Secara beruntun, terjadi kasus pelecehan seksual dengan pelaku oknum dokter mesum peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Rentetan kasus tersebut menjadi pengingat, bahwa ruang-ruang layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan, masih memiliki celah kerentanan terhadap kekerasan berbasis kuasa.
Keberadaan dokter-dokter mesum, baik yang sudah bekerja secara profesional maupun yang baru dalam masa PPDS, pada akhirnya berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap dunia medis.
Oleh karena itu, Direktur RSA UGM, Dr. dr. Darwito menyoroti betapa pentingnya penguatan sistem perlindungan pasien, serta evaluasi menyeluruh terhadap pola pembinaan dan pengawasan tenaga medis. Termasuk mereka yang tengah menjalani pendidikan spesialis (PPDS).
Dalam PPDS jangan hanya mengukur aspek akademik
Darwito menyebut, ada tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan profesionalisme. Maka, dia menekankan bahwa proses seleksi PPDS di setiap institusi harusnya tidak hanya mengukur aspek akademik, tetapi juga integritas kepribadian.
“Seleksi itu tidak berhenti pada nilai akademik. Setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti MMPI dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Pada masa awal pendidikan, peserta PPDS dibekali kuliah umum yang salah satu topiknya adalah etika kedokteran. Materi ini, terang Darwito, bertujuan memberikan landasan awal tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang oleh calon dokter spesialis dalam menjalankan profesinya. Agar tidak lantas menjadi dokter yang menyalahkangunakan kuasa seperti berbuat mesum terhadap pasien.
Etika pun sudah seharusnya tidak hanya menjadi pembelajaran sesaat yang selesai begitu kuliah usai. Nilai-nilai etis tersebut justru harus terus ditanamkan, dilatih, dan dijalankan sepanjang masa pendidikan klinis.
“Dalam dunia medis yang kompleks dan penuh tekanan, sikap etis tidak bisa lahir secara instan, melainkan perlu dibentuk melalui proses panjang, interaksi nyata dengan pasien, serta pembimbingan dari para pendidik yang konsisten memberi teladan. Ini adalah proses long life learning,” papar Darwito.
Tanggung jawab penuh terhadap peserta PPDS
Lebih lanjut, Darwito menegaskan bahwa pendidikan etika harus menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian residen, dari awal hingga akhir masa studi, bahkan hingga mereka nantinya menjalani praktik mandiri sebagai dokter spesialis.
Dalam hal ini, peran dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) menjadi sangat penting sebagai pembimbing sekaligus teladan.
Darwito memberi contoh sistem yang diterapkan di RSA UGM. Dalam praktiknya, diterapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat. Para residen menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau. Mulai dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya.
Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen.
“Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” jelas Darwito.
Pelecehan seksual, bullying, dan penyalahgunaan wewenang
Terkait kasus dokter mesum peserta PPDS yang viral belakangan, Darwito mentakan RSA UGM memang belum memiliki pelatihan khusus yang berdiri sendiri. Namun, materi mengenai kekerasan seksual, bullying, dan penyalahgunaan wewenang telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.
Hal ini, lanjut Darwito, menjadi bentuk komitmen bersama antara RSA dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menjaga marwah pendidikan kedokteran yang bermartabat.
“Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas,” ujarnya.
Selain itu, jika mengambil contoh RSA UGM, langkah-langkah preventif pun terus dilakukan sebagai upaya menciptakan ruang pendidikan dan layanan kesehatan yang aman bagi semua pihak, baik pasien maupun tenaga medis.
Antara lain memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis dalam lingkungan rumah sakit. Pengawasan itu untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik.
Pemantauan ini juga menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit.
Memisahkan laki-laki dan perempuan
Masih mengambil contoh RSA UGM, Darwito menjelaskan adanya sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan. Hal ini guna meminimalisir potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.
Menurutnya, keberadaan DPJP sebagai pengawas utama dalam setiap kegiatan pendidikan menjadi kunci dalam memastikan jalannya proses pembelajaran yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional.
“Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutur Dr. Darwito.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kekejaman Senior PPDS Seperti Terus Dibiarkan, Memukuli dan Memaki Junior Calon Dokter Spesialis hingga Depresi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
.