Indonesia Positif Corona Nih, Ayo Kerja Sama atau Ambyar Sama-sama

Indonesia Positif Corona Nih, Ayo Kerja Sama atau Ambyar Sama-sama

Indonesia Positif Corona Nih, Ayo Kerja Sama atau Ambyar Sama-sama

MOJOK.CO – Usai pengumuman Jokowi yang mengonfirmasikan dua orang positif corona sebagai kasus pertama di Indonesia. Banyak orang jadi ambyar. Panik luar biasa.

Belakangan ini, saya punya protap baru menjalani rutinitas sehari-hari. Di meja kantor saya tersedia hand sanitizer. Jadi, tiap teman dan tamu yang main ke rumah, saya wajibkan untuk membasuh tangannya dulu dengan hand sanitizer di rumah.

Berlebihan?

Iya juga sih, tapi tidak masalah. Karena dari semua artikel yang saya baca, semuanya merujuk pada hal itu: antisipasi yang terbaik terhadap COVID-19 (atau yang di sini dikenal sebagai corona) adalah tetap sehat dan rajin cuci tangan. Lalu, jarang memegang wajah atau ucek-ucek mata.

Oya, untuk pengetahuan diri sendiri, Gaes. Memakai masker tidak dianjurkan bagi yang sehat. Juga kurang efektif. WHO sendiri yang bilang. Masker untuk yang sakit. Jadi, meski kerap blunder, pernyataan Menkes Terawan bahwa masker bukan untuk yang sehat ternyata benar. Kalau udah kadung bully ya nggak apa-apa deh.

Tentu saja saya tidak sendiri. Usai pengumuman Jokowi yang mengonfirmasikan dua orang positif corona sebagai kasus pertama di Indonesia. Malahan, mungkin banyak yang lebih panik ketimbang saya.

Buktinya, banyak supermarket di Jakarta yang mendadak raknya kosong dibeli masyarakat. Banyak yang menyetok persediaan makanan seolah menghadapi karantina berbulan-bulan.

Apakah mereka lebay? Tentu saja iya, tapi sulit untuk menyalahkan mereka. Toh, tak ada yang bisa menjamin apa yang terjadi ke depannya.

Tidak yakin juga dengan upaya pemerintah. Masalahnya sederhana. Karena kerap bahaya seperti ini baru terasa setelah ancamannya sudah di depan mata. Kita tak tahu penyakit baru sebelum ia akhirnya sudah menjadi epidemi.

Apalagi, belakangan diketahui, dua orang yang positif corona ternyata pernah berada di dua klab malam di Jakarta. Di situ pula, kemungkinan terpaparnya. Nah lho, ada berapa ratus orang yang bersama mereka malam itu?

Sebenarnya, belakangan ini, saya lagi senewen-senewennya dengan pemerintah. Setelah Pemerintah Cina memberitahu WHO, yang kemudian menetapkannya sebagai epidemi global, langkah-langkah pemerintah kita malah santai banget kayak lagi di pantai.

Malah, dalam rapat terbatas kabinet pekan lalu, Jokowi minta ke semua jajarannya untuk, “memaksimalkan kegiatan konferensi dalam negeri, MICE (meeting, incentive, convention, dan exhibition) serta tingkatkan promosi untuk menyasar ceruk pasar wisman yang mencari alternatif destinasi wisata karena batal mengunjungi RRT, Korea, dan Jepang.”

Pemerintah juga menyiapkan anggaran sekitar Rp500 miliar untuk diskon pesawat, dan mendorong warganya untuk lebih sering bepergian.

Padahal, vaksin untuk penyakit ini tidak bisa diproduksi massal dengan cepat. Prosedur pembuatan obat sangat ketat dan rumit, jika tak ingin ada ekses buruk. Dari artikel yang saya baca, paling cepat satu sampai setengah tahun vaksin corona ini bisa diproduksi massal dengan aman.

Jika ini dilakukan tanpa ada bayangan corona, ini mungkin bisa dipahami. Tapi, ini dilakukan ketika banyak negara meragukan klaim Indonesia bebas dari virus yang belum adanya tersebut.

Secara statistik saja hampir mustahil Indonesia bebas penyakit tersebut. Ada lebih dari 1,2 juta turis Cina yang datang plesiran ke sini. Ingat, sebenarnya kasus infeksi pertama di Wuhan itu terjadi sekitar 2017, dan baru meledak dua tahun kemudian. Belum bicara Indonesia bertetangga dengan negara-negara yang semuanya terpapar.

Apalagi, saya tak menemukan apa pun kekhususan Indonesia yang membuatnya bisa kebal dari virus tersebut. Seperti misalnya, DNA orang Indonesia memang berbeda dengan manusia lainnya di Bumi. Atau kebiasaan orang Indonesia yang berbeda dengan lainnya. Atau bahkan, sistem kesehatan yang ketat, mumpuni, dan nomor satu di dunia, misalnya.

