Di Jogja, rasanya sulit sekali menemukan penjual bakso yang menyediakan lontong. Padahal di Surabaya, lontong menjadi elemen yang selalu ada di setiap penjual bakso.
***
Sebagai warga asli Surabaya yang merantau di Jogja, bakso menjadi salah satu pilihan saya jika bingung mencari menu makan. Sebab tak sulit mencari pedagang bakso. Namun, saya pernah merasa malu sendiri saat bertanya ke pedagang bakso di Jogja.
“Apakah bisa ditambahkan lontong, Pak?” tanya saya. Namun, wajah pedagang itu malah merengut. Dia merasa heran dengan ucapan saya.
“Di sini nggak ada lontong,” kata pedagang itu.
Teman kos saya yang ikut membeli bakso lalu tertawa. Dia berpikir saya sedang bercanda. Saya pun bertanya ke dia, apakah di Palembang tidak ada menu seperti itu?
“Ndak ado (tidak ada), itu semacam ketupat bukan?” tanya Yuni.
Yuni tidak sepenuhnya salah, sebab lontong dan ketupat sama-sama terbuat dari beras. Biasanya, lontong dimasak dengan menggunakan daun pisang, daun kelapa atau plastik. Sementara, ketupat menggunakan daun kelapa atau palma yang sudah dianyam.
Sebagai menu pelengkap
Sono (50), salah satu pedagang bakso di Surabaya mengatakan banyak pedagang yang melengkapi menunya dengan lontong. Namun, dia sendiri mengaku hanya menyediakan bahan itu ketika hari-hari tertentu.
“Biasanya pas puasa-an, pembeli biasanya tanya, saya bawa bahan itu apa nggak,” ucap pedagang bakso yang sudah bekerja sejak tahun 1975 itu kepada Mojok, Kamis (19/11/2024).
Sono kerap mengurangi porsi mie jika ada pembeli yang menginginkan lontong agar tidak banyak karbo. Lontong yang sudah dibuka bungkusnya kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian.
Setelah itu, dia akan menyajikannya dalam mangkok. Ada pelanggan yang meminta lontong dipisah atau dicampur langsung dengan kuah dan bahan bakso lainnya.
Makan bakso dengan lontong itu seperti pakai nasi
Sebagai penikmat bakso dengan lontong, Rochima (23) sering membelinya sepulang sekolah. Perempuan asal Surabaya itu mengaku menganut paham tidak kenyang kalau tidak makan nasi.
“Itu menjadi pengganti nasi yang paling efektif dikala lapar melanda. Rasanya juga khas saat dipadukan dengan isian bakso lainnya,” ucap Rochima kepada Mojok, Kamis (19/11/2024).
Bagi Rochima, menu itu adalah yang hal lumrah. Bahkan wajib dicoba karena mampu mengenyangkan perut yang keroncongan. Sementara, soal rasa biasanya tergantung dari bumbu pedagangnya.
“Makan lontong itu sama seperti menambahkan nasi pada umumnya dengan kuah bakso, teksturnya yang padat dan lebih dimakan bisa mempercepat proses makan saya di tengah jam istirahat,” ujarnya.
“Ditambah kuah bakso yang segar dan isian bakso yang variatif membuat saya ingin menambah porsi,” lanjutnya.
Kuliner khas Surabaya
Rochima sudah menyantap bakso dengan lontong sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saat pergi ke sekitaran Jawa Timur dia mengaku tak sulit memesan menu tersebut.
“Misalnya di Malang, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan,” kata dia. Harganya pun terbilang murah.
Mojok pernah meliput pedagang bakso di Gang 3 Wonocolo, Surabaya yang mematok harga Rp8 ribu dengan isian komplit. Mulai dari pentol, tahu, siomay, dan gorengan. Sementara, rata-rata di Jogja dipatok harga Rp10 ribu untuk bakso biasa.
Rochima juga mengaku kesulitan untuk menemukan bakso dengan lontong di luar Jawa Timur, seperti Jakarta dan Jawa Tengah. Kalaupun ada menu yang terbilang nyeleneh, barangkali itu jenis baksonya.
“Saya sering kali lihat ada bakso isi keju, bakso aci, bakso mercon, bakso ikah asgar,” ucapnya.
Biasanya, lontong memang disajikan dengan sate. Sementara di Jawa Timur ada menu khas seperti lontong balap dan lontong kupang.
Ada komunitas pembuat lontong di Surabaya
Kegemaran Rochima makan lontong rupanya berangkat dari lingkungannya. Dia bercerita mayoritas penduduk di sekitar rumahnya adalah pengrajin lontong, tepatnya di Kampung Lontong, Jalan Banyu Urip Lor.
Kampung itu juga pernah dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa Jurusan Pengengambangan Masyarakat Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Mohamad Jauhari. Penelitian itu akhirnya dipublikasikan dengan judul Keswadayaan Ekonomi Lokal Kampung Lontong di Surabaya.
Dalam penelitian tersebut, Jauhari melihat kemandirian para pengrajin dalam menjalankan usaha mereka. Pengrajin itu kemudian membentuk suatu komunitas atau Paguyuban Pengrajin Lontong Mandiri (P2LM). Mereka membina jaringan kerja dan menciptakan pembagian kerja.
Para pengrajin mengaku selama ini masih kesulitan untuk memasok beras dengan harga murah dari pemerintah. Biasanya mereka harus mencari sendiri beras di pasar dengan harga yang mahal.
Rochima menyayangkan jika keberadaan lontong semakin langka, apalagi di Jawa Timur. Dia juga berharap masyarakat tidak menghardik selera makan orang lain.
“Lontong dengan bakso ini wajib dicoba, sebelum mengatakan aneh karena sangat nikmat dan bikin kenyang,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: 5 Kuliner Surabaya yang Terancam Punah
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News