Bus ekonomi Mira menjadi saksi perantau Surabaya nekat ke Jogja tanpa bekal apa-apa demi mencari kerja. Tujuh jam perjalanan harus dilalui dengan menderita karena kerandoman penumpang bus yang berada di bawah PO Eka Mira itu.
Ingin merantau karena antisipiasi cibibran tetangga
Dari kecil hingga kuliah, Primanda (23) menghabiskan waktunya di Sidoarjo dan Surabaya. Tidak pernah merantau ke luar daerah.
Sebelum lulus dari sebuah kampus negeri di Surabaya pada 2023, Primanda memang sudah membayangkan tidak akan mengundi nasib di Sidoarjo maupun Surabaya. Dia ingin merasakan merantau. Kalau bisa yang jauh sekalian.
Apalagi, dia tahu betul tebiat tetangga-tetangga di desanya—Krian, Sidoarjo. Tetangga yang suka mencibir pencapaian orang lain. Oleh karena itu, daripada kelak mentalnya terganggu, Primandan berencana bisa hidup di perantauan saja.
Bawa uang pas, nekat naik bus Mira ke Jogja
Entah kenapa, Jogja menjadi satu nama daerah yang menarik minatnya. Barangkali karena daerah itu menjadi pusat seni, literasi, dan kebudayaan Jawa. Sesuatu yang pada dasarnya memang Primanda minati.
Maka, pada suatu hari, Primanda memutuskan nekat ke Jogja meski dia tidak punya banyak kenalan di sana. Uang sakunyapun sangat pas-pasan.
“Waktu itu aku cuma bawa Rp250 ribu. Rp200 ribu buat ongkos pulang-pergi Surabaya-Jogja naik Mira. Sisanya, Rp50 ribu kuasumsikan buat beli makan sehari. Karena aku niatnya memang di Jogja sehari aja,” ungkap Primanda kala kami bersua di sebuah kafe di bilangan Sardonoharjo, Sleman, Minggu (15/6/2025) malam WIB.
“Loh kok cuma niat sehari di Jogja? Katanya merantau?” Tanya saja.
Ternyata, keberangkatan Primanda ke Jogja dengan bus Mira hari itu bukan untuk benar-benar merantau. Tapi untuk sekadar survei: kira-kira dia bakal cocok atau tidak tinggal di Jogja. Lalu jenis pekerjaan seperti apa yang bisa didapat di daerah itu.
Makan dan tempat tinggal ditanggung
Hanya ada satu komunitas yang bisa Primanda hubungi setibanya di Jogja. Yaitu kelompok mahasiswa pers mahasiswa (persma) yang pernah dia kenal dalam sebuah acara.
Di basecamp merekalah Primanda menumpang tidur. Tidak hanya itu, bahkan urusan perutpun ditanggung oleh para mahasiswa persma itu.
“Dari situ aku mikir, wah cocok ini kalau merantau ke Jogja,” tutur Primanda. “Karena banyak orang baik. Nggak egois. Hidup secara kolektif.”
Beda misalnya di kota-kota besar seperti Surabaya atau Sidoarjo. Kendati tinggal di desapun, sepanjang masih di garis dua kota itu, kecenderungan hidup masyarakatnya masih individualistik kalau untuk urusan bantu-membantu.
Pertimbangannya hanya sesederhana itu. Tapi, jujur saja, Primanda mengaku tidak punya gambaran yang lebih konkret perihal bakal kerja apa kelak jika dia benar-benar merantau ke Jogja?
Berdamai dengan armada jelek bus Mira
Setelah sehari mencicipi Jogja, Primanda lantas pulang kembali ke Surabaya dengan hati yang sangat mantap: bahwa Jogja adalah tempat yang kelak bakal dia tuju.
Dalam perjalanan pulang itu, bus Mira lagi-lagi menjadi pilihannya.
“Sebenarnya enak naik bus ini. Boleh merokok. Tapi memang panas bukan main. Karena AC-nya nggak nyala,” ungkap Primanda.
