Entah bagaimana mulanya, seblak—kuliner pedas khas Sunda itu—identik sebagai kuliner untuk perempuan. Secara natural, hal itu membuat laki-laki yang juga doyan seblak jadi dipandang “aneh”. Begitulah yang dua narasumber Mojok rasakan.
Laki-laki suka seblak, salahnya di mana?
Zikrul (26) dan beberapa temannya penyuka kuliner pedas. Maka, seblak pun menjadi salah satu jenis kuliner pedas yang kerap mereka santap.
Beberapa kali Zikrul turut mengantre di warung-warung seblak. Beli untuk dirinya sendiri (membungkus), bahkan sering juga makan di tempat bareng beberapa temannya sesama laki-laki.
“Ya dengan sadar ikut ngantre bareng cewek-cewek. Nggak dalam rangka nganter atau diajak pacar,” tutur pemuda asal Rembang, Jawa Tengah itu, Rabu (16/4/2025).
Dari antre hingga duduk menikmati pesanannya dari warung ke warung, Zikrul merasa sering mendapat lirikan penuh tanda tanya dari cewek-cewek yang juga sedang menikmati seblak. Seolah ada yang salah dari dirinya.
Hingga akhirnya, suatu waktu, Zikrul iseng bertanya pada teman-teman perempuannya saat sedang nongkrong: Kenapa cowok makan seblak dipandang aneh?
“Nggak ada yang bisa memberi argumen. Cuma bisa jawab, ‘Ya aneh aja. Seblak kan identik dengan cewek. Warung-warung seblak juga kebanyakan yang antre cewek. Jadi kesannya cowok yang suka kuliner pedas khas Sunda itu kayak cowok yang kecewek-cewekan aja’. Argumen macam apa itu,” kata Zikrul.
Pertanyaan selanjutnya dari Zikrul: Emang sejak kapan dan kenapa kuliner pedas khas Sunda itu diidentikan sebagai kuliner untuk cewek? Tidak ada yang bisa menjawab. Pokoknya seblak itu ya identik cewek. Itu saja.
Sejak kapan identik sebagai kuliner cewek?
Zikrul mengajak Mojok melakukan penelusuran di mesin pencari: mencari muasal seblak identik dengan cewek. Namun, tidak ada jawaban. Kecerdasan buatan pun tidak bisa menjawab.
Tulisan-tulisan yang muncul kebanyakan soal asal mula terciptanya kuliner pedas khas Sunda tersebut. Seorang penulis di sebuah UGC dari salah satu media online nasional pun bahkan juga sama-sama mempertanyakan identifikasi gender pada seblak.
“Dari sejarahnya, itu kan awalnya makanan tradisional untuk semua kalangan. Bahkan ada unsur ekonomisnya juga: orang Sunda mencoba membuat makanan dari bahan seadanya. Ada krupuk, lalu direbus, lalu dicampur bumbu-bumbu dapur seperti cabai rawit hingga kunir. Lantas jadilah seblak,” beber Zikrul.
Hanya saja seiring waktu, seblak lalu dimodifikasi sehingga tidak hanya terkesan sebagai kuliner tradisional yang seadanya. Mulailah diperkaya dengan aneka macam topping. Ada aneka varian bakso, simoay, hingga bermacam-macam jenis frozen food.
“Penemunya juga kan nggak teridentifikasi, laki-laki atau perempuan? Tapi sepengalamanku, kalau ini kuliner buat cewek, nyatanya beberapa warung seblak juru masaknya justru cowok. Dan para cewek enjoy-enjoy aja dengan itu. Masa cowok hanya boleh masak, tapi kalau ikut makan dipandang aneh?” Gerutunya.
Masak sendiri paling aman
Pandangan aneh terhadap cowok yang makan seblak membuat Zikrul dan beberapa teman laki-lakinya agak “malu” kalau mau makan kuliner khas Sunda itu di warung. Maka, pilihan paling aman baginya adalah masak sendiri di rumah.
Zikrul dan beberapa teman rumahnya memang kerap masak-masak bersama. Biasanya dua minggu sekali.
Menunya pun beragam. Kadang bakar ikan, bakar ayam, nyeblak pun cukup sering. Atau sesekali kalau sedang ingin makan kuliner pedas khas Sunda itu, dia akan mengumpulkan saudara-saudaranya perempuannya.
“Kusuruh belanja, terus masak-masak seblak. Kalau di rumah itu jadi santapan bersama. Tanpa unsur diskriminasi gender. Butuhnya makan ya makan,” ungkap Zikrul. “Belajar ngolahnya ya dari YouTube. Memang nggak seenak di warung. Tapi nggak apa-apa lah. Daripada ke warung terus dipandang aneh.”
Cowok suka seblak: lanangan opo iku?
“Urusan makan loh, kok sampai mendegradasi gender. Keji sekali itu.” Kalau mau serius, begitulah jawaban Irawan (22), salah seorang mahasiswa di Jogja.
Di lingkungan teman-teman kampusnya, bukan cewek yang “mengolok-ngolok” kebiasaan Irawan membeli seblak. Tapi justru para teman laki-lakinya.
“Lanangan opo e, su! Lanang kok mangane seblak (Cowok apaan e, su! Cowok kok makan seblak),” begitu olok-olok yang Irawan sering dengar. Karena Irawan sering beberapa kali membungkus seblak untuk disantap saat nongkrong bareng teman-temannya itu.
Awalnya, tentu saja Irawan merasa tersinggung. Pertanyaannya sama dengan Zikrul: salahnya di mana? Tapi seiring waktu, Irawan memilih tutup telinga.
“Satu, aku beli pakai uang sendiri. Maksudnya nggak ngutang apalagi minta mereka. Dua, masa kita mau menahan diri untuk membeli apa yang kita emang suka hanya karena omongan orang? Kalau kayak gitu, ya nggak bisa nikmatin hidup,” katanya.
“Masa cowok itu makannya harus nasi orek telur Warmindo terus? Itu bukan indikator laki-laki sungguhan, tapi miskin aja.” Jika diceng-cengin temannya, Irawan jawab saja begitu dengan nada bercanda. Dibawa santai aja.
Mereka yang mengolok-olok tak punya jawaban
Mojok juga mencoba mewawancara dua laki-laki dan dua perempuan yang memandang aneh jika ada laki-laki kedapatan menikmati seblak. Kenapa?
Jawaban mereka intinya sama: sebatas aneh saja. Tapi tidak ada penjelasan anehnya di mana?
Hanya karena selama ini para penikmat seblak mayoritas adalah perempuan, maka kemudian menjadi identik dengan perempuan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Nekat Merantau ke Jogja Gara-gara Medsos, Baru 3 Bulan Sudah Terasa Nelangsa karena Banyak Tertipu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan