Masa depan guru honorer di Temanggung bisa dibilang suram. Upahnya minimum, tapi dituntut kerja maksimum dengan dalih “pengabdian”.
Mojok sendiri berbincang dengan Baqoy (25), bukan nama sebenarnya, seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) asal Temanggung. Ia melihat tak ada masa depan cerah dengan profesinya: honornya tak manusiawi, tapi kalau mau memperbaiki nasib susahnya setengah mati.
Belum lagi, mereka juga “haram” membicarakan kebenaran terkait nasib mereka. Baqoy bahkan dipecat dari sekolahnya karena dianggap terlalu kritis.
Lulus S2 jadi honorer bergaji Rp582 ribu, itu pun masih dipotong
Bagi Baqoy, guru bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan pahlawan yang perlu tanda jasa. Prinsip inilah yang konsisten ia suarakan, sampai akhirnya berujung pada pendepakan.
Baqoy bekerja sebagai guru honorer di Temanggung sejak 2023 lalu. Meski sudah setahun lebih bekerja, upahnya stuck di angka Rp582 ribu. Itupun masih dipotong Rp100 ribu untuk simpanan pokok dana sosial kekeluargaan, yang diperuntukkan salah satunya sebagai sumbangan bagi guru yang sakit.
“Pernah sekali waktu pas gajian saya protes ke tata usaha (TU), kenapa gaji guru honorer yang dipotong untuk dana sosial, seharusnya kan gaji guru PNS saja yang dipotong. Wong gaji mereka lebih besar,” kata Baqoy saat dihubungi Mojok, Kamis (13/3/2025).
Padahal, lanjut Baqoy, rata-rata guru PNS di sekolahnya itu berangkat kerja pakai mobil. Gawainya pun Iphone. Yang artinya, rata-rata dari mereka hidup sejahtera. Sialnya, gaji guru honorer yang malah dikorbankan.
Sering kena tegur karena menentang praktik kebohongan nilai di sekolah
Tak cuma masalah gaji yang tak seberapa, sejak bulan pertama bekerja pun Baqoy kerap disidang kepala sekolah. Alasannya, guru honorer Temanggung ini dianggap suka mengkritik.
Masalah pertama yang mengakibatkan debat panas antara Baqoy dan para guru senior adalah praktik membulatkan nilai siswa yang kurang menjadi pas kriteria ketuntasan minimal (KKM). Di sekolah tersebut, kalau ada nilai siswa kurang dari KKM, mereka tidak perlu melakukan remidi.
“Mata pelajaran saya itu Pendidikan Agama Islam lho, mana boleh nilainya dinaikkan jadi KKM tanpa melewati proses remidi, bahaya ini,” ucap guru honorer ini.
Namun, kritik Baqoy kerap ditepis dengan jawaban yang menurutnya di luar esensi. Misalnya, para guru senior selalu berpendapat bahwa membulatkan nilai diambil karena takut para siswa kelas sembilan akan kesulitan untuk daftar SMA/SMK kelak.
Ketika Baqoy masih keukeuh dengan pendiriannya, para guru senior langsung merespon, “jangan terlalu idealis, Anda itu bukan mahasiswa lagi!”.
Membongkar praktik curang itu ke para murid
Melihat perdebatan yang semakin panas, akhirnya Baqoy terpaksa menurut. Namun, kekesalan itu terus ia simpan hingga suatu hari setelah masa ujian beres, Baqoy membongkar praktik nilai di hadapan para murid.
“Apakah kalian tahu, kalau nilai kalian yang bagus itu justru karena dibulatkan ke KKM. Karena kalau tidak, nilai kalian pasti banyak yang jelek,” kata guru honorer ini, mengulang kata-kata yang ia sampaikan kepada muridnya.
Omongan Baqoy di kelas pun langsung menyebar ke para guru senior. Alhasil, ia dimarahin lagi. Tak sampai di situ, para guru juga menganggap Baqoy cuma bikin para siswa tidak semangat belajar.
Tetapi Baqoy tak kehabisan jawaban. Bagi guru honorer ini, kejujurannya itu malah bisa meningkatkan motivasi siswa.
“Justru karena nilai sudah pasti dibulatkan murid jadi malas belajar, kan udah pasti aman toh nilainya. Jadi mending adakan remidi biar murid ada motivasi belajar.”
Guru honorer ini dituduh mendoktrin muridnya menjadi “kritis”
Dalam rangka menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sekolah pun mengadakan kegiatan kokurikuler. Menurut Baqoy, kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kompetensi dan karakter siswa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Kebetulan, ia ditunjuk oleh guru senior untuk membuat materi sekaligus konseptor Bab “Suara Demokrasi” sebagai bagian dari P5. Selaku konseptor, akhirnya guru honorer ini membuat materi mengenai kebebasan berpendapat.
“Aku mengajari siswa tentang pentingnya kebebasan berpendapat. Dan output yang kuminta adalah mereka menyuarakan keresahannya dalam karya berbentuk poster. Pesanku ke murid cuma satu, ‘jangan ad hominem’,” terang Baqoy.
Ide Baqoy awalnya ditentang karena menurut para guru seniornya, suara demokrasi bisa dijelaskan dengan contoh yang sederhana, seperti pemilihan ketua OSIS. Meskipun sempat mendapatkan penolakan, akhirnya ide Baqoy tetap dilaksanakan.
Ketika hari gelar karya tiba, kepala sekolah syok melihat berbagai kritikan dari para siswa. Baqoy disclaimer bahwa ia tidak pernah mengintervensi para muridnya harus mengkritik apa. Baqoy hanya sekali memaparkan pentingnya kebebasan berpendapat.
“Ada kelompok yang mengkritik Temanggung, dan ternyata referensinya itu dari Mojok.co. Tetapi yang bikin naik pitam Bu Kepsek, kritikan dari kelompok siswi perempuan yang menentang kegiatan P5 itu sendiri, akibatnya aku dan siswi itu dipanggil ke ruangan kepsek,” ungkap guru honorer ini.
Guru honorer ini kena semprit hanya karena memimpin diskusi
Baqoy tidak hanya mengkritik sistem pendidikan di sekolahnya. Guru honorer ini juga aktif menyuarakan keresahannya di linimasa dan ruang-ruang diskusi.
Sebagai misal, Bagoy memimpin sebuah diskusi dengan tema pendidikan yang digelar komunitas Filosotoy pada pertengahan tahun 2024 lalu.
Dalam diskusi itu, Baqoy menceritakan bahwa ia pernah “menyadarkan” murid yang sempat bercita-cita jadi guru. Pasalnya, murid tersebut mengira bahwa gaji guru itu besar.
Syok dengan realitas nasib guru honorer itu pahit, sejak hari itu juga murid Baqoy mengganti cita-citanya. Dan seperti biasa, Baqoy pun kena tegur karena dianggap menyebarkan ketakutan.
“Gara-gara mimpin diskusi di Filosotoy, aku langsung dipanggil kepsek. Aku ditegur keras karena dianggap memperburuk citra sekolah dan guru,” tutur Baqoy
Setelah ketahuan Baqoy sering menyuarakan isu guru di ruang-ruang diskusi, sejak itu media sosial Baqoy juga ikut dipantau. Akibatnya konten-konten dan tulisan Baqoy juga banyak diketahui kepala sekolah dan guru seniornya.
Mulai dari kritik nasib menjadi lulusan PAI yang tidak mempunyai program pendidikan profesi guru (PPG), membongkar nasib guru honorer yang dikoyak-koyak kemiskinan dan administrasi, hingga tulisan mengenai kritik sistem zonasi.
Hari pemecatan yang dipenuhi intrik kebohongan
Tidak berselang lama setelah kegiatan Baqoy dipantau, hari pemecatan pun tiba. Mula-mula, ibu Baqoy dipanggil ke sekolah untuk menemui kepala sekolah.
Ibu kepala sekolah bilang kepada ibu Baqoy, bahwa guru honorer ini dipecat karena mengganggu kestabilan sekolah dan banyak berbuat kesalahan yang sudah tidak bisa ditoleransi.
Setelah memanggil ibunya, kepala sekolah gantian berbincang dengan Baqoy. Namun, pernyataan yang disampaikan kepala sekolah kepada ibu Baqoy dan dirinya itu berbeda.
“Kepsek bilang, bahwa ibuku memilih saya keluar dari sekolah ini. Sementara ibuku bilang, bahwa kepsek memecatku. Tentu aku lebih memilih percaya ibuku lah, gila kepsek sampai bawa ibuku lho untuk memcatku,” ucap Baqoy.
Di hari pemecatan itu, Baqoy diminta ibunya untuk pamitan dan meminta maaf sebagai tanda perpisahan. Namun, ia menolak karena merasa semua ini kesalahan pihak sekolah.
“Kan yang salah mereka, kenapa aku yang harus meminta maaf,” tegas guru honorer ini.
Di hari itu, Baqoy resmi menganggur. Ia sempat merenungkan apakah yang selama ini ia lakukan itu kesalahan. Namun, dirinya tetap yakin bahwa apa yang diperjuangkan itu kebenaran.
“Aku sempat depresi, berminggu-minggu aku sempat sulit tersenyum. Padahal istriku juga mau melamar sebagai guru, bayangkan saja, aku memberikan kesan pahit bahwa menjadi guru ternyata menyedihkan di saat istriku justru melamar kerja.”
Penulis: Rizky Benang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kala Amanah dan Harapan Guru Honorer Lulusan UNY “Dibunuh” oleh Negara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.