Sebuah video di Instagram menunjukkan seorang anak berseragam abu-abu tengah duduk menyendiri. Narasinya, anak itu terkucilkan dari teman-teman dan gurunya yang tengah hanyut dalam acara kelulusan sekolah.
Masalahnya, jika merujuk narasi video, anak itu tidak diperbolehkan mengikuti acara kelulusan sekolah karena SPP-nya belum lunas.
Kebenaran video itu sebenarnya masih simpang siur. Sebagian warganet menyebut, anak itu bukan dikucilkan, melainkan adik kelas yang sedang menyaksikan kakak kelas merayakan kelulusan.
Terlepas itu, persoalan SPP belum lunas yang menghambat siswa sebenarnya jadi perkara umum di Indonesia. Sejak 2023 lalu, banyak pemberitaan mengenai konsekuensi siswa yang belum mampu melunasi SPP. Seperti tidak boleh ikut ujian bahkan penahanan ijazah.
Lihat postingan ini di Instagram
SPP belum lunas tak boleh ikut acara kelulusan: ada sistem yang catat
Sebagai pemerhati anak, pakar pendidikan dan psikologi anak Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Holy Ichda Wahyuni merasa penghambatan siswa atas urusan tertentu—termasuk acara kelulusan sekolah misalnya—bukan sekadar kabar yang didramatisir.
Baginya, situasi semacam itu adalah cermin retak dari sistem yang seharusnya menjunjung tinggi hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi.
“Apakah kita lupa bahwa pendidikan adalah hak, bukan hadiah bagi yang hanya mampu membayar?” Ucap Holy dalam keterangan tertulis kepada Mojok, Kamis (23/5/2025).
“Sebenarnya, di sisi lain, saya fikir barangkali pihak sekolah memang menjalankan prosedur. Mungkin mereka merasa telah memberi waktu cukup, mungkin surat tagihan sudah berkali-kali dikirim, namun sistem menuntut penyelesaian,” sambungnya.
Tapi yang perlu digarisbawahi di sini, lanjut Holy, sistem yang tidak punya ruang empati adalah sistem yang cacat. Sebab pendidikan bukan sekadar manajemen belaka. Pendidikan adalah ruang hidup, ruang bertumbuh, bagi anak anak bangsa.
Kelemahan ekonomi jadi objek diskriminasi
Holy mencoba mengudar pandangan filsafat humanism: Bahwa setiap manusia memiliki nilai yang melekat sejak lahir. Yakni martabat, harga diri, dan hak untuk berkembang.
“Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis, menegaskan bahwa pendidikan bukanlah alat penindasan, melainkan jalan pembebasan,” tutur Holy.
“Maka, ketika seorang anak dikucilkan hanya karena kemiskinan, kita sesungguhnya telah mengkhianati semangat kemanusiaan itu sendiri,” sambungnya.
Bagi Holy, seyogianya sistem pendidikan yang sehat tidak akan menjadikan kelemahan ekonomi sebagai alasan untuk melakukan diskriminasi pada anak.
Refleksi kolektif dari video larangan ikut acara kelulusan
Peristiwa penghambatan—seperti larangan ikut acara kelulusan sekolah, ikut ujian, hingga penahanan ijazah—bagi Holy harus menjadi refleksi kolektif.
Sekolah, pemerintah pusat, dinas pendidikan, dan masyarakat harus bahu-membahu memastikan tidak ada anak yang merasa dikucilkan karena faktor ekonomi.
“SPP yang belum dibayar bisa dicarikan jalan keluar. Belakangan negara menggebu berbicara bonus demografi. Sementara persoalan SPP di negeri ini masih menjadi kendala terpenuhinya akses pendidikan yang setara dan humanis,” ucap Holy.
“Negara boleh saja membanggakan anggaran pendidikan yang triliunan. Tapi selama ada satu anak yang terpinggirkan karena tidak mampu membayar, maka sistem itu belum sepenuhnya berpihak pada keadilan sosial,” tegasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Fantasi Menjijikkan 40.000 Ribu Orang di Grup Facebook Fantasi Sedarah, Rumah Sendiri Terasa Makin Tak Aman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan