiri. Dalam dirinya hanya ada Allah.
Melihat video-video yang muncul di media sosial, penampilan Gus Javar Akira tentu jauh dari penampilan gus yang lekat dengan atribut keagamaan. Dia berambut gondrong awut-awutan sekaligus bercat merah.
Gus asal Pasuruan itu juga selalu bertelanjang dada (tidak pernah pakai baju). Hanya mengenakan celana pendek yang seringnya juga berwarna merah.
Dalam video yang beredar, Gus Javar Akira tampak suka bermain gitar, dengan gaya bicara yang menurut warganet terdengar ngelantur. Misalnya, dalam sebuah video, tampak gus asal Pasuruan itu berada di atas panggung. Lalu sembari memainkan gitar, dia berujar, “Saya akan tampil di stadion London Inggris!”
Lihat postingan ini di Instagram
Ucapan Gus Javar Akira itu lalu ramai di media sosial. Jadi meme hingga parodi.
Banyak warganet yang sangsi dengan orang-orang yang menganggap Gus Javar Akira sebagai wali (majdzub). Menyayangkan jika ada saja umat Islam yang mengkeramatkannya, karena hanya akan membawa pada kejumudan bahkan kemunduran umat.
Meluruskan gelar wali majdzub yang tersemat pada Gus Javar Akira
Tersorotnya kembali sosok Gus Javar Akira membawa saya diskusi dengan Ahmad Nahrowi, santri alumnus Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, yang kini kuliah Pascasarjana di UNAS Jakarta sembari menjadi pengajar di Pondok Pesantren Aksara Pinggir, Bekasi.
“Definisi yang tepat berdasarkan qaul ulama-ulama masyhur, wali makdzub itu seorang hamba yang jiwanya ditarik oleh Allah, dijalankan langsung oleh Allah, kehendaknya disetir oleh Allah,” beber Nahrowi.
“Namun, ketika terjaga, tetap dalam hal-hal yang dibenerkan oleh syariat. Tidak kok secara serampangan melanggar syariat kemudian dipanggil wali majdzub. Apalagi mentang-mentang latarbelakangnya bernasab,” sambungnya.
Nahrowi mengambil contoh yang cukup populer di Lirboyo, yakni Mbah Akhlis. Nahrowi memberi kesaksian bahwa Mbah Akhlis tetap menjaga syariat ketika terjaga dan tidak melakukan “keonaran” secara serampangan.
Pakaian Mbah Akhlis, sepengakuan Nahrowi, tetap syar’an wa’adatan (sesuai syariat dan adat). Meskipun terkesan agak kumal. Mbah Akhlis masih sering ke masjid dan memberi wejangan kepada santri.
Namun, Nahrowi tidak memungkiri bahwa di Indonesia sering terjadi yang dianggap majdzub justru adalah orang yang lepas dari syar’an wa’adatan tadi (seperti Gus Javar Akira Pasuruan).
Kultus pada wali majdzub seperti Gus Javar Akira bisa mengarah pembodohan umat
Buya Yahya dari Pondok Pesantren Al Bahjah hingga Ustaz Abdul Somad (UAS), dalam ngajinya yang tayang di YouTube, menyebut bahwa wali majdzub tidak perlu diikuti. Hanya perlu dihusnuzoni.
Nahrowi pun sepakat dengan itu. Meski agak sedikit berbeda.
Menurutnya, umat Islam jangan sampai di tahap pengkultusan pada seorang wali yang konon adalah wali majdzub—apalagi yang lepas syariat—hanya karena kisah-kisah karamahnya. Karena hal itu hanya akan membodohkan umat. Sebab, umat tidak mendapat ilmu maupun teladan darinya alias tidak produktif.
“Wali atau kekasih Allah itu bukan hanya wali majdzub. Akan jauh lebih baik mengikuti wali-wali yang masyhur. Itu bisa kita lihat secara telanjang mata, yakni beliau-beliau yang tetap memberikan manfaat kepada umat,” ungkap Nahrowi. Salah satu contohnya adalah KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha).
Apalagi Gus Baha dalam beberapa momen ngajinya juga sering menekankan, wali itu tidak hanya yang diceritakan punya karamah aneh-aneh (seperti terbang, menarik makanan dari langit, dan sejenisnya). Orang yang diberkahi dengan kealimam (ilmu) itu juga wali.
