Pengalaman pertama kali orang Kebumen ke Jepang berakhir konyol hanya gara-gara persoalan kloset.
Sebagai orang dari pedesaan Kebumen, Jawa Tengah, ketika pergi ke daerah perkotaan, hal yang paling menjengkelkan bagi saya adalah bertemu kloset duduk. Pasalnya, di desa, saya sudah terbiasa menggunakan kloset jongkok untuk kebutuhan buang hajat.
Maka ketika dihadapkan dengan kloset duduk, di sebuah mall misalnya, saya benar-benar sangat kerepotan. Kalau duduk, rasanya tak nyaman. Hajat saja sulit keluar juga. Alhasil, sering saya “terpaksa” harus tetap jongkok. Ini juga lebih merepotkan lagi.
Belum lagi persoalan cebok. Semprotan bidet dan tombol flush pun sangat tidak familiar untuk tangan wong Kebumen saya yang terlanjur terbiasa dengan gayung dan bak atu ember air.
Saya pikir kloset duduk sudah menjadi raja terakhir dalam persoalan buang hajat orang Kebumen seperti saya. Tapi saya salah. Saya menemukan toilet yang konsepnya lebih merepotkan lagi, yang pertama kali saya jumpai ketika hendak ke Jepang.
Orang Kebumen pergi ke Jepang, mules karena makanan pesawat
Pada September 2024 lalu, saya mengikuti sebuah program relawan di Jepang yang diadakan oleh sekolah saya. Salah satu culture shock saya sebagai orang Kebumen yang masih membekas ya perkara kloset duduk in
Sewaktu mendarat di Jepang, saya menderita mules parah karena tidak cocok dengan makanan pesawat. Otomatis saya berlari mencari toilet terdekat setelah keluar dari pintu kedatangan sebuah bandara di Jepang. Untung saya lekas bisa menemukan toilet.
Ketika membuka pintu toilet dan mengintip keadaan di dalam, mules yang sejak tadi saya tahan-tahan mendadak urung seketika. Berhadapan dengan kloset duduk dengan tombol-tombol berbahasa Jepang membuat kebingungan saya jauh lebih besar ketimbang rasa mules yang sebelumnya menyerang.
Kaget ada tiba-tiba “disemprot” dari bawah
Saya mencoba menceermati satu persatu tombol di kloset itu. Tapi percuma saja. Saya lebih fasih melafalkan bahasa ngapak khas Kebumen ketimbang bahasa Jepang.
Karena kebutuhan buang hajat harus tetap terealisasi, maka saya alihkan segala kekagetan dan kebingungan itu. Saya mencoba membuat diri saya nyaman dengan mencoba duduk sepenuhnya di kloset tersebut—tidak memaksakan diri untuk jongkok.
Setelah merasa cukup membuang hajat, saya coba tekan satu persatu tombol yang ada di kloset itu.
Tombol dengan logo air mancur jadi tombol pertama yang menarik perhatian saya. Awalnya saya kira ini adalah tombol flush. Ternyata saya keliru
Sebuah pipa penyemprot tiba-tiba muncul di bawah pantat saya dan menyemburkan air. Saya yang tidak siap terkejut dengan semprotannya sehingga membuat celana saya basah. Usut punya usut semprotan itu memang digunakan untuk cebok dan jadi pengganti semprotan bidet.
Sebenarnya model ini sudah banyak juga ditemui di Indonesia. Tapi dasar orang desa seperti saya tidak pernah keluar-keluar, jadi baru tahu model itu justru ketika di Jepang.
Kemudian, ada satu fitur lagi yang menarik perhatian saya. Fitur ini disimbolkan dengan lambang musik di tombolnya.
Awalnya ya saya pikir akan keluar musik-musik Jejepangan jika saya tekan. Ternyata bukan. Ini seperti di rumah ketika saya sengaja membuka kran sedikit untuk menyamarkan bunyi-bunyi tidak menyenangkan dari aktivitas buang hajat saya. Bedanya ini tidak perlu kran, hanya bunyinya saja.
Ketika orang desa Kebumen buang hajat di pedesaan Jepang
Singkat cerita, saya tiba di penginapan yang terletak di pinggir kota. Bentuknya seperti rumah tradisional ala pedesaan Jepang. Selama tiga hari saya tinggal di rumah itu.
Saat datang pertama kali, saya langsung mengecek toiletnya. Saya sok-sokan mau langsung mencoba dengan maksud menaklukkan kloset duduk Jepang sepenuhnya pasca pengelaman di bandara tadi. Dalam bayangan saya, paling model klosetnya sama seperti di bandara.
Tapi saya justru dibuat kaget lagi. Pasalnya, di dalam toilet hanya ada seonggok kloset duduk. Tidak dilengkapi semprotan, kran, ember, bahkan tombol-tombol canggih seperti kloset di bandara.
Sontak saya langsung bingung. “Iki piye cewok’e? (Ini bagaimana ceboknya?).”
Setelah dijelaskan oleh tour guide kami, ternyata itu adalah toilet kering. Toilet yang didesain memang tidak untuk terkena basah.
Kata tour guide kami, biasanya yang muslim akan bersuci menggunakan botol berisi air yang dilubangi. Selama tiga hari di rumah itu, begitulah saya harus membuang hajat: Cari botol dulu, dilubangi, lalu diisi air untuk cebok.
Tulisan ini merupakan program Santri Mojok yang berkolaborasi dengan Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta.
Penulis: Muhammad Akhyar Ad Dafiq
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kepahitan Kerja di Jepang yang Nggak Pernah Diceritakan Influencer, tapi Masih Lebih Menjanjikan Ketimbang di Indonesia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan