Bagi banyak mahasiswa, KKN adalah momen yang menyenangkan. Sebab, selalu ada cerita haru sekaligus bahagia dalam setiap momennya. Baik itu antarteman kelompok KKN, maupun dengan warga desa tempat kegiatan itu berlangsung.
Salah satunya, ini dialami Adin (25), mahasiswa UGM yang merasa “tercerahkan” berkat KKN. Baginya, yang selama ini hidup di gemerlap kota, kesenjangan itu tidak ada. Dalam kepalanya, fasilitas publik yang diberikan kepada warga oleh negara sudah merata.
Namun, gara-gara tiga bulan mengikuti KKN di desa, ia jadi paham bahwa masih banyak tempat di Indonesia yang belum “diperhatikan” oleh negara.
“Jalan masih rusak. Aksesnya susah. Bahkan, nyaris tiap malam ada momen mati listrik. Kami jadi membayangkan betapa susahnya menjadi warga di desa tersebut,” ujarnya, Selasa (17/5/2025).
Alhasil, ia pun belajar banyak dari KKN. Kegiatan ini mengajarkan pentingnya kehadiran negara dan bagaimana solidnya warga dalam menghadapi ketidakhadiran negara di tempat mereka.
Namun, beda soal kalau teman KKN “AFK”
Sialnya, pengalaman jauh berbeda dialami Nita (24). Mahasiswa salah satu PTN di Jogja ini menyebut, tak ada keseruan yang ia rasakan selama mengikuti KKN pada 2024 lalu.
Persoalannya, kata Nita, karena teman kelompoknya itu “AFK”. Dalam istilah game, AFK atau away from keyboard berarti pemain sedang tidak berada di depan komputernya atau tidak aktif berpartisipasi dalam permainan, meskipun karakternya masih ada di dalam game.
“Nah, kalau dalam KKN, AFK ini ibarat fisik mereka ada di lokasi KKN, tapi kontribusi sama sekali nggak ada. Badan ada di posko, tapi ide sama tenaganya nol,” kata dia, bercerita kepada Mojok, Senin (16/5/2025).
Cuma muncul di sesi foto
Jangankan inisiatif, untuk sekadar mengerjakan sesuatu saja kudu “disuapi” dulu. Bahkan, kata Nita, kalau pun dikerjakan, hasilnya kurang maksimal karena dilakukan dengan ogah-ogahan.
“Belum lagi kalau banyak alasan. Disuruh ini, alasannya itu. Disuruh itu, cari alasan lain. Ujung-ujungnya teman lain yang mengerjakan,” geramnya.
Yang lebih menyebalkan lagi, orang-orang AFK ini paling semangat saat ada sesi foto atau pembuatan konten video. Kata Nita, kontribusi mereka nggak ada, tapi dokumentasinya di mana-mana.
“Diajak kerja bakti ngilang di pojokan, tapi giliran sesi dokumentasi, paling semangat. Tiba-tiba sudah ada di depan aja.”
Teman KKN yang kalau diingatkan marah, tapi kalau didiamkan cuma rebahan
Potret teman KKN yang demikian menjadi “makanan sehari-hari” Nita selama tiga bulan menjalani kegiatan itu 2024 lalu. Masalahnya, teman KKN dengan kelakuan minus itu tak cuma satu atau dua, tapi banyak.
Nita dan teman-temannya beberapa kali mengingatkan secara baik-baik untuk lebih aktif dan kontributif. Namun, gara-gara ucapan itu, biasanya mereka baper dan memengaruhi suasana kelompok.
“Abis itu biasanya langsung saling diem-dieman. Mau tegur sapa kayak sungkan. Kan nggak sehat buat kelompok KKN,” ujarnya.
Ia tak mau suudzon ke fakultas atau jurusan tertentu. Namun, entah karena kebetulan, mahasiswa KKN dengan sikap demikian biasanya lekat dengan fakultas tertentu.
“Biasanya dari fakultas ‘elite’, tapi aku juga nggak mau generalisir fakultas apa. Tapi yang pernah ngerasain pasti relate,” kata dia.
Punya teman KKN nggak napak tanah lebih menyebalkan lagi
Punya kelompok KKN yang AFK ternyata belum seberapa. Dalam kasta mahasiswa toksik di KKN, ternyata ada yang lebih menyebalkan: yakni “tidak napak tanah”. Hadi (25), mahasiswa Jogja yang 2024 lalu mengikuti program ini, merasakan sendiri.
Bagi Hadi, mahasiswa KKN yang demikian biasanya “memiliki ide-ide besar, visioner, dan cerdas”. Sayangnya, mereka sama sekali tidak realistis; tak melihat kondisi, kebutuhan, dan kemampuan masyarakat desa di lokasi KKN.
“Biasanya itu usulan prokernya ndakik-ndakik, digitalized, tetapi nggak peduli warga butuh ini apa nggak,” ujarnya, Senin (16/5/2025).
Misalnya, pada KKN 2024 lalu, salah satu temannya punya proker sosialisasi “Sistem Informasi Desa Berbasis Blockchain”. Baginya, dari judul agendanya saja sudah terlihat lucu, karena di desa itu koneksi internet.
“Mungkin mentang-mentang anak IT, prokernya pun harus ada IT-IT-nya. Padahal bisa lebih napak tanah kek. Riset dulu warga butuh apa, baru eksekusi ke program,” kata dia.
Masalahnya, kata Hadi, mereka seakan tak peduli dengan masukan. Tiap kali diingatkan, mereka biasanya sembunyi di balik kata “idealis”.
“Padahal itu bebal, bukan idealis.”
Merepotkan warga demi raih nilai A
Kalau yang merasa kesal dan repot cuma teman sesama kelompok KKN saja tidak jadi persoalan. Tapi masalahnya, orang-orang tak napak ini biasanya juga ikut merepotkan warga.
“Bayangin saja, masyarakat biasanya sibuk bertani. Tapi waktu mereka diambil cuma buat mendengarkan sosialisasi program yang nggak bakal punya pengaruh ke mereka? Sia-sia waktunya,” kata Hadi.
Alhasil, harapan mereka akan “bantuan nyata” dari mahasiswa kandas oleh program kerja yang hanya bagus di atas kertas demi memuaskan ego dan terlihat keren.
“Makin kelihatan keren, makin besar potensi dapat nilai A. Kira-kira begitu logika penilaian dari kampus. Tapi sama sekali nggak berdampak apa-apa ke warga,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Rasanya Magang di Instansi Pemerintahan Jogja: Duit Seret, Pengalaman pun Nggak Dapet! Gambaran Kusutnya Birokrasi Negara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.