Dari penelusuran di Facebook, saya menemukan sebuah kontak yang menawarkan kos pasutri dengan harga miring. Lebih miring dari yang saya temukan sebelum-sebelumnya selama proses pencarian. Tepatnya di Plosokuning, Sleman, Jogja.
Kos tersebut tidak bernama. Tidak terbaca pula di Google Maps. Saat menghubungi kontak yang tertera di Facebook itu, seorang perempuan yang kemudian saya kenal bernama Puspa (30) mengirim saya titik ancer-ancer yang terbaca di Google Maps.
Dari situ, dia lalu mengarahkan saya untuk masuk lagi melewati sebuah gang untuk sampai di kos yang Puspa tawarkan.
Kos pasutri murah di Plosokuning, Sleman, Jogja
Sabtu (14/12/2024) petang, saya meluncur ke Plosokuning, Sleman, Jogja, setelah membuat janji dengan Puspa. Saya berniat melihat-lihat dulu kondisi kos yang dia tawarkan.
Setelah bertemu, Puspa mengajak saya ke kamar di ujung utara dari deretan tiga kamar di bagian depan. Itu jadi satu-satunya kamar kos untuk pasutri yang kosong saat itu.
Sementara lokasi kos di Plosokuning, Sleman, Jogja, itu berada di balik rumah-rumah warga setempat. Suasananya mirip dengan kos-kosan di Surabaya (tempat tinggal saya sebelumnya) yang agak padat.
“Ini sewanya Rp750 ribu per bulan. Sudah termasuk air dan listrik. Cuma memang kosongan, Mas,” jelas Puspa.
Kamar kosong tersebut modelnya seperti paviliun. Ada kamar sendiri, dapur, kamar mandi dalam, dan ruang tengah yang muat untuk menjamu tamu.
Saya agak kaget ketika mendengar harga sewanya hanya Rp750 ribu per bulan. Apalagi setelah saya pastikan, ternyata tidak ada tambahan-tambahan biaya lain. Hanya kalau membawa perangkat elektronik dengan watt gede seperti kulkas, televisi, atau bahkan mesin cuci lah baru akan dikenai biaya tambahan.
“Kalau sampah di sini nggak ada iuran. Modelnya bakar bareng-bareng tiap malam Minggu dan Minggu pagi,” jelas Pupsa sembari menunjukkan banner yang terbentang di atas bak sampah. Di sana tertulis sederet aturan terkait pengelolaan sampah bagi penghuni kos di Plosokuning, Sleman, Jogja tersebut.
Simbah pikun yang ramah dan ringan tangan membantu sesama
Puspa adalah cucu menantu dari si pemilik kos di Plosokuning, Sleman, Jogja itu. Dia memang kerap dipasrahi untuk membantu mengurus kos-kosan tersebut lantaran si simbah pemilik sudah teramat sepuh. Umurnya sudah hampir menyentuh seabad.
“Sejak dulu memang dikasih harga murah. Ya itu kebaikan simbah saya,” ucap Puspa.
“Di sini ada sekitar 11-an kamar. Semuanya dihuni oleh pasutri. Karena ini memang kos khusus pasutri,” sambungnya.
Usai melihat-melihat area kos, Puspa mengajak saya sowan ke kediaman simbahnya, simbah si pemilik kos, yang letaknya tidak jauh dari area kos-kosan. Kata Puspa, sudah menjadi keharusan bagi calon penghuni kos untuk bertemu dengan simbah pemilik kos. Terlepas nanti bakal jadi sewa atau tidak.
Sesaat sebelum mengetuk pintu, Puspa berbisik, butuh ketelatenan untuk berbincang dengan simbahnya.
Dan memang benar begitu. Komunikasi antara saya, Puspa, dan simbah pemilik kos di Plosokuning, Sleman, Jogja, itu memang berlangsung agak alot. Maklum, daya tangkap dan daya ingat simbah pemilik kos memang sudah menurun.
Namun, terlepas dari itu, simbah pemilik kos itu pada dasarnya sangat baik. Ramah. Ringan tangan pula dalam membantu sesama. Begitu kata Puspa.
Oknum penghuni kos Plosokuning, Sleman, Jogja yang manfaatkan keadaan
Dari kediaman simbah pemilik kos, Puspa mengantar saya kembali ke parkiran kos-kosan, tempat saya memarkir motor.
“Memang simbah harus didampingi kalau ngurus kos ini. Kalau nggak, sering dimanfaatkan sama oknum penghuni,” tutur Puspa.
Dulu, pembayaran sering lewat simbahnya langsung. Sebelum akhirnya kini Puspa lebih intens mendampingi proses menagih uang sewa para penghuni kos di Plosokuning, Sleman, Jogja itu.
Karena kerap kali ada oknum penghuni yang belum membayar, tapi saat ditagih simbah pemilik kos malah mengaku sudah membayar.
“Ya kadang simbah percaya-percaya saja. Soalnya kan sudah sepuh, ingatannya sudah kabur. Tapi kadang saya ingatkan, ini belum bayar. Simbah cuma bilang “Ya sudah, dia bilang sudah bayar”,” beber Puspa.
Syukurnya, hanya satu-dua orang saja yang seperti itu. Selebihnya adalah penghuni-penghuni kos yang selalu taat bayar sewa kalau sudah waktunya.
Suasana guyub dan hangat
Dari model pengelolaan sampah yang harus dibakar bareng-bareng sesama penghuni, saya memprediksi bahwa kos di Plosokuning, Sleman, Jogja, ini memang menawarkan suasana kekeluargaan yang hangat.
Dan memang demikian adanya. Seperti petang itu saat saya lihat-lihat di sana. Tampak beberapa penghuni kos bareng-bareng mengasuh anaknya yang masih balita, sambil bercengkerama layaknya hidup bertetangga di desa-desa.
“Ada dua atau tiga pasutri yang sudah punya anak. Sisanya pasutri-pasutri muda,” terang Puspa sebelum akhirnya pamit meninggalkan saya. Dia masih harus mengurus anaknya untuk mengaji.
Sementara penghuni kos laki-laki (para suami), tampak asyik memancing di kolam ikan yang terhampar di depan deretan kosan.
“Isinya ikan apa, Mas?” Tanya saya mencoba mengakrabi.
“Ada nila, ada bawal, Mas. Kadang saya pancing buat digoreng,” jawab satu dari mereka. “Kebetulan ini bibit ikannya ada yang dari saya. Ada juga dari simbah pemilik kos.”
Dari laki-laki itu pula saya tahu, suasana kekeluargaan di kos Plosokuning, Sleman, Jogja, itu terbentuk secara organik. Tinggal di situ, langsung akrab satu sama lain. Saya pun sempat duduk-duduk agak lama di sana, melihat penghuni kos memancing ikan.
“Ada satu kamar kosong itu, Mas. Ambil saja. Enak di sini. Hangat,” ujar laki-laki salah satu penghuni kos itu. Saya tersenyum.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Berkah Kos Rp200 Ribu di Surabaya, Terlalu Jelek untuk Ditempati tapi Lebih Aman dari Banjir ketimbang Kos Mahal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan