Film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu garapan Hanung Bramantyo akhirnya tayang perdana di bioskop pada Kamis (13/2/2025). Film Indonesia terbaru adaptasi novel laris berjudul sama karya Puthut EA itu menerima banyak komentar positif di media sosial.
***
Catatan: Sebelum membaca lebih lanjut, perlu diketahui bahwa tulisan ini sedikit banyak mengandung spoiler. Bagi pembaca yang tidak nyaman dengan spoiler, bisa tidak melanjutkan membaca. Kembali lah lagi ke sini setelah menonton filmnya di bioskop terdekat Anda.
Secara teknikal, Hanung Bramantyo sebagai director dinilai mampu memberi sentuhan tone yang kasual. Sementara dari segi cerita, pesannya begitu kuat sehingga begitu menyentuh sisi emosional penonton. Terutama laki-laki.
“Ngomongin rasa, yang kami rasakan setelah menonton filmnya sih seru ya. Berbagai macam rasa kayanya ada di film ini. Sebel, lucu, seneng, gemes, dan juga… TAKUT muncul saat menikmati belokan-belokan ceritanya. Sebuah paket komplet yang menyenangkan,” tulis akun X khusus review film @WatchmenID.
“Ngomongin genre film ini tuh lebih ke drama kehidupan “orang-orang dewasa” dengan bumbu romance+kisah keluarga yang nyenengin. Awalnya ngira kalau film ini fokus pada bener-bener ke romance. Tapi ternyata elemen kekeluargaannya kuat dan lovable banget,” sambungnya.
Komentar-komentar bernada serupa banyak ditemui di media sosial X.
View this post on Instagram
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu: film Indonesia yang sajikan realitas sosial
Film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu menceritakan sosok Daku Ramala (Refal Hady), seorang penulis penuh waktu yang berdomisili di Jogja.
Sepanjang hidupnya, ada beberapa perempuan—dengan beragam karakter—yang mengisi hatinya. Pada dasarnya, Daku tidak pernah main-main dengan cinta.
Dia selalu menaruh cinta yang penuh terhadap setiap perempuan yang pernah singgah. Namun, Daku selalu ragu setiap dihadapkan dengan ajakan untuk menikah.
Di film Indonesia terbaru ini, penonton akan disajikan dengan fakta sekaligus tabu sosial yang kerap terjadi dalam dinamika hubungan orang dewasa. Sehingga terasa begitu realistis. Tidak fiktif dan terkesan mengada-ada.
Misalnya, fakta bahwa di masyarakat kita, sering kali orangtua dari pihak perempuan memegang kontrol atas pilihan sang anak: menikah kapan dan dengan siapa?
Ini adalah realitas yang kerap terjadi dalam kehidupan perempuan-perempuan Indonesia. Ketika mereka harus berhadapan dengan hukum tidak tertulis: umur sekian (misalnya 24 tahun) harus sudah menikah. Dengan landasan (misalnya), “Soalnya perempuan. Nanti jadi perawan tua.”
Padahal, bagi penulis novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Puthut EA, menikah dengan umur tidak ada kaitannya. Sebab, menikah adalah pilihan.
Sementara tabu yang dihadirkan dalam film ini adalah ketika seorang perempuan melamar laki-laki. Ada beberapa daerah di Indonesia yang menganggapnya sebagai hal normal.
Akan tetapi, jamaknya, hal tersebut kerap dianggap tidak lumrah. Kondisi itu membuat perempuan sering kali harus menunggu. Di film Indonesia terbaru ini, Hanung Bramantyo mencoba menyajikan bahwa perempuan melamar atau sekadar menyatakan perasaannya terlebih dulu itu biasa saja. Bukan sesuatu yang aneh.
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu: film Indonesia yang membedah pikiran laki-laki
Bagian yang sangat relate dengan banyak orang dari film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu adalah: laki-laki yang kuat pacaran bertahun-tahun, tapi langsung gagap saat diajak menikah. Film Indonesia terbaru ini mencoba memberi jawabannya.
Ada banyak hal yang mengganggu Daku—sebagai representasi laki-laki—setiap menghadapi ajakan menikah. Bukan karena dia tak yakin dengan perempuan pilihannya. Bukan pula karena cintanya hanya main-main.
Melainkan, bagaimana Daku sebagai laki-laki mengukur konsekuensi jangka panjang jika seorang perempuan memilih menikah dengannya.
Dari sikap Daku, jawaban “Nunggu aku mapan dulu” atau “Aku masih belum siap jadi suami dan bapak bagi anak-anak kita” yang sering diucapkan laki-laki saat diajak menikah terdengar tidak klise lagi.
View this post on Instagram
Rumah orangtua adalah sebaik-baik tempat pulang
“Kepulanganmu kali ini bawa masalah apa?” Penggalan pertanyaan Bapak Daku (Slamet Rahardjo) kepada Daku itu disambut gelak tawa oleh penonton di bioskop. Setidaknya di studio tempat saya menonton. Karena memang begitu gemasnya gestur Slemat Rahardjo dan Refal Hady saat situasi itu berlangsung.
Sepanjang film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu diputar, tampak beberapa kali Daku memutuskan pulang ke kediaman orangtuanya di Rembang, Jawa Tengah. Khususnya tiap kali hubungan asmaranya berakhir dengan cara sangat menyesakkan.
Momen kepulangan Daku ke rumah selalu menyajikan momen-momen lucu dan lovable antara Daku dan orangtuanya. Saya pribadi selaku penonton bahkan ikut lupa, bahwa sebelumnya, di Jogja, Daku tengah mengalami situasi pedih.
Saya sangat relate dengan bagian ini. Sejak SMP saya sudah meninggalkan rumah: tinggal di pesantren. Lalu berlanjut hingga kini bekerja. Sebagian besar hidup saya adalah di luar kota, jauh dari rumah.
Sering pikiran saya kalut. Hati terasa tak tenang dan penuh ketakutan atas banyak hal yang saya hadapi di perantauan. Jika sudah begitu, saya akan pulang. Melihat ibu, bapak, dan adik saya, semua kepelikan yang berjejalan di kepala—setidaknya untuk sementara waktu—hilang.
Apalagi, sering saya menyisihkan waktu khusus untuk berbincang dengan ibu. Bercerita perihal apa yang saya hadapi. Ibu, dengan dadanya yang selalu terbuka lapang untuk anak-anaknya, selalu bisa memberi ketenangan, meski dengan ungkapan yang dia ulang-ulang. Saya pun akhirnya kembali ke perantauan dengan energi baru.
Penting kah menikah? (1)
Pertanyaan tersebut adalah bagian paling penting dari film Indonesia terbaru garapan Hanung Bramantyo ini.
Setiap penonton—dan pembaca novelnya—tentu saja memiliki persepsi yang berbeda terhadap pernikahan. Sebab, sekali lagi, menikah adalah pilihan.
Namun, dalam film ini, digambarkan bagaimana Daku akhirnya merenungi beberapa hal yang memberinya keberanian untuk memilih: benar-benar ingin menikahi seorang perempuan, mengikat hubungannya.
Perihal apa yang Daku renungi, bisa disimak di filmya. Akan tetapi, ada cerita yang sangat relate dengan bagaimana Daku yakin terhadap pernikahan berikut ini:
Penting kah menikah? (2)
“Kalau ibu sudah nggak ada, kamu bakal sama siapa?” Itu adalah pertanyaan yang sang ibu lempar pada Nendra (27), sebelum akhirnya memutuskan menikah dua tahun lalu.
Saat pacarnya mulai menyinggung soal pernikahan, laki-laki asal Surabaya itu sempat ragu. Takut tidak bisa mencukupi. Takut tidak bisa memberi kehidupan yang layak dan seru. Dan lain-lain.
Suatu kali, Nendra memberanikan diri bercerita pada ibunya. Lalu keluar lah pertanyaan tersebut dari sang ibu?
“Karena selama ini, hanya ibu lah orang yang paling kuat mendengar keluh kesahku. Nggak pernah bosan dengan kehadiranku. Orang yang selalu mengajakku menjadi lebih baik,” kata Nendra.
Sosok sang ibu, dari sekian perempuan yang pernah singgah di hidup Nendra, ternyata mengejewantah pada perempuan yang mengajaknya menikah. Sejak itu, Nendra mantap untuk menikah di usianya yang masih muda.
“Aku beruntung menikahinya. Beruntung aku nggak terlambat sebelum dia dijodohkan sama orang lain. Rumah tangga kami memang tidak sempurna. Tapi, entah kenapa, aku merasa semua akan baik-baik saja kalau ditemaninya,” tutur Nendra.
Lantas, penting kah menikah? Silakan cari jawaban untukmu sendiri di film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu yang saat ini masih tayang di bioskop. Lebih afdal lagi kalau baca novelnya juga yang bisa dibeli di sini.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Film dan Series Indonesia Isinya Selalu Adegan Panas nan Erotis, Tapi Itu Bukan Berarti Mesum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan