Gempa Lombok Bukan Soal Politik dan Agama, Ini Soal Mau Jadi Manusia atau Tidak

MOJOK.CO – Cerita langsung dari lokasi gempa Lombok saat detik-detik gempa susulan terjadi. Musibah sepilu itu kok ya masih dikaitkan dengan politik, itu maksudnya apa? Situ manusia?

Saya sedang duduk di teras rumah. Bersama kawan lama, kami membicarakan banyak hal; isu Pilkada kemarin, siapa teman yang mau nyaleg, tanaman bonsai siapa yang paling bagus, siapa teman kami yang jomblo, sampai bisnis ikan, sampai bisnis kapsul undur-undur, hingga sebuah goncangan hebat terjadi malam itu. Segera kami berhamburan, melompat, kabur ke tengah halaman untuk menyelamatkan diri.

Bisa dibilang saya adalah yang pertama bereaksi cepat ketika goncangan terjadi. Sebab di antara yang lain, saya sudah punya pengalaman buruk soal gempa di Jogja pada 2006 silam. Sedikit saja tanah bergerak, kenangan traumatik itu langsung muncul. Membuat saya selalu refleks berlari ke luar bangunan daripada orang lain.

Dari luar, di segala penjuru sekitar saya semua orang berteriak, menjerit kaget, takbir, istighfar. “Astagfirullah, gempa. Ya Allah”. Pintu dan jendela berderak, tanah seperti lantai kapal yang dihajar ombak. Kami berdiri limbung dan kepala mulai pening. Saya bergidik membayangkan kengerian gempa Jogja ketika saya masih kuliah di sana. Rasanya masih belum percaya, gempa yang sama menakutkannya melanda saya lagi, tapi beda, kali ini terjadi di kampung halaman saya di Pulau Lombok.

Cepat-cepat saya buka Twitter, membuka akun BMKG, kemudian kaget dengan segera. Tangan saya gemetar begitu membaca peringatan dini tsunami. Dulu ketika gempa Jogja terjadi, informasi yang sama juga muncul, orang-orang yang panik bilang tsunami datang. Saat itu ingatan soal tragedi tsunami Aceh 2004 masih sangat lekat. Semua orang panik.

Bedanya dulu ketika 2006, media sosial belum semasif sekarang, jadi informasi yang kemudian diketahui hanya efek panik karena dua tahun sebelumnya Aceh kena Tsunami sudah sempat bikin Jogja jadi chaos luar biasa selama berjam-jam.

Akan tetapi, sesaat setelah saya melihat gawai saya dan sadar tsunami bisa saja menghantam saya, teman-teman saya, dan keluarga saya, tidak ada sesuatu yang bisa menghibur saya saat itu. Sebab, informasi yang saya dapat langsung dari BMKG. Pulau Lombok hanya setitik dibandingkan luasnya Samudra Hindia yang siap menghantam daratan ini. Listrik padam dan hujan turun membuat suasana makin mencekam.

Baru saja pukul dua pagi kami balik dari lokasi gempa sebelumnya. Menyampaikan amanah para dermawan, menyambangi korban dan berbagi seadanya di sana. Saya bersama teman-teman mengunjungi Sambelia, Obel-Obel, Sambi Elen, Sajang, Sembalun, dan beberapa desa sekitarnya. Lokasi-lokasi tersebut adalah lokasi dengan tingkat kerusakan paling parah sejak gempa Lombok akhir Juli kemarin.

Setelah getaran agak reda, gempa mulai tidak terasa, sembari mencari info yang akurat tentang apa yang baru saja terjadi, saya berselancar dengan sisa baterai gawai seadanya, membuka Facebook dan masuk di beberapa grup regional. Berharap mendapatkan banyak info yang berguna untuk situasi darurat terkini. Mendadak saya melotot, mengelus dada dan ingin membanting gawai saya seketika.

Beberapa orang idiot mulai mengaitkan gempa yang baru saja saya rasakan dengan situasi politik terkini. “Gempa ini adalah azab, salah sendiri TGB mendukung Jokowi, rasakan sekarang azab Allah sudah datang.”

Duh, Gusti Pengeran, kenapa masih saja ada kegoblokan seperti ini? Masih banyak kaum jahiliyah era milenial yang masih ketuker dengkul dan kepalanya, masih bercampur berak dan otaknya. Bukannya bersimpati atau berempati, kicauan dan celotehan di media sosial yang mengaitkan musibah ini dengan preferensi politik benar-benar menyakiti perasaan kami.

Jangan salahkan saya kemudian jika saya membayangkan sebuah spesies bernama Yajuj dan Majuj dengan bentuk wajah seperti pantat penggorengan penyok sedang mengetik status dan seperti kera habis kawin, mereka nyengir mengunggah status tidak masuk akal begitu, beronani di depan publik dalam parade kedunguan.

Orang-orang ini—kebanyakan menggunakan akun palsu—menafsir agama sekenanya, menjadi pengamat politik dadakan, dan melempar tuduhan-tuduhan serampangan. Membuat otak-atik gathuk, cocokologi sesuai dengan imajinasi mereka saat duduk di atas jamban. Urat malu dan urat kemanusiaannya mati karena obsesi dan fanatisme berlebihan yang tak berdasar.

Akan tetapi, saya tak punya waktu meladeni mereka. Di hadapan saya, sahabat-sahabat saya jadi korban. Tanah saya dilahirkan sedang berduka, ketimbang energi kemarahan ini terbuang percuma, saya pikir akan lebih berguna menolong orang-orang di hadapan saya.

Bersama dengan rombongan kecil berisi bantuan, saya datang di Sembalun ketika azan magrib selesai berkumandang, mengambil wudhu lalu bergabung di sebuah masjid dengan sebagian atap yang sudah tidak ada. Usai salat, kami berbincang sebentar, mendengar keluhan tentang lambatnya pembagian sembako untuk makan warga yang kena gempa Lombok.

Beberapa orang mengeluhkan pembagian logistik yang terlalu prosedural di beberapa posko besar. Sebagian menilai posko besar seolah seperti sedang ingin membangun supermarket. Tentu hal demikian biasa terjadi di lokasi bencana.

Kami hanya bisa menghibur mereka dengan memberi pandangan bahwa posko sedang memikirkan mekanisme bertahan jangka panjang. Bukan memikirkan kesediaan hari ini saja. Mereka pun mengiyakan dan bersyukur ada bantuan dari relawan-relawan dalam jumlah kecil yang selalu datang membagi langsung ke titik-titik pengungsian. Tidak ada protes atau kemarahan berlebihan dari mereka.

Angin bertiup kencang, membawa kabut dan dingin dari Lereng Gunung Rinjani. Mengirim suhu dingin sampai 14 derajat celcius pada pukul 22.00 WITA. Kami berkeliling mencari beberapa titik pengungsian yang masih belum menerima bantuan. Beberapa orang menyalakan api unggun, mereka menyambut kami dengan penuh kegembiraan. Menurunkan selimut, sarung, makanan dan minuman yang kami bawa sejak sore tadi dari Selong dan Sukamulia.

Kami bermaksud menghangatkan tubuh sebentar, tapi dengan penuh kehangatan, ibu-ibu berteriak dari dapur umum, meminta salah satu dari mereka membawa kopi panas dan makanan kecil untuk dihidangkan pada kami. Beberapa saat kemudian, nasi panas mengepulkan uap segera dibawa keluar ke arah api unggun. Kerupuk, sambel, sayur nangka keluar, dihidangkan segera menyambut kami yang menggigil di balik kemulan sarung dan baju hangat.

Kami ingin menolak sajian dari mereka, tapi mereka kadung menganggap kami tamu jauh. Di sela cerita-cerita lucu, gurauan-gurauan lokal yang konyol, kami makan hidangan sederhana itu. Hidangan yang mungkin paling lezat yang pernah kami makan. Mengingatkan saya ketika tamat SMP dulu, turun dari Puncak Rinjani, nyasar di rumah penduduk, kemalaman, lalu dihidangkan sajian seperti malam ini. Makanan terbaik yang mereka bisa sajikan dan terenak yang pernah saya makan di kondisi duka seperti ini.

Saya mengamati wajah mereka. Wajah yang tetap ceria, wajah yang khawatir tapi tetap gembira. Wajah yang tidak pernah saya bayangkan menjadi sekumpulan para penjahat, yang layak diganjar azab seperti tulisan para idiot di status-status Facebook penuh kebencian itu.

Sungguh mereka bukan para kriminal yang menumpuk bantuan untuk dijual kembali atau disimpan sendiri untuk perut mereka. Mereka yang ada di hadapan saya ini mungkin tidak peduli bahwa di luar sana, orang-orang saling mencaci, memperdebatkan gejala gempa dari sudut pandang sains, agama, dan politik dengan kapasitas otak yang tak lebih dari memori setengah kilobyte.

Ketika tulisan ini saya tulis, gempa susulan lumayan besar kembali terjadi. Kami berhamburan lagi keluar rumah. Beberapa tetangga yang terbangun menggedor jendela dan pintu tetangga lain yang belum bangun. Memberi peringatan untuk selalu waspada. Bukan semata berlari menyelamatkan diri sendiri. Gempa Lombok membuat kami seolah diuji, seberapa berat usaha untuk tidak mementingkan diri sendiri, seberapa hebat kami berusaha membantu dan menyelamatkan yang lain.

Dari jauh, suara sirine ambulan masih terdengar berseliweran. Mereka menjemput korban, mengantar relawan, membawa logistik, dan lain sebagainya tanpa peduli siapa dan untuk apa semua dilakukan. Mereka melakukannya sebab memang kegiatan itu perlu dilakulan.

Ini bukan lagi soal politik, bukan lagi soal agama, ini murni soal kemanusiaan. Suara sirine tersebut seolah mengejek orang-orang tidak berperasaan yang masih memainkan fitnah keji, menyalahkan kelompok politik tertentu sebagai penyebab gempa Lombok.

Sebab untuk peduli kepada korban dari gempa Lombok memang tak perlu susah-susah, hanya dengan menjadi manusia saja. Itu sudah cukup.

Exit mobile version