Orang Madura sudah kenyang dengan diskriminasi yang mereka terima di perantauan. Namun, setidaknya di antara mereka merasa lebih dihargai saat berada di Jogja ketimbang di Surabaya.
Salah satu orang yang merasakan hal tersebut adalah Tulah (26). Pria yang baru saja menyelesaikan studi S2-nya di Jogja ini merasa ada perlakuan berbeda yang ia alami selama di perantauan.
Tulah sendiri menghabiskan empat tahunnya di Surabaya untuk kuliah S1. Sementara sejak tiga tahun lalu, ia menetap di Jogja buat lanjut S2 dan bekerja.
“Jogja dan Surabaya itu ibarat bumi dan langit. Silakan dibantah. Tapi itu yang aku rasakan,” kata Tulah, saat Mojok temui pada Selasa (4/2/2025) malam.
Dianggap berwatak keras dan kriminal oleh orang Surabaya
Dalam buku Dialektika Madura dalam Pusaran Stigma (2023), dosen IAIN Madura Saiful Hadi menjelaskan bahwa diskriminasi yang kerap dialamatkan kepada orang-orang Madura di perantauan adalah labeling.
Labeling ini muncul akibat budaya pop yang menampilkan orang-orang Madura ke dalam karakteristik tertentu. Misalnya, dianggap keras karena ada budaya Carok, atau dianggap kriminal karena satu-dua pemberitaan. Akibatnya, label itu diamini banyak orang orang, termasuk Surabaya, dan menjadi cara pandang yang umum.
Selama kuliah di Surabaya, Tulah pun mengaku bahwa pandangan sebagai karakter keras dan kriminal inilah yang membuatnya kesulitan bergaul. Alhasil, ia pun memilih bergaul dengan mahasiswa sesama Madura yang kuliah di kampusnya.
“Serba salah. Saat bergaul, kita kerap dihina-hina dengan cara pandang mereka yang rasis. Tapi kalau kita memilih gaul sesama suku, dianggapnya eksklusif, pilih-pilih,” ujarnya.
“Sampai di titik kalau ada berita kriminalitas yang viral, kita orang-orang Madura selalu dibawa-bawa. Kesannya kalau kita ini sumber dari segala sumber kejahatan. Sampai ada yang nyebut ‘Meksiko’ buat menganalogikan Madura.”
Bias-etnosentrisme
Mojok pun berbincang dengan Guru Besar Antropologi Universitas Airlangga (UNAIR), Mohammad Adib, untuk membahas fenomena ini.
Dalam kajian antropologi, kata Adib, ada istilah “bias-etnosentrisme”. Ia merupakan cara pandang masyarakat terhadap kelompok tertentu berdasarkan latar belakang sukunya. Dalam bias-etnosentrisme, umumnya terdapat suku tertentu yang dianggap lebih inferior ketimbang suku lain.
“Fenomena ini dalam skala luas juga terjadi di berbagai tempat. Umumnya, suku mayoritas bakal menganggap minoritas sebagai kelompok yang bisa didominasi. Oleh karena itu, jika terjadi gesekkan, biasanya itu langsung dihubungkan dengan latar belakang kesukuannya,” jelas Adib, Rabu (5/2/2025).
Ia juga menambahkan, dalam bias-etnosentrisme berlaku konsep sentral-periferal alias pusat dan pinggiran. Dalam konsep ini, kelompok masyarakat yang berada di pusat, bakal memandang rendah orang-orang yang berada di pinggiran.
Adib pun menduga, dalam konteks diskriminasi terhadap Madura, mereka dianggap periferal karena lokasinya jauh dari pusat kota atau keramaian, seperti Surabaya.
“Konsep sentral-periferal ini, juga kita temui, misalnya cara pandang orang Jogja ke orang Gunungkidul. Dalam banyak kasus, orang Jogja merasa lebih superior karena berada di kota, sementara Gunungkidul pinggiran,” ungkap Adib.
“Orang-orang di kota merasa mereka lebih berpendidikan dan beradab ketimbang orang pinggiran, sampai muncullah stigma-stigma negatif tadi.”
Madura tidak tunggal
Kendati demikian, menurut Adib, sebagai sebuah wilayah Madura itu tidak tunggal. Di Pulau Madura terdapat empat kabupaten, yakni Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep.
Suku yang mendiami pun juga beragam. Ada Suku Madura, Jawa, Tionghoa, Arab, bahkan Bugis dan Sunda.
Adib, yang bertahun-tahun menghabiskan waktu melakukan riset antropologi di Madura, mengaku paham betul tentang karakteristik masyarakatnya.
Ia mengaku, Madura bagian Timur diisi oleh orang-orang halus, baik secara logat maupun sikap. Sementara Madura bagian Barat lebih beragam, dan logat yang dipakai pun terkesan lebih keras.
“Saya menduga, orang-orang yang mendiskriminasi ini hanya melihat Madura sebagai entitas tunggal. Mungkin, yang mereka lihat hanya Madura bagian Barat karena memang secara logat agak keras.”
Orang Madura mendapatkan tempat nyaman di Jogja
Setelah empat tahun hidup dalam pusaran diskriminasi di Surabaya, Tulah pun memutuskan pindah ke Jogja. Awalnya, ia merasa kalau dua kota ini tak bakal ada bedanya dalam hal memperlakukan orang-orang Madura.
Namun, setelah tiga tahun tinggal di Jogja, ia menyadari betul bahwa Jogja adalah tempat yang nyaman bagi orang Madura.
“Seenggaknya cara pandang bias dan rasis, nggak pernah aku jumpai di sini,” kata dia.
Lebih jauh, berkaca dari banyaknya Warung Madura di Jogja, Tulah beranggapan bahwa orang sepertinya malah disambut baik di sini. Malahan, tak jarang ia mendengar bahwa Warung Madura dianggap sebagai “pahlawan” bagi orang Jogja dan anak-anak kos karena stand by 24 jam.
“Bahasa glorifikasinya, kita dipandang hero di sini. Hahaha.”
BACA JUGA: Apesnya Pengendara Motor Plat P di Surabaya, Ikut Diseret kalau Plat M Berulah karena Dianggap Sama-sama Madura atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.