Untuk naik ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pengunjung harus menggunakan alas kaki khusus seperti upanat. Bukan tanpa alasan, dengan menggunakan upanat, artinya masyarakat juga ikut melestarikan candi sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat desa setempat.
***
Muh Zamzami (42) sudah tampak siap menyambut kunjungan dari belasan media internasional di rumah produksi sandal upanat pada Sabtu (10/5/2025). Tepatnya di Omah Sandal and Handi Craft, Kecamatan Borobudur, Magelang.
“Masuk, masuk. Maaf, tempatnya kecil,” kata Zamzami, mempersilahkan awak media masuk ke ruangan produksi sandal upanat yang dikelolanya.
Setidaknya, setengah ruangannya cukup untuk sekitar 15 orang yang meliput. Ditambah mesin-mesin jahit yang berjejer di samping tembok, serta lantai yang penuh dengan anyaman pandan, alat cetak, busa ati, lem, serta bahan-bahan lain untuk pembuatan upanat.
Sedangkan, proses pengukuran dan pemotongan alas sandal upanat persis dilakukan di teras. Menurut pantauan Mojok, ada dua alat pemotong berwarna hijau dekat pintu dan seorang pemuda yang sedang bekerja.
Zamzami sendiri adalah ketua paguyuban perajin sandal khas upanat yang memiliki tujuh orang karyawan di Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Magelang. Sudah empat tahun ini ia menjalani profesi sebagai perajin anyaman pandan.
Upanat sebagai usaha kolektif membangun ekonomi desa
Pemuda asal Borobudur, Magelang itu mengaku mulai menjual berbagai macam produk bambu sejak 2021. Namun, saat Covid-19 melanda, penghasilannya ikut menurun seiring dengan berkurangnya jumlah pengunjung di Candi Borobudur.
Di sisi lain, Zami, sapaan akrabnya, tak berhenti berdagang. Suatu hari, Balai Konservasi Borobudur mengadakan program pelatihan untuk pembuatan sandal upanat ke sejumlah perajin. Zami pun mengikutinya.

“Alhamdulillah saya kemudian diamanahi sebagai ketua paguyuban perajin sandal upanat, dan memiliki karyawan sebanyak tujuh orang di Desa Tuksongo,” kata Zami saat ditemui di Omah Sandal and Handi Craft, Kecamatan Borobudur, Magelang pada Sabtu (10/5/2025).
Zami sendiri tak muluk-muluk memilih karyawan. Yang penting mereka rajin, tekun, dan mau belajar. Sebab, kata dia, produksi upanat merupakan bisnis kolektif yang sejatinya ada untuk mendorong perekonomian masyarakat lokal.
“Usaha ini membantu sekali, terutama saat Covid, karena industri yang sebelumnya redup bahkan tidak beroperasi, kini pelan-pelan bisa beroperasi kembali,” ujar Zami.
“Mulai dari perajin lokalnya, petani, petugas quality cek (QC), perajin yang menyetor ke BUMDes, lalu petugas yang mengirim ke TWC Borobudur. Akhirnya dari situ kami bisa sama-sama membangun perekonomian,” lanjutnya.
Membuka lapangan kerja bagi warga lokal Borobudur
Salah satu petugas pengecek kualitas upanat adalah Rizki Aji (27). Bagi dia, upanat adalah berkah. Pemuda asal Borobudur, Magelang itu berujar, sempat bertahun-tahun menganggur di masa Covid-19.
“Dulu aku sempat kerja sebelum kuliah di Jogja. Setelah lulus, aku nganggur dan balik lagi ke Magelang. Alhamdulillah dapat kerja dekat rumah dengan jam yang tertata,” kata staf gudang produksi upanat itu kepada Mojok di Kantor Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma), Sabtu (10/5/2025).