Dan yang paling menyebalkan, ya sikap pemerintah itu. Nyaris tidak ada upaya khusus untuk dealing dengan penyakit ini.

Bahkan, informasi dasar saja, seperti di mana saja alat tes virus ini tersedia, bagaimana prosedur dan berapa biayanya, atau jika menemukan di lingkaran terdekat ada suspect corona apa yang harus diperbuat dan melapor kepada siapa, tidak ada. Baru ketika resmi ada dua orang positif corona di Depok, dibikinlah informasi tersebut. Pancen bangsa yang reaktif.

Pemerintah juga tidak agresif melakukan sampling di sejumlah kawasan untuk melakukan tes tersebut. Bersikap pasif. Hanya mengetes orang-orang yang diduga suspect.

Yang sebelum pengumuman, jumlahnya tak lebih dari seribu orang. Bandingkan dengan total penduduk Indonesia yang 250 juta jiwa. Apalagi, terus kemudian muncul pernyataan aneh-aneh seperti Wapres Ma’ruf Amin yang menyebut Indonesia bebas corona karena “rajin baca doa qunut”.

Maka, pernyataan satire Kang Hasanudin Abdurrahman bahwa “jika doamu bisa buat ngisi baterai HP-mu, maka bolehlah berharap doa itu bisa menghalau corona” jadi sangat relevan.

Tapi, sudahlah, percuma juga sebal kepada pemerintah. Karena, sebal juga tidak berguna untuk mengatasi wabah. Saya tidak akan bicara tentang tips-tips mengantisipasi corona. Semua sudah banyak. Saya akan bicara apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi bersama.

Pertama, buat jaringan informasi dengan lingkungan terdekat. Bisa keluarga, bisa teman kantor, teman kuliah, pokoknya lingkungan terdekat.

Kedua, buat protap bersama di lingkungan tersebut. Sehingga, ketika ada apa-apa (teman ada yang menunjukkan gejala), tahu harus melakukan apa. Seperti melapor kepada siapa, dan membawa ke mana serta prosedurnya juga supaya tak ikut tertular. Juga membuat protap tambahan kehidupan sehari-hari.

Jaga kondisi, rajin cuci tangan, dan jika tidak perlu-perlu banget, jangan sampai berada di kerumunan. Jika harus berada di kerumunan, setidaknya juga sudah siap dengan pengamanan.

Ketiga, saling berbagi dan mendukung dengan lingkungan terdekat tersebut. Yang paling sederhana adalah melawan hoaks atau informasi menyesatkan. Seperti virus ini adalah balatentara Allah, dan sebagainya.

Oke, iman memang penting di saat krisis, tapi jangan menjadi acuan ilmiah untuk menjelaskan soal wabah ini. Sebaiknya, berpegangan pada informasi di media mainstream. Atau dari aparat yang berwenang. Atau jika melihat medsos, pantau akun-akun terpercaya. Seperti di Twitter, Anda bisa follow akun @KawalCOVID19.

Keempat, jangan panik. Saya tahu ini nasihat klasik. Sederhana, tapi selalu yang paling sulit dipraktikkan. Tapi, kepanikan selalu mengakibatkan korban lebih dari yang seharusnya. Yang paling sederhana dan jangan dilakukan dulu adalah panic buying.

Artinya memborong bahan makanan, masker, dan sebagainya. Ingat, bahwa bukan hanya Anda yang memerlukan. Tapi, orang lain juga. Beli secukupnya.

Empat hal tersebut adalah hal-hal yang bisa dilakukan oleh saya, Anda, dan masyarakat kebanyakan lainnya.

Butuh kerja sama semua pihak untuk melewati wabah ini. Karena wabah bagaimanapun juga ada siklusnya. Muncul, berkembang, mencapai puncak, menurun, dan kemudian hilang.

Namun, dengan bertindak dan antisipasi yang tepat, kita tak perlu mengalami nasib seperti Eropa yang dihantam Black Death, atau penyakit pes pada abad ke-15 lalu (yang melenyapkan sepertiga populasi Eropa).

Dunia yang semakin terkoneksi memang menjadi salah satu alasan penyebab kenapa corona ini bisa dengan cepat menjadi epidemi. Namun, dunia yang semakin terkoneksi ini pula yang membuat kita bisa lebih baik dalam menangani epidemi.

Sebab, pilihan kita di Indonesia terbatas dalam menghadapi corona. Bekerja sama dengan baik antara kita, atau tercerai-berai ambyar dihantam kepanikan dan wabah yang belum ada obatnya.

Stay healthy, Gaes—dan sekali lagi—rajin-rajin lah cuci tangan.

BACA JUGA Guyonan Virus Corona dan Akal Kiyowo Kita Sebagai Umat atau tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.

Exit mobile version