Jika ada yang bilang “Kuliah di manapun sama saja”, rasa-rasanya tidak demikian jika kuliah menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) atau sejenisnya.
Sebab nyatanya, mahasiswa UIN kerap kali dipandanag sebelah mata. Bahkan mendapat sematan-sematan “menyebalkan” yang bikin mental nggak aman karena membuat seseorang merasa selalu inferior. Begitulah yang dua narasumber Mojok ungkapkan.
Mahasiswa UIN sering menerima ledekan
Jika bertemu orang baru yang seumuran, “Dulu kuliah di mana?” menjadi satu pertanyaan yang nyaris tidak pernah luput diterima Amran (26), alumni UIN, pemuda asal Blitar, Jawa Timur.
Jika Amran menjawab asal kampusnya (Universitas Islam Negeri), biasanya si penanya akan mengawali jawaban dengan “O” panjang. Lalu disusul dengan, “Pak ustaz berarti. Siap Pak Ustaz.” Atau, “MasyaAllah. Jadi Gus berarti.” Atau “MasyaAllah akhi.”
“Bukan untuk mengapresiasi. Tapi untuk meledek,” tutur Amran, Jumat (9/5/2025).
Seolah-olah menjadi ustaz, gus (nama panggilan untuk anak kiai yang sekarang lebih identik dengan sembarang orang asal berpakaian agamis), dan akhi-akhi (pemuda agamis) adalah hal yang keliru dan lucu.
“Barangkali karena belakangan banyak ustaz atau gus yang nyeleneh. Jadi mahasiswa kampus Islam, apalagi berlatar belakang pesantren seperti aku, ditambah jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT), jadi kena juga,” ungkap Amran.
Berkutat dengan diskusi soal ketuhanan
Amran mengakui, iklim diskusi mahasiswa UIN memang begitu kuat. Di kampus, di warung kopi dari malam sampai subuh, banyak mahasiswa melingkar. Tiga orang. Lima orang. Bahkan kerap membentuk lingkaran besar di tempat-tempat tertentu.
Awal-awal masa kuliahnya, Amran termasuk salah satu yang kerap ikut diskusi dengan lingkaran fakultasnya. Banyak hal jadi bahan diskusi. Terutama isu-isu keagamaan.
“Apalagi kalau seperti aku, tafsir. Alhasil diskusinya kadang tafsir progresif. Menggugat tafsir-tafsir konservatif. Gitu-gitu lah,” beber Amran.
Baru Amran tahu kemudian, ternyata pola diskusi ala mahasiswa UIN jadi bercandaan bagi mahasiswa-mahasiswa kampus lain. Diksusi semacam itu dianggap tidak implementatif. Karena hanya berhenti di meja warkop, tapi tidak jelas dampaknya.
“Beda misalnya mahasiswa teknik. Jelas tuh output-nya. Mereka punya skill individu, juga punya potensi memberi dampak ke society dengan keterampilan teknikalnya,” lanjut Amran.
Baca halaman selanjutnya…
Cuma jadi guru agama hingga cap liberal dan tukang onar gara-gara PMII HMI