Kini, Rizki sudah bekerja selama dua tahun. Ia mengaku pekerjaannya tak terlalu sulit, tapi harus benar-benar teliti. Misalnya, mengecek warna pandan yang masih terlalu hijau, jahitan yang kurang kuat, dan bahan yang belum sesuai standar.
Karena tugasnya tersebut, ia jadi terkesan cerewet ke perajin sehingga kurang disukai. Namun, itu bukan menjadi masalah serius baginya. Karena lagi-lagi, pekerjaan itu sifatnya kolektif dan harus diterima apapun konsekuensinya.
“Hehehe, namanya risiko pekerjaan QC jadi nggak ada yang terlalu sulit,” kekeh Rizki sambil mengecek satu plastik upanat yang siap kirim.
Filosofi produksi dan penggunaan upanat di Candi Borobudur
Perajin upanat sekaligus seniman, Ki Ajar Singodikoro berujar Candi Borobudur dibangun leluhur sebagai bukti adanya peradaban. Sementara, manusia yang diwarisinya berhak untuk melakukan pemberdayaan. Ia juga ingin warga lokal lebih merawat peradaban tersebut.
“Kita orang Jawa ini kan diajarkan asah, asih, asuh, sebab apa yang kita terima ada hak orang lain,” ucap laki-laki yang akrab dipanggil Mas Nur itu saat ditemui di Omah Mbudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Sabtu (10/5/2025).
Sementara itu, sebagai alas kaki, upanat mengajarkan manusia untuk memiliki dasar dalam menepaki sebuah perjalanan. Maka, kata Nur, naik candi pun harus dengan benar. Dipelajari dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Tapi secara umum juga bisa dimaknai sebagai alas untuk melindungi kaki, misalnya dari duri, cuaca panas, agar tidak kotor, dan sebagai upaya kita untuk menghargai sesuatu,” jelasnya.
Pada tahun 2023, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memang mewajibkan pengunjung yang naik Candi Borobudur menggunakan sandal upanat.
Sebelumnya, Balai Konservasi Borobudur telah melakukan penelitian dan menemukan cara untuk “memperpanjang” usia candi. Salah satunya dengan mewajibkan pengunjung menggunakan sandal khusus yang mampu mengurangi pengikisan terhadap permukaan batuan candi. Sandal itulah yang kemudian dinamai upanat.
Upanat sendiri memiliki arti alas kaki. Bahannya terbuat dari bahan-bahan alami seperti daun pandan, batok kelapa, dan busa ati. Ide itu mulanya terinspirasi dari salah satu pelaku industri kreatif lokal di sekitar Candi Borobudur, Basiyo.
Basiyo sudah membuat kerajinan anyaman sejak tahun 1997 dan mulai dikembangkan oleh Balai Konservasi Borobudur sejak Januari 2022. Selanjutnya, mereka memberi pelatihan kepada warga lokal untuk memproduksi upanat.
Warga lokal bisa dapat untung miliaran dari produksi upanat

Nur yang juga ketua Bumdesma berujar pengelolaan upanat membutuhkan dana sebesar Rp50 juta untuk tiap desa per tahun. Hingga hari ini, ada kisaran 50 perajin di 20 desa se-Kabupaten Magelang, plus 5 perajin dari lima kecamatan pendukung yang tergabung dalam Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda).
Ia menegaskan, hasilnya tersebut akan dikembalikan lagi kepada perajin upanat. Jika ditotal pembayaran kepada perajin upanat dapat mencapai Rp13 miliar selama setahun.
“Kami juga bisa memberikan pajak, PPN, PPH, dan lain-lain, untuk negara per tahunnya 2,1 miliar,” ujarnya.
Di sisi lain, ketua paguyuban perajin upanat, Muh Zamzami berharap kuota pengunjung yang naik ke Candi Borobudur ditambah, sehingga warga sekitar bisa lebih sejahtera ekonominya.
“Semoga ada kebijakan baru dari pemerintah agar segera menambah kuota pengunjung yang naik ke candi, sehingga pelaku UMKM di bidang pariwisata dan masyarakat sekitar Borobudur bisa lebih mapan,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah Mbah Hamid, Menyambung Hidup dari Rangkaian Bambu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.