Sebenarnya, untuk kelas ekonomi, ada bus lain di rute Surabaya-Jogja. Yakni Sumber Selamat. Banyak armada bus ini yang labih nyaman. Kursi enak. AC dingin.
Atau bisa saja naik bus PATAS: Eka atau Sugeng Rahayu. Tapi karena pasti lebih mahal, Primanda tidak memasukkannya sebagai pilihan. Sementara kalau kereta api, dia merasa harus patuh pada jadwal. Sehingga kurang pas untuk “menikmati” Jogja yang hanya sehari itu.
Namun, karena level bus ekonomi waktu itu kebetulan nemunya Mira, mau tak mau Primanda pakai bus tersebut. Walaupun armadanya tak sebagus Sumber Selamat, ugal-ugalan pula cara nyetirnya, tapi paling tidak Primanda masih bisa menikmati perjalanan sambil merokok.
“Awalnya aku kaget. Kok ada yang merokok? Emang boleh ini? Tapi karena ternyata nggak ada teguran, ya sudah aku merokok saja sekalian. Membunuh kebosanan. Perjalanan panjang,” katanya.
Hadapi kerandoman penumpang (1)
Momen naik bus Mira Surabaya-Jogja itu memang bukan pengalaman kali pertama Primanda naik bus ekonomi. Namun, sepengalamannya naik bus ekonomi lain di rute lain, memang belum pernah dia temui kerandoman jenis penumpang seperti di bus Mira waktu itu.
Dari Jogja, Primanda yang awalnya duduk sendiri tiba-tiba dijejeri oleh penjual pentol: duduk sambil membawa gerobak pikul.
“Awalnya kupikir dia mau jualan. Ternyata tidak. Malah tidur. Sampai Solo, Ngawi, Madiun. Tidur. Artinya ini bukan orang mau jualan di bus, tapi memang lagi perjalanan,” tutur Primanda. “Tapi kok ya harus bawa gerobak pikul itu loh.”
Hadapi kerandoman penumpang (2)
Awalnya Primanda pun tidak merasa terganggu. Sampai kemudian, main jauh bus Mira meninggalkan Jogja, makin terasa masalahnya.
Masalahnya, posisi gerobak pikul yang dipangku oleh si penjual pentol itu membuat posisi duduk Primanda jadi sesak. Dia harus sangat mepet ke pinggir jendela. Sementara si bapak penjual tidur teramat nyenyak.
“Masalahnya lagi, bagian gerobak yang mepet aku itu gerobak yang berisi dandang panas. Jadi hawanya panas banget lah di kursiku. AC sudah nggak nyala. Kejepit. Kena dandang panas,” beber Primanda sembari tertawa.
Tak hanya itu, gerobak berisi dandang panas itu juga mengeluarkan uap panas. Uap panas yang menerpa wajah Primanda tanpa bisa dia elak. Benar-benar perjalanan yang menyiksa.
“Mau aku bangunin tapi kasihan. Karena bapak-bapak tua kan. Tidur pulas lagi. Paling kecapekan. Jadi ya sudah, sepanjang tujuh jam Jogja-Jombang, aku harus ngempet kondisi menyiksa itu,” sambungnya.
Si bapak penjual pentol itu akhirnya turun di Jombang. Setelahnya, barulah Primanda merasa lega luar biasa, meski keringat sudah membasahi tubuhnya. Wajahnya pun terasa panas-panas perih akibat kena uap panas sepanjang perjalanan.
***
Beberapa bulan kemudian, Primanda kembali ke Jogja dengan lebih nekat. Jogja yang sebelumnya dia anggap ramah, ternyata harus membuatnya melakukan banyak cara random untuk bertahan hidup. Untuk bagian ini, Primanda menjanjikan untuk menulisnya sendiri di website Mojok (semoga berhasil, Prim).
“Itu bagian dari caraku bertahan hidup. Nulis buat dapat duit,” tutupnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menyaksikan Kegilaan Sopir Harapan Jaya dan Bus Bagong dari Dalam Bus, Menjadi Saksi Kehidupan Bus yang Selalu Dianggap Biang Masalah Jalanan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan