Rahma Ananda (24) tak pernah menyangka kuliah di Jurusan Kebidanan Universitas Ailrangga (Unair) membuatnya lebih bermakna dalam menjalani hidup. Mulanya, ia mengira jurusan tersebut hanya belajar seputar kehamilan, proses melahirkan, dan program Keluarga Bencana (KB). Namun, lebih dari itu, selalu ada kondisi yang membuatnya terenyuh dari profesi bidan.
***
Sejak kecil, Rahma punya keinginan menjadi dokter. Maka, saat duduk di bangku SMP hingga SMA ia aktif mengikuti ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR). Namun, semakin mendalami ilmu kesehatan, ia justru tidak percaya diri dengan kemampuannya.
Belum lagi, tekanan ekonomi membuat keinginannya menjadi dokter perlahan-lahan memudar. Alih-alih menyerah, Rahma nekat mendaftar SBMPTN di jurusan tersebut. Sayangnya, ia gagal karena nilainya tidak mencukupi.
“Dari sana, aku makin nggak percaya diri. Bingung mau pilih jurusan apa,” kata Rahma saat dihubungi Mojok, Kamis (13/3/2025).
Setelah gagal SBMPTN, pilihannya hanya ada dua yakni ikut jalur Mandiri atau gapyear sembari bekerja. Akhirnya, ia memilih mengikuti jalur Mandiri di Unair dan berhasil diterima.
“Kebetulan waktu itu Mandiri yang ditawarkan masih bisa ikut bidikmisi, tapi penawaran jurusannya lebih sedikit,” kata dia.
Rahma kemudian mendapat penawaran Jurusan Keperawatan atau Kebidanan di Fakultas Kedokteran Unair, karena waktu daftar bidikmisi ia mencantumkan banyak sertifikat hasil dari lomba-lomba PMR. Akhirnya, ia pun memilih Jurusan Kebidanan dengan pertimbangan bisa membuka praktik mandiri setelah lulus.
Kuliah Kebidanan Unair jadwalnya padat
Tahun pertama memasuki kuliah tahun 2019, Rahma tak langsung belajar tentang kehamilan hingga persalinan. Namun, ia harus mempelajari anatomi, fisiologi, biokimia, mikrobiologi, farmakologi, dan sebagainya.
Tak lama kemudian, Covid-19 melanda dunia yang akhirnya membuat Rahma dan mahasiswa lainnya lebih banyak belajar secara online. Padahal, ada banyak praktik yang harus ia lakukan, seperti praktik langsung dengan pasien.
Pada akhirnya, mereka baru bisa melakukan praktik di awal semester 6. Itu pun masih tergolong praktik dasar, seperti infus, kateter, dan melahirkan.
“Praktik pertama kerasa kagok banget. Aku pun sempat susah adaptasi di tempat praktik tapi untungnya tenaga kesehatan di sana dan para dosen kami tuh memaklumi. Jadi lebih banyak dibimbing,” tuturnya.
Namun, yang lebih berat dari itu sebetulnya saat ia menjalani pendidikan profesi. Mengingat profesi konsepnya kerja tak dibayar dan harus masuk sesuai shift, Rahma mengaku jadi kesulitan mengatur waktu.
Ia harus menyesuaikan jam kerja serta praktik ke pasien. Jika senggang, ia harus menyelesaikan laporan kasus sebab Unair sendiri punya target per kompetensi. Rahma harus membuat makalah individu maupun kelompok, hingga mengikuti penyuluhan di puskesmas.
“Sehari-hari tuh repeat, kayak jaga, pulang, kerjain laporan, tidur. Jadi waktu istirahat tuh minim, jam tidur pun nggak karuan karena kerja sesuai shift,” ujarnya.
Bidan merupakan profesi mulia
Suatu hari, Rahma akhirnya ikut terlibat langsung membantu proses persalinan seorang ibu yang akan melahirkan di salah satu puskesmas, tempat ia menjalani pendidikan profesi. Di momen itu, ia melihat langsung perjuangan seorang ibu melahirkan bayinya. Ia tak bisa membayangkan kesulitan dan kekhawatiran yang dihadapi keduanya saat berada di ambang hidup dan mati.
“Belum lagi kalau habis melahirkan, ibunya ada pendarahan. Kalau nggak cepat ditanganin, taruhannya nyawa,” kata Rahma.
Perasaan lega baru muncul ketika Rahma berhasil menolong ibu dan bayinya. Tak sampai di situ, Rahma juga pernah praktik langsung di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Sebuah ruangan perawatan intensif untuk bayi baru lahir yang memerlukan penanganan khusus.
“Di sana aku melihat banyak bayi yang prematur, lebih kecil dari bayi lainnya. Lalu bayi tanpa tempurung kepala, hingga bayi yang kesulitan bernafas,” kata dia.
Tak ayal, momen itu menguras emosinya sebab ada perasaan sedih yang berkecamuk. Setelah melihat perjuangan seorang ibu dalam proses persalinan, ia harus melihat perjuangan bayi yang bertahan dan berusaha hidup dengan melawan penyakit.
“Selama praktik di sana aku sering merasa dunia tuh nggak adil sama bayi-bayi ini. Mereka barusan banget lahir, tapi kenapa kudu berjuang sekeras itu bahkan lebih keras daripada orang dewasa,” ujar mahasiswa Unair tersebut.
Prospek kerja Jurusan Kebidanan Unair
Meski melelahkan dan rasanya hampir menyerah, Rahma tetap ingin menjadi bidan. Selain karena memang sudah 6 tahun berada di bidang tersebut, ia merasa perjalanannya jadi penuh makna.
“Bidan kan mempelajari perempuan jadi kayak mempelajari aku sendiri. Kedepannya, aku juga ingin mengajak perempuan lebih peduli dengan dirinya, menghargai dirinya, dan mendapatkan haknya,” ucap Rahma.
Selain itu, profesi bidan membuatnya jadi lebih belajar banyak hal seputar bayi baru lahir, balita, prasekolah, hingga remaja. Bahkan, calon pengantin, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, KB hingga fase menopause. Semua itu seperti siklus kehidupan yang patut disyukuri.
Selain itu, seorang bidan juga wajib belajar dari cara mencegah sampai tata laksana. Walaupun mereka tidak boleh memberikan obat, tapi tetap harus tahu keluhan yang dialami oleh pasien. Apakah keluhan pasien tersebut normal atau sudah termasuk gawat dan butuh dirujuk.
“Kita juga belajar bagaimana cara berkomunikasi ke pasien hingga budaya atau kepercayaan tentang kesehatan di masyarakat,” ucap mahasiswa Unair tersebut.
Oleh karena itu, seorang lulusan bidan bisa menjadi care provider, communicator, manager, decision maker, dan community leader.
Kalaupun tak jadi bidan di puskesmas atau rumah sakit, mereka bisa jadi konselor, membuka tempat praktik mandiri bidan (TPMB), atau jadi penasihat kesehatan di suatu wilayah, lalu kerja di pemerintahan, menjadi dosen, peneliti, membuka spa bayi, content creator, dan sebagainya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jurusan Pengobat Tradisional di Unair, Kuliahnya Nggak Hanya Bikin Jamu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.