Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

Menghadapi Korban Kekerasan Seksual: Diam dan Dengarkan Dulu, Nggak Usah Mendikte Apalagi Sok Tahu

MOJOK.COJika perempuan selalu dididik untuk mencegah jadi korban kekerasan seksual, kenapa laki-laki tidak dididik hal yang sama agar tak jadi pelaku?

Beberapa hari linimasa twitter cukup menakutkan buat saya. Resah saja tidak cukup. Saya benar-benar ketakutan.

Kebebasan seseorang untuk menyuarakan pendapat di muka publik akhirnya memberitahu kita semua mengapa usaha mencari keadilan kepada korban kekerasan seksual tidak selalu mendapat dukungan.

Saya menemukan sebuah akun yang punya pendapat bahwa jika seorang ayah memperkosa anak sendiri, itu karena intensitas ayah dan anak yang sering berdua-duaan di rumah, sedangkan ibunya sibuk bekerja. Celakanya, ia merasa pendapatnya dibangun dari fondasi kaidah fikih.

Benar-benar sebuah cara berpikir yang tak bisa saya pahami, sebab saya masih percaya bahwa fikih merupakan produk hukum Islam yang dibuat untuk tujuan rasa keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan.

Sebuah akun lain, kali ini tidak menggunakan kaidah agama, punya pendapat yang tampak empatik tapi intinya sama saja: mendikte perempuan untuk berhati-hati, sebab lingkungan yang kami tinggali ini tak ideal.

Wujud kehati-hatian itu, tentu saja adalah tahu diri dalam hal berpakaian agar tidak “memancing” pelaku kekerasan seksual.

Yang paling banyak beredar adalah pandangan yang memaklumi tindakan kekerasan dengan mengibaratkan laki-laki sebagai binatang. Lelaki diibaratkan sebagai kucing memangsa ikan asin atau semut yang merubuti gula, sehingga dianggap “wajar” melecehkan perempuan.

Jika perempuan selalu dididik dengan ketentuan agama, mengapa laki-laki diwajarkan menjadi binatang, padahal ia juga subjek manusia beragama yang dapat mendidik dirinya sendiri?

Saya yakin betul para perempuan sudah sangat kenyang dengan kata hati-hati. Sejak kecil, anak perempuan selalu dididik untuk berpakaian sopan, tidak pergi-pergi sendirian, tidak bersuara lantang hingga menarik perhatian, tidak pulang malam, sebab dunia sejak dulu tampak terlalu mengerikan buat anak perempuan. Sekadar nongkrong di depan rumah saja, anak perempuan bakal ditegur orang tua untuk pakai celana panjang.

Tapi, apakah anak laki-laki diajari untuk menghormati tubuh perempuan? Bahwa, sama seperti tubuh anak laki-laki, tubuh anak perempuan adalah milik perempuan itu sendiri. Semua tubuh berhak akan rasa aman. Oleh karena itu, anak laki-laki tak boleh melecehkan dan tak boleh menyerang tubuh perempuan.

Lagipula, harus bagaimana perempuan berhati-hati jika lembar fakta CATAHU Komnas Perempuan 2020 melaporkan 75,4% kekerasan seksual yang dialami perempuan justru terjadi di ranah personal, yang artinya pelakunya adalah orang dekat seperti ayah kandung atau ayah tiri, kakak laki-laki, paman, tetangga atau teman dekat.

Menurut data survei Koalisi Ruang Publik Aman, kejadian pelecehan atau kekerasan seksual terhadap perempuan justru banyak terjadi pada siang hari (35%), diikuti dengan sore hari (25%), malam hari (21%), dan pagi hari (17%).

Selain itu, jenis pakaian yang digunakan korban juga beragam, seperti rok, dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).

