Petani dan burung kuntul di Kecamatan Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta hidup saling berdampingan, karena sama-sama terpinggirkan. Burung kuntul kehilangan habitatnya, sementara petani kehilangan permukiman dan sawahnya.
***
Saat menikmati sore di pinggiran sawah, Jalan Ngabei Djiwoto, Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saya melihat segerombolan kuntul kecil berbaris menemani para petani yang sedang membajak sawah.
Saya pakai kata “menemani” karena para petani sama sekali tak terganggu dengan kehadiran kuntul tersebut. Padahal, meski namanya kuntul kecil, bentuk tubuh burung tersebut besar dan ramping seperti bangau.
Beberapa ada yang berpencar, terbang kecil-kecil untuk melemaskan sayap. Ada pula yang terbang mengitari bajakan sawah kemudian kembali lagi ke gerombolan. Ada kalanya, burung-burung berwarna putih itu terbang ke angkasa dengan membentuk formasi huruf “V”, lalu pindah dari petak sawah satu ke petak sawah lainnya.

Setelah lima menit mengamati burung kuntul tersebut, salah satu petani yang akhirnya selesai mengarit, duduk tak jauh dari tempat saya memotret. Ia menawarkan minuman yang ada di dalam teko aluminium.
“Minum, Mbak,” ucapnya, sambil menyodorkan gelas kaca berisi teh panas di pinggiran sawah, Minggu (2/2/2025).
“Nggak usah sungkan, warga sini selalu guyub,” lanjutnya.
Saya pun menerima minuman tersebut, hingga mengalirlah obrolan kami soal burung-burung kuntul dan kehidupan petani di sana.
Burung kuntul yang bermigrasi dari Ketingan ke Minggir, Sleman
Petani tersebut memperkenalkan diri dengan nama Suroto (70). Sejak remaja, ia sudah membantu orang tuanya di sawah, tepatnya di Kecamatan Minggir, Sleman–sekaligus tempat kelahirannya. Selama bertani, ia sudah terbiasa dengan kehadiran kuntul.
“Kalau sore seperti ini, mereka (burung kuntul) sering sekali ke sini,” ucap Suroto sembari membuka bingkisan plastik yang berisi pisang dan gorengan.
Lagi-lagi, ia menawarkan hidangan istirahatnya kepada saya. Saya pun menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Wajah petani Minggir itu semakin sumringah.
“Setahu saya,” kata dia melanjutkan percakapan, “burung kuntul ini asalnya dari Ketingan, tapi kan daerah sana sudah jarang sawah. Dibuat jalan tol,” lanjutnya.

Mojok pernah meliput pembabatan lahan pertanian di Dusun Ketingan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk pembangunan jalan tol. Lebih dari itu, ribuan burung kuntul yang bersarang di kawasan desa wisata tersebut jadi kehilangan habitatnya. Padahal, burung kuntul termasuk satwa yang dilindungi. Liputan selengkapnya bisa dibaca di sini.
Sementara itu, jika melihat dari Google Maps jarak Kecamatan Minggir ke Dusun Ketingan berkisar 15 kilometer. Kalau menggunakan sepeda motor bisa menghabiskan waktu tempuh 27 menit. Entah, harus berapa lama kuntul-kuntul itu mengepakkan sayapnya.
Yang jelas, kata Suroto, gerombolan burung kuntul akan datang saat pagi dan sore. Menurut penelitian yang berjudul Aktivitas Harian Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta) di Pulau Serangan, Bali, pagi dan sore memang waktu yang tepat bagi burung kuntul mencari makan.
“Ya kalau pas kita lagi membajak sawah, mereka cari ikan, kodok, serangga, belalang, macam-macam,” ucap Suroto.
Belajar dari perilaku kuntul baris
Mulanya, warga merasa resah karena keberadaan burung kuntul. Mereka merasa terganggu, takut burung-burung itu menyerang. Apalagi saat membajak sawah. Namun, lama-kelamaan petani menganggap burung itu sebagai sahabat.
Menurut Suroto, adanya burung kuntul justru membawa berkah, karena panen mereka jadi melimpah. Suroto dan para petani lainnya percaya bahwa burung kuntul cocok sebagai predator yang menyerang hama tanaman.
Lebih dari itu, burung kuntul ternyata punya filosofis yang mendalam. Makanya, jalanan di pinggir sawah Kecamatan Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kami duduki saat itu sampai dinamai Jalan Kuntul Baris.

“Kuntul Baris itu artinya bebarengan, kompak, gotong-royong dalam satu barisan, seperti kuntul,” ucap Suroto.
Mendengar penjelasan Suroto, saya jadi teringat dengan istilah “holopis kuntul baris” yang dipopulerkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya. Bung Karno mengatakan gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.
“Amal semua buat kepentingan semua. Keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah syarat utama untuk maju menjadi pemenang, yaitu gotong royong,” dikutip dari sambutan presiden RI peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila tahun 2016, Jumat (7/2/2016).
Burung kuntul, sahabat petani di Minggir, Sleman
Namun, Suroto jadi sedih jika mengingat makna kuntul baris. Sebab, pada kenyataannya, semangat gotong royong itu belum terwujudkan sampai sekarang. Khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menjadi petani Minggir, Sleman tak semudah yang dibayangkannya. Seumur hidupnya, ia harus bekerja di ladang orang.
“Tahun 2017 lalu, harga satu petak sawah sudah Rp60 juta Mbak, saya mau beli bagaimana? Belum mengurus sidang-sidangnya,” kata Suroto.
“Orang panen saja tiap 4 bulan sekali. Syukur-syukur bisa makan. Anak bisa sekolah,” lanjutnya.
Lebih dari itu, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), petani menjadi kelompok paling rentan terdampak konflik agraria sepanjang tahun 2024.
Proses pengadaan tanah merampas tanah masyarakat, permukiman dan lahan tani tempat mereka terancam. Barangkali, itu yang menjadikan para petani di Minggir, Sleman dan burung kuntul merasa senasib. Sama-sama kehilangan “rumah” mereka.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Temuan Padi BTI yang Hidupi Petani Gunungkidul Jogja, Bibit Padi yang Bisa Ditanam di Lahan Kering atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.