Surat untuk Opung Luhut Binsar Panjaitan yang Pengin Punya Senjata Nuklir

Surat untuk Opung Luhut Binsar Panjaitan yang Pengin Punya Senjata Nuklir

Surat untuk Opung Luhut Binsar Panjaitan yang Pengin Punya Senjata Nuklir

MOJOK.COOpung Luhut Binsar Panjaitan ingin Indonesia punya senjata nuklir. Omaigat. Oke deh, punya mimpi boleh-boleh aja. Sepanjang nggak bangun aja sih.

Dulu sekali, waktu segregasi fasilitas umum masih berlaku di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat dan aktivisme warga kulit hitam lagi gencar-gencarnya, Martin Luther King Jr. menyampaikan pidato monumental di depan seprapat juta massa yang berkumpul di Lincoln Memorial.

“Aku bermimpi…”

Dan sepanjang pidatonya Martin Luther King Jr. menyinggung soal problem rasisme hingga keadilan sosial. Pidato ini, maupun tuntutan hak-hak sipil untuk warga kulit hitam, tidak lahir dari ruang kosong.

Ada sejarah panjang pasca Perang Sipil. Dari diskriminasi rasial, persekusi, hingga ketimpangan yang lebih banyak dirasakan oleh warga kulit hitam di negara yang dengan pongahnya mengklaim sebagai “pionir demokrasi”.

Singkat cerita, setengah abad berselang dan berjarak ribuan kilo jauhnya dari Washington DC, ada seorang menteri dari negara berkembang. Namanya kalau tidak salah Luhut Binsar Panjaitan. Bermimpi negara tercintanya itu punya senjata nuklir. Mimpi siang bolong itu lahir setelah blio dikacangin dalam Forum Ekonomi Dunia.

Apalagi yang lebih berbahaya dari radiasi nuklir? Oh, ya, itu, ah, nanti dulu.

Opung Luhut merasa kita nggak dianggap saat perwakilan dari Amerika Serikat, India, China sampai Korea Utara—sedikit negara yang diketahui punya senjata nuklir di planet ini dan tak jarang cekcok satu sama lain—asyik sendiri.

“Kita nggak dianggap,” begitu simpul Opung Luhut.

Nah, biar kita dianggap dalam pergaulan internasional, kita kudu kayak mereka. Punya senjata nuklir, berperang lawan petani buta huruf di hutan (kalah pula), memiskinkan negeri orang lewat pemberian utang, membiarkan jutaan perut kelaparan agar punya dana untuk bikin rudal antar benua.

Pilih salah satu. Atau pilih semuanya juga boleh.

Bukan begitu, Opung Luhut?

Ya jelas bukan.

Saya ngerti, sih, namanya bermimpi itu sah-sah saja, sebagaimana mencintai mantan pacar walau sudah punya pacar baru juga sah.

Bermimpi punya senjata nuklir, kek. Bermimpi tembus Piala Dunia, kek. Bermimpi menancapkan tiang bendera merah putih di bulan, kek. Sah-sah saja. Cuma, ya, jangan baperan kalau akhirnya ditertawakan orang banyak kalau mimpi itu tidak strategis—setidaknya untuk sekarang ini.

Coba, deh, Opung Luhut sesekali memantau tanggapan netizen, yang jempolnya lancip-lancip itu. Setelah media menyiarkan impian Opung Luhut soal senjata nuklir.

Ya ada sih sebagian yang mendukung ide ugal-ugalan itu—ujung-ujungnya mesti national pride yang semu. Tapi nggak sedikit juga kok yang ketawa sampai ngompol—dan mereka ngompol kayak gitu jelas bukan tanpa alasan.

Lah, tujuan punya senjata nuklir itu apa dulu? Menjaga perdamaian dunia? Untuk menakut-nakuti negara imperialis yang ngiler lihat Indonesia? Nggak.

Cuma ngambek gara-gara dikacangin. Sukur-sukur bisa ikut-ikutan kalau pecah keributan. Kan begitu omongan Opung Luhut.

Waktu Opung Luhut masih muda, Opung tahu kan betapa ngerinya saat eksistensi manusia di ambang kepunahan gara-gara senjata nuklir? Itu lho, opung, saat terjadinya Krisis Misil Kuba tahun 1962 yang nyaris saja melahirkan perang nuklir total antara almarhum Soviet dan Amerika Serikat.

Amerika, yang tidak bisa menolerir adanya rejim kominis di halaman belakangnya (wong yang jauh dan belum paten dikuasai partai kuminis kayak Indonesia pra-Oktober 1965 aja disembelih duluan sama orang dalamnya), mendanai operasi penggulingan Fidel Castro—tapi gatot alias gagal total.

Walhasil, Castro pun geram, selain cemas akan adanya invasi di masa mendatang, lalu dia meminta bantuan saudara tua, Soviet. Yang belakangan itu insekyur juga dikepung rudal Amerika yang ada di Turki.

Jadi menempatkan rudal di Kuba, yang cuma sepelemparan batu dari Florida, bukan sekadar bantuan cuma-cuma tapi perkataan “lu jual gue beli” yang tak terucap. Selangkah lagi dunia akan menyaksikan perang nuklir.

Barangkali mengungkit Krisis Misil Kuba itu basi. Tapi contoh mana lagi yang sempurna untuk menggambarkan betapa dekatnya kita dengan bencana mahadahsyat?

Alhamdulillah kita belum punah sampai detik ini, walau senam jantung juga akhir-akhir ini menyusul terbunuhnya jenderal Iran. Peluang terjadinya perang nuklir antara Amerika dan Iran, yang sama-sama punya modal untuk itu, tetap ada.

Dan mau tidak mau akan berdampak luas—dan buruk, tentunya. Umat manusia yang waras di mana pun nggak ada yang antusias menyambut kehancuran massal, Opung.

Lalu Opung kepengin Indonesia punya senjata nuklir? Ayolah, opung. Jangan kayak alay ponian yang merajuk gara-gara nggak direken oleh gebetannya.

Konyol, Opung, kalau bermimpi punya senjata nuklir hanya karena nggak direken kenalan opung yang negaranya punya lusinan, ratusan atau ribuan biji senjata nuklir. Apalagi Opung bawa-bawa “kita”—yang wagu dan sepihak itu.

“Kita nggak dianggap.”

Siapa sih “kita” itu? Kalau ‘kita’ berarti termasuk saya dan sekian orang yang menertawakan gagasan Opung itu, ya nggak sahih dong. Ngimpi sih gapapa. Cuma jangan asal mengklaim kalau “kita” itu satu kesatuan dan pasti pikirannya sejalan.

Sudah cukup serangkaian operasi militer di daerah yang pernah, atau masih, bergolak macam Aceh sampai Papua, yang menelan korban jiwa bukan main, mengatasnamakan “kita” untuk membuatnya tampak benar dan perlu.

Sudah cukup perampasan lahan hidup yang mengatasnamakan “kita”, “kepentingan kita bersama”, untuk membuatnya tampak benar dan perlu.

Ya saya ngerti, sih, sebenernya omongan Opung Luhut nggak perlu diseriusin juga. Tertawakan aja. Sekali lagi, orang ngayal bebas, toh?

Ngimpi punya senjata nuklir biar bisa ikut-ikutan kalau suatu hari ada drama pemilik nuklir ya nggak masalah. Ngimpi jadi kekuatan adidaya baru di panggung internasional ya nggak masalah.

Masalahnya, negara ini kan kelasnya cuma kapitalis pinggiran, kolonialis akamsi, ratusan anak tangga jaraknya dari kekuatan lawas atau anyar macam Amerika atau Cina yang mengobrak-abrik negeri orang demi minyak atau memiskinkan negeri orang dengan pemberian utang.

Boro-boro mau melu-melu keributan. Mengutip Pak Ketua Bilven Sandalista: Indonesia itu baru bisa menang…

…kalau melawan rakyatnya sendiri.

BACA JUGA Luhut Pengin Indonesia Punya Senjata Nuklir Tuh Maksudnya Biar Apa? atau tulisan Keenan Nasution lainnya.

 

Exit mobile version