“Saya kan cita-citanya jadi wali, tapi jalur ilmu.” Begitu yang kerap Gus Baha sampaikan.
Gus Baha mencontohkan Rasulullah Saw. Beliau memang punya mukjizat bisa membelah bulan. Tapi bagi Allah, itu mukjizat yang sepele belaka. Mukjizat paling istimewa Rasulullah adalah al-Quran: di dalamnya memuat ilmu dan teladan.
Cerita keramah begitu disukai
Kecenderungan umat Islam, khususnya di Jawa, baik kiai maupun orang awam, memang suka menyampaikan sejarah dengan penuh tamsil (perumpamaan).
“Orang Jawa itu terhadap hukum positif yang tertulis dan disepakati itu tidak takut. Tapi begitu dengan hukum-hukum karma, ancaman adat atau pamali, pada takut,” tutur Nahrowi.
“Misalnya kayak menjaga lingkungan, bila dikasih kajian ekologis, umat akan abai. Tapi jika dikasih efek eskatologis, langsung pada taat. Itu juga berpengaruh kemudian kiai-kiai ceritanya sering soal kesaktian atau magic,” imbuhnya.
Paling penting lagi menurut Nahrowi, masyarakat Jawa lebih suka gethok tular (cerita dari mulut ke mulut. Verifikasi sebuah informasi dari lisan, bukan dari tulisan.
“Jelas informasi dari lisan kan bisa berubah-rubah tergantung kekuatan akal si empunya cerita. Maka tak jarang kemudian ceritanya dilebih-lebihkan,” kata Nahrowi.
Perbanyak cerita ilmiah, kurangi cerita karamah
Oleh karena itu, dalam mengajar, kini Nahrowi menekankan pada: memperbanyak cerita ilmiah ketimbang cerita karamah. Untuk melatih nalar kritis pada santri/murid.
Santri atau pelajar, dalam tinjauan Nahrowi, umumnya bila disodorkan hukum kausalitas akan sangat antusias. Misal rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, puasa bisa nambah sehat, salat bisa bikin hati tenang, dll.
“Nah, sedangkan karamah itu tidak ada aspek kausalitasnya. Coba sebutkan amalan atau perbuatan apa yang menjamin benar-benar mengakibatkan karamah, kan nggak ada,” ujar Nahrowi.
“Maka, cerita karamah perlu dikurangi. Efek pada daya nalar dan intelektualnya tipis. Ya mentok-mentok nambah rajin amalan-amalan lah. Padahal derajat santri itu masih belajar, bukan amalan,” sambungnya.
Maka, bagi Nahrowi, kaidah “Istikamah (persistensi, konsistensi) lebih baik dari 1000 karamah (magic)” itu perlu digaungkan ke para santri/murid.
Melalui Instagramnya, Nahrowi menyusun secara ringkas perihal dampak dari memperbanyak cerita ilmiah dan kurangi cerita karamah, bisa dicek berikut:
Lihat postingan ini di Instagram
Untuk konteks Gus Javar Akira asal Pasuruan yang konon wali majdzub, saya kembalikan ke pembaca.
Yang tahu wali hanya wali
Yang Nahrowi garisbawahi lagi yakni perihal qaul yang menyebut bahwa “Yang tahu kewalian seseorang hanyalah seorang wali sendiri.” Qaul ini membuat orang awam taklid saja pada seseorang yang menunjuk orang lain sebagai wali.
Misalnya, ada orang nyeleneh, lalu disebut oleh seseorang ternyata merupakan sosok wali. Maka orang awam akan mengikutinya karena asumsi: saling tunjuk kewalian itu terjadi antarsesama wali.
Orang awam tidak bisa menyangkal karena tidakmemiliki kemampuan melihat indikator kewalian. Alhasil hanya bisa taklid.
“Padahal biasanya kalau memang benar-benar wali, maka tidak suka menunjukkan diri kalau dia wali. Atas hal inilah sesama wali, bentuk menjaga kehormatannya, ya tidak membongkar kewalian seorang wali. Kok tiba-tiba walinya dibongkar di muka umum, ini yang mbongkar malah perlu dipertanyakan kewaliannya,” tutup Nahrowi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Gaya Mewah Para Gus Masa Kini, Upaya Relevan dengan Zaman atau Meninggalkan Kezuhudan? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan