Pagi-pagi sekali. Paling siang pukul 06.00 WIB. Coba lah menuju Jalan Malioboro atau kawasan Tugu Jogja. Niscaya mudah mendapati beberapa fotografer yang stand by untuk memotret para pelari (orang-orang yang sedang lari pagi). Jumlah para fotografer itu cukup banyak.
Selain itu, titik-titik lain di Jogja yang jadi spot bagi pelari antara lain Stadion Mandala Krida, Stadion Sultan Agung, lapangan Pemda Sleman, dan Jalan Mangkubumi.
Saking banyaknya fotografer pelari itu, di media sosial X belakangan sampai ada candaan: “Alasan lari dengan keadaan kalcer di Jogja.” Ya karena para pelari di Jogja banyak yang sadar kalau mereka jadi subjek foto.
Namun memang, keberadaan fotografer lari—termasuk di Jogja—belakangan mulai diresahkan oleh sejumlah pelari. Pasalnya, ada saja para pelari yang merasa risih atau tidak berkenan difoto, tapi fotografer justru meresponsnya dengan arogan. Misalnya dengan mengatakan, “Kalau nggak mau difoto, ya jangan lewat sini!”, atau “Ini kan ruang publik, bebas saja buat kami untuk mengambil foto.”
Kenapa banyak fotografer memburu pelari di Jogja?
Jumat (14/2/2025) pagi WIB, saya menemui Bimo Pradityo (44), seorang senior street photography di Jogja sekaligus brand ambassador Fuji Film yang concern pada persoalan etika fotografer di jalanan.
Bimo menjelaskan, memotret pelari—yang termsuk bagian dari sport photography—sebenarnya bukan barang baru. Menjadi semakin semarak ketika masa pandemi Covid-19.
Lihat postingan ini di Instagram
Dulu di kota-kota besar seperti Jakarta maupun Jogja, yang menjadi tren adalah bersepeda. Seiring waktu, dalam konteks Jogja, tren bersepeda mulai turun dan berganti menjadi lari yang kemudian terus menjadi tren hingga saat ini, beriringan dengan banyaknya orang yang entah sekadar FOMO atau memang menjadikan lari sebagai lifestyle.
“Pada 2022 muncul aplikasi FotoYu. Ini menarik bagi para fotografer—termasuk di Jogja—yang selama pandemi nggak dapat apa-apa,” ungkap Bimo.
Apalagi mekanisme di FotoYu tidak serumit dengan aplikasi serupa seperti Shutterstock. Di FotoYu, fotografer juga bisa menentukan harga sendiri. Sehingga, di awal-awal kemunculannnya itu, cuan yang fotografer dapatkan dari FotoYu terbilang besar. Terutama dalam konteks foto pelari.
Faktor itu lah yang lantas mendorong banyak fotografer seperti laron-laron yang mengerubungi titik cahaya: para pelari.
Gesekan yang sudah diprediksi
Sejak aplikasi FotoYu meledak di kalangan fotografer seiring semakin banyaknya pelari di Jogja, Bimo sudah membaca akan adanya potensi gesekan.
“Hal-hal di jalanan yang generate sesuatu, apalagi uang, profit, laba, dan sejenisnya, pasti ada gesekan. Sebab, pertumbuhan pelari dengan pertumbuhan jumlah fotografer, pasti lebih banyak fotografernya karena faktor kebutuhan finansial. Apalagi di Jakarta itu ada standariasi harga (foto). Itu jadi konsensus yang jika dilanggar akan menimbulkan gesekan antarfotografer,” beber Bimo.
“Belum lagi gesekan dengan pelari yang nggak suka difoto,” sambungnya. Ini lah yang kini tengah jadi diskursus: pada batas mana fotografer boleh memotret para pelari?
Para pelari di Jogja yang belum paham
Pada dasarnya, ruang publik seperti Malioboro di Jogja adalah ruang yang bisa diakses oleh siapa pun. Semua orang punya hak dan kewajiban yang sama: menjaga kenyamanan satu sama lain.
Polemik antara pelari dengan fotografer bermula dari keresahan para pelari dengan dua motif. Pertama, ya tidak nyaman saja. Meras privasinya dilanggar.
Kedua, ada ketakutan foto mereka bakal disalahgunkan. Hal ini seperti diungkapkan oleh fotografer Bali, Keyza Widiatmika (30) dalam Threads-nya yang menjadi salah satu pemicu ramainya diskursus fotografer pelari di media sosial.
Lihat di Threads
Jangan abaikan etika untuk duit yang nggak seberapa
Oleh karena itu, dari sudut pandang fotografer, Bimo menekankan pentingnya bersikap tepa selira. Ada batas-batas etik yang harus dipatuhi (dia sampai menyusun materi untuk edukasi perihal ini). Kalau dalam Persatuan Fotografer Indonesia (PFI) misalnya, fotografer harus patuh terhadap sembilan pasal kode etik.
“Batasannya, kalau foto yang kita ambil akan dikomersilkan, maka harus izin ke subjek (pelari yang difoto) terlebih dulu. Selama nggak dikomersilkan, maka sebenarnya dalam ruang publik, itu nggak ada masalah,” jelas Bimo.
Selain itu, senior street photography asal Jogja itu menekankan agar fotografer juga menaruh rispek terhadap pelari. Jika pelari sudah menunjukkan gestur penolakan untuk difoto, maka fotografer tidak punya hak untuk memotretnya.
Bahkan ketika ada pelari yang terang-terangan menghampiri fotografer meminta foto dirinya dihapus, maka fotografer harus menghapus. Jangan malah resisten apalagi bersikap arogan.
“Kita motret memang nyari angle yang bagus dan seterusnya. Tapi jangan meninggalkan etika, karena kita berada di adat ketimuran,” tekan Bimo.
“Misalnya lagi di Malioboro kan ada kursi, lalu fotografer naik kursi pakai sepatu untuk motret, itu bagi saya nggak pas. Fotografer harus paham bagaimana bersikap di jalanan, ganggu nggak dengan pengguna ruang publik lain? Karena ini ruang milik bersama. Di dalam hak kita ada hak orang lain,” sambungnya.
Etika atau adab adalah yang pertama. Yang kedua adalah soal keselamatan diri fotografer. Jangan terlalu menantang bahaya, lebih-lebih yang mengancam nyawa dalam memotret.
“Saya lebih baik nggak dapat foto daripada melanggar etika dan membahayakan. Saya nggak mau mengorbankan itu untuk mendapatkan duit yang “gak seberapa”,” tegas Bimo.
Memotret event biar nggak risiko
Sementara itu, fotografer senior lain di Jogja, Eko Susanto (56) sejak awal memang mengambil jarak dari menjadikan pelari non event sebagai subjek. Hanya sesekali saja Kang Eko, sapaan akrabnya, ikut memotret para pelari umum di Jogja.
“Karena kalau event, semua pelari tahu bakal difoto dan bisa unduh fotonya di aplikasi FotoYu. Fotografer lain juga bebas memotret. Jadi semua pelari udah siap difoto,” ujarnya saat saya mintai keterangan, Kamis (13/2/2025).
Sedangkan pelari non-event (yang lari-lari biasa saja), sejauh pengamatan Kang Eko terbagi menjadi dua. Satu, ada yang sudah tahu lokasi mana saja yang banyak fotografernya. Mereka tahu konsekuensi bakal difoto, sehingga cenderung sengaja biar difoto.
“Bahkan ada pelari yang sudah kayak jadi langganan untuk difoto karena emang suka difoto dan pelari tersebut emang suka bagi-bagi rezeki lewat membeli foto di FotoYu,” tutur Kang Eko.
Dua, jenis pelari yang tidak suka difoto. Untuk jenis kedua ini, Kang Eko menekankan agar fotografer menjaga etika sebagaimana dijelaskan Bimo di atas.
“Fotografer harus peka membaca gestur pelari apakah bersedia difoto atau nggak. Karena kalau nggak bersedia difoto, walaupun diunggah ke FotoYu juga nggak bakal dibeli,” tutup Kang Eko.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kabur Aja Dulu: Yang Tidak Dikatakan Influencer Itu Kepadamu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan