Bagi seorang pencari kerja seperti Rahajeng Putri (36) syarat batas usia adalah hambatan untuk melamar kerja. Diusianya yang sudah kepala tiga, Putri–sapaan akrabnya merasa perusahaan lebih memilih merekrut anak muda. Sementara, perempuan asal Malang itu harus menelan kenyataan pahit karena ditolak perusahaan sana-sini.
Saat usianya 22 tahun, Putri merasa masih tak kesulitan mencari kerja. Lulus kuliah dan mendapat ijazah, ia langsung mendapat kerja di suatu perusahaan bidang pembiayaan konsumen. Tak lama setelahnya, Putri menikah dan hamil.
Saat itulah Putri terpaksa resign. Ia takut jika rutinitasnya yang sering pulang dini hari mengganggu kondisi janin di dalam kandungannya. Hingga, saat ia ingin kembali bekerja, Putri baru menyadari sangat sulit melamar kerja di usianya yang sudah kepala tiga. Tak hanya dia, tapi bagi suaminya yang terkena PHK di tahun 2019 silam.
“Kami sudah pakai aplikasi pencari kerja lebih dari satu, sudah ribuan lamaran kerja yang kami kirim ke perusahaan tapi sampai sekarang tak ada satu pun panggilan,” kata perempuan asal Malang itu.
Kesenjangan usia dalam melamar kerja
Putri meyakini penolakan itu terjadi bukan karena ia dan sang suami tak mampu. Ia sendiri sedikit banyak tahu tentang proses seleksi rekrutmen karena konsentrasi jurusannya di bidang sumber daya manusia.
Menurut dia, banyak perusahaan yang menganggap kualitas sumber daya manusia di Indonesia rendah. Mereka punya kriteria yang tinggi terhadap karyawan baru seperti harus langsung bisa bekerja. Sedangkan, pelamar yang sudah tua tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pelatihan lagi.
“Sebenarnya banyak orang yang berkualitas dan pantas untuk bekerja, atau mau belajar jika diberi kesempatan,” ucap perempuan asal Malang itu.
Nyatanya, Putri tak sendiri. Apa yang ia resahkan persis seperti kisah Leonardo Olefins Hamonangan. Pemuda asal Kota Bekasi itu bahkan mengajukan uji materi Pasal 135 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tapi ditolak Mahkamah Agung pada Selasa (30/7/2024).
Menurut pemohon, pasal tersebut membuka potensi diskriminasi. Pemberi kerja bisa memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan seperti usia, jenis kelamin, atau latar belakang etnis. Apa mau dikata, hakim bersikukuh bahwa tak ada yang salah dengan pasal tersebut.
Bikin pencari kerja usia tua hopeless
Alih-alih memaksakan diri untuk melamar kerja di sektor formal, Putri terpaksa bekerja di sektor informal. Di mana, pekerja informal kurang mendapat perlindungan ketenagakerjaan seperti pengembangan karier, pensiun, jaminan hari tua, kecelakaan kerja, serta jaminan kematian.
“Akhirnya saya dan suami sama-sama bekerja sebagai driver ojek online,” ucap perempuan asal Malang itu.
Baca Halaman Selanjutnya
Syarat batas usia sebaiknya dihapus