Artinya, mitos soal tempat, waktu dan pakaian yang dikenakan korban pelecehan dan kekerasan seksual semua terpatahkan. Yuyun, siswi SMP kelas 2 di Bengkulu yang diperkosa lalu dibunuh oleh 14 laki-laki itu memakai seragam sekolah dalam perjalanan pulang ke rumah ketika para pelaku kekerasan menyerangnya.

Akar masalah kekerasan seksual bersumber pada otak pelaku yang ingin merendahkan, mengancam serta menyerang harga diri, atau martabat seseorang lewat tindakan kekerasan seksual.

Pelaku memiliki pandangan bahwa korban tak berdaya dan tak berharga, sehingga ia dapat menaklukan korban untuk menyampaikan pesan bahwa ia lebih kuat dan lebih berdaya. Oleh karena masalah ada pada otak, maka otak pelaku yang mesti dibongkar.

Tapi, saya juga mesti sadar kalau tradisi menertibkan “moral” perempuan adalah tradisi yang sangat tua dan lebih disukai oleh masyarakat yang bias kuasa laki-laki.

Opini-opini yang bersifat menyalahkan korban dan tetap berusaha membuka ruang untuk memaklumi kebejatan pelaku itu adalah hasil pewajaran pandangan dehumanisasi terhadap kemanusiaan perempuan berdasarkan budaya dan media yang patriarkal. Ribuan tahun lamanya.

Belasan tahun lalu, kita familiar dengan Bang Napi yang selalu muncul di segmen terakhir acara berita semi hiburan bertajuk Sergap di RCTI. Bang Napi selalu berpesan: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”

Lihatlah pesan yang begitu meneror itu. Seolah-olah, sejak belasan tahun lalu kita telah diingatkan bahwa kita semua tak akan selamat dari pelaku dengan cara apa pun.

Bahkan sampai tahun 2020, sebuah media nasional masih bisa membuat judul: Dihajar Sampai Hamil, Guru Olahraga Mengaku Saling Cinta. Isi berita tersebut adalah seorang guru olahraga berusia 50-an tahun memperkosa seorang siswi berkali-kali sampai korban hamil.

Bayangkan, menjadi korban perempuan yang mengalami kehamilan tak direncanakan pada usia anak akibat perkosaan? Korban mengalami trauma psikis dan trauma fisik tak mudah, sementara dari ke hari, ia tetap menyaksikan ada yang berubah pada tubuhnya. Kondisi alat reproduksi rentan.

Sudah begitu korban yang masih pelajar pun terputus dari segala akses menuju cita-citanya di masa depan karena sistem pendidikan nasional pada umumnya mendiskriminasi perempuan dengan kehamilan.

Tapi, jurnalis menulis pengalaman sulit korban dengan kata “dihajar”, seolah memerkosa anak perempuan di bawah umur adalah tindakan jantan serta heroik yang layak dirayakan.

Pahit memang untuk mengakui bahwa kita semua adalah anak kandung dari budaya yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan. Meski begitu, saya percaya ada cara sederhana untuk menyelamatkan akal sehat kita.

Paling tidak, kita bisa menggunakan cara kita ketika berkomentar soal kasus kekerasan seksual dengan berbagai pertimbangan. Metodologi atau kaidah apa saja tentang peristiwa kekerasan seksual, pastikan kita semua telah mencoba mendengar suara korban, berupaya memahami pengalaman korban dan mencari tahu apa kebutuhan korban kekerasan seksual.

Teori-teori pemakluman sudah terlalu banyak, kini saatnya memberi kesempatan kepada pihak yang suara dan pengalaman mereka yang tak pernah didengar, tak pernah dipandang utuh, serta tak pernah dicatat.

Sebab, mendengar suara korban adalah langkah pertama menuju keadilan, bukan memaklumi tindakan pelaku sampai jadi kebiasaan.

BACA JUGA Laki-Laki Mendukung RUU PKS, Sebab Ia Memang Nggak Takut Dilaporin Istrinya ke Polisi atau tulisan Kalis Mardiasih lainnya.

Exit mobile version