Yamaha Xeon 2010 bukan sekedar motor matic tua. Ia pernah menerjang jalanan terjal menuju gunung dan pantai. Kuat menahan beban rumput hasil mengarit Bapak, serta setia mendengar keluh kesah saya sebagai driver online. Intinya, ia adalah sahabat yang jauh dari kata drama.
***
Di era gempuran merek motor matic yang sudah berkembang sekarang, ada merek motor dari pabrikan Yamaha yang masih eksis di jalan, yaitu Yamaha Xeon. Walaupun memiliki rate penjualan yang minim dibandingkan kompetitor dari brand sebelah, tetapi ia tidak bisa dipandang remeh.
Saya sudah menggunakan motor Yamaha Xeon selama satu dekade. Motor keluaran tahun 2010 itu, saya pakai berkeliling di Kabupaten Cirebon, daerah asal saya. Di tahun itu pula, motor Yamaha Xeon masih menjadi sahabat sejati saya hingga kini, 2025. Kualitasnya terbilang oke. Apalagi, dari segi ketahanan. Di luar dugaan dari perspektif orang tentang motor matic tua.
Bagaimana tidak, jika dilihat dari tampangnya, body motor ini tampak seperti capung. Padahal, bentuk itu justru menjadi keunikan tersendiri sehingga membedakan dari motor zaman sekarang yang terlihat lebih sporty.
Saya sebagai penggunanya pun tidak masalah jika dikatakan ketinggalan zaman, mengingat anak muda zaman sekarang lebih suka menggunakan motor tipe terbaru seperti Aerox dan NMAX. Justru dengan esensi tersebut, motor Yamaha Xeon bisa menjadi sorotan yang terlihat berani beda.
Dengan lika-liku hidup yang sudah saya tempuh menggunakan motor tua tersebut, saya tidak merasa itu menjadi sebuah ketertinggalan. Bagi saya, menggunakan motor Yamaha Xeon adalah pilihan hidup. Saya pun siap mengambil risiko dari segala aspek yang menimpa saya saat menggunakan motor tersebut.
Yamaha Xeon: Hadiah pemberian Bapak yang menguji kemandirian
Saya ingat betul semasa TK, sore-sore, Bapak pulang dari kantornya membawa motor Yamaha Xeon berwarna merah putih. Mata saya langsung berbinar dibuatnya. Dibenak saya saat itu, motor Xeon terlihat megah.
Wajar saja, sebagai anak kecil, melihat motor model terbaru seperti Xeon bikin saya excited. Otomatis, kegiatan bermain saya bersama teman-teman saat itu sampai terhenti. Sangking megahnya.
Menginjak kelas 6 SD, orang tua saya baru menghadiahkan motor Yamaha Xeon itu kepada saya. Katanya, sebagai transportasi pribadi untuk pulang pergi ke SMP nanti.
Sebagai anak yang baik, saya menerima keputusan orang tua saya tersebut sambil berpikir “ini mungkin kesempatan saya untuk diuji kemandiriannya”. Sebab, hal itu sangat jarang didapatkan oleh anak-anak seusia saya.
Tanpa babibu, saya pun langsung setuju dan bertanggung jawab dengan merawat motor matic tersebut. Selayaknya motor pada umumnya, Yamaha Xeon juga perlu maintenance agar performanya tidak menurun sehingga tetap stabil digunakan.
Setidaknya tidak turun mesin atau mogok di jalan. Karena kalau sudah begitu, bukannya membantu saya yang sibuk dengan aktivitas SMP, motor Xeon yang tidak dirawat dapat menjadi boomerang.
Sempat jadi motor pasaran
Menurut laporan yang dirilis di Kompas, Xeon jadi salah satu motor yang tren dan diburu pengguna. Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2010, pembelian motor Yamaha Xeon sempat melonjak pesat sampai melampaui ekspektasi penjualan unit.
Dari yang awalnya 20 ribu unit sejak awal rilis, ternyata penjualannya bisa mencapai 300 ribu unit. Penjualannya tersebar di beberapa provinsi, seperti Bali yang mencapai 50 ribu unit, sedangkan sisa terbanyak ada di Jawa Barat.
Berdasarkan pengamatan saya, motor Xeon kerap menguasai jalanan, khususnya di Kabupaten Cirebon. Tidak sedikit menemukan motor Yamaha Xeon di lingkungan saya, meski dengan warna dan tipe yang berbeda.
Setiap melakukan perjalanan beberapa kilometer ke setiap sudut jalan, utamanya di sekitar tempat tinggal saya, saya pasti melihat motor Xeon. Serasa tidak ada habisnya, seolah jadi sebuah komunitas yang terbentuk secara tidak sengaja.
Kesetian motor Yamaha Xeon yang tak perlu diuji
Sejak peralihan motor Xeon dari ayah kepada saya, motor itu menjadi transportasi pribadi yang tak rewel. Jarang sekali ia mengalami kendala, apalagi mogok di tengah jalan.
Tujuh tahun kami berkelana, motor itu aman-aman saja untuk diajak ke pasar ataupun bepergian bersama. Rangka sasisnya oke, mesinnya juga aman. Ada kalanya, orang tua saya mengajaknya kerja dengan membawa rumput, bekas ngarit untuk pakan ternak di kebun.
Selama dua tahun itu, ia kuat mengangkat beban berat yang tak sanggup dihandle oleh orang tua saya. Bahkan ketika berpindah kepemilikan ke saya semasa SMP, motor Yamaha Xeon itu sering saya gunakan bepergian jauh.
Saya ajak ia touring sampai lintas provinsi dari Tasikmalaya hingga pantai Pangandaran. Mulanya, rute pegunungan membuat saya khawatir, tapi rupanya motor Xeon itu melebihi ekspektasi saya.
Jalanannya yang terjal tak membuat motor saya rewel. Tanjakan curam sekalipun, tak membuat ia mogok. Bikin hubungan kami juga lebih awet. Tidak ada drama sama sekali. Kini, saat merantau ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), motor Yamaha Xeon itu masih menemani saya.
Ia jadi pendengar setia ketika saya mengeluh dengan hidup. Melawan kerasnya jalanan Kota Jogja, melintasi provinsi, menuju jalanan pantai, dan membantu saya berjuang mencari pundi-pundi rezeki sebagai driver online.
Selagi mesinnya dirawat dengan baik, niscaya motor Xeon dapat dipakai dalam jangka waktu lama. Begitupula dengan rangka casisnya yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.
Tulisan ini merupakan program Santri Mojok yang berkolaborasi dengan Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta.
Penulis: Rivaldo Ali
Editor: Aisyah Amira Wakang
BACA JUGA: 5 Tahun Pakai Yamaha Mio Pemberian Bapak, Motor Butut Menerjang Sial Suramadu-Bojonegoro atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.