Selain Kurban Perasaan, Orang Indonesia Ternyata Masih Sedikit Berkurban

Halo jamaah rubrik celengan yang doyan kerja keras bagai kuda tapi masih terlalu sering terkombang-kambing situasi keuangan,

Daging kambingnya mau dimasak apa nih, gule atau sate? hah keduanya?! Kalian itu kok ya bisa-bisanya tidak mencerminkan tengah hidup di bulan-bulan menuju Pemilu. Mbok ya pilihannya yang menunjukkan melek politik kekinian gitu lho. Pilih salah satunya, kemukakan keunggulannya dan sebutkan alasan mengapa orang perlu mempertimbangkan pilihan tersebut.

Maqom jamaah mojokiyah harusnya sudah jauh melampaui pertanyaan di atas.  Sudah bukan waktunya memikirkan daging apa yang akan kita makan, dimasak dengan cara bagaimana tetapi mulai memikirkan seberapa banyak orang yang dapat kita jangkau dengan daging yang berasal dari hewan ternak yang kita potong.

Maka pertanyaan lebih relevan yang Om ajukan ke kalian setiap hari Idul Adha, “Bro dan Sis, pada kurban apa nih kalian tahun ini?”

Jawabannya pun sebisa mungkin jangan “kurban perasaan”. Kyaa… selain sebagai guyonan sudah kadaluarsa-muncul lagi-kadaluarsa lagi, rasanya kok tidak mencerminkan banget sisi ketangguhan dan kesungguhan generasi milenial. Generasi yang sangat diyakini memiliki entrepreneurship jauh mengungguli generasi sebelumnya.

Brian Scudamore, seorang pengusaha jasa pembuangan sampah sukses cum kontributor Forbes, di satu kesempatan mengungkapkan beberapa keunggulan tersebut. Pertama, tanpa perlu menunggu waktu lama berani membuka usaha sejenis mentornya. Kedua, lebih menyukai praktik langsung untuk mendongkrak pengetahuannya secara optimal. Ketiga, team player yang hebat. Tidak seegois yang diperkirakan generasi sebelumnya. Keempat, mempunyai empati yang cukup besar.

Langkah selanjutnya tinggal bagaimana mengonversi sekian kelebihan tersebut untuk menjalankan fungsi tidak sekedar sebagai makhluk ekonomi saja tetapi juga makhluk sosial. Jelas ya, generasi milenial sudah bukan waktunya lagi mengatakan sudah berkurban asmara atau hal lain yang menunjukkan derajat kebaperan yang akut.

Serius, esensi berkurban itu memang harus sedahsyat mungkin. Walaupun tengah kecewa, tetap bermanfaat untuk umat. Misal,  habis ditolak nembak cewek potong kambing 2. Nah Si Cewek, habis ditembak cowok yang tidak sesuai dengan harapan pun potong kambing 2. Cieee kompakan belinya kambingnya tapi tidak hatinya.

Lha kalau cuma mau bicara tragedy perasaan, siapa yang mampu mengalahkan pengorbanan petani yang digusur dan terpaksa menyingkir dari lahan yang sudah menghidupi keluarga mereka selama beberapa generasi. Itu pun mereka masih banyak yang menyempatkan diri untuk melakukan ibadah kurban.

Menurut data Kementerian Pertanian, total kebutuhan hewan kurban pada Idul Adha tahun 2018 sekitar 1,5 juta ekor hewan ternak. Itu mencakup 462 ribu ekor sapi, 10.344 ekor kerbau, 793 ribu ekor kambing dan 238 ribu ekor domba. Ayam? Please deh… belajar lagi tentang hewan ternak untuk keperluan ibadah tersebut.

Dapatkah angka tersebut disebut banyak? Sama sekali tidak. Kalau dibandingkan dengan total jumlah penduduk muslim yang sebanyak 208,8 juta (2016), kemampuan masyarakat muslim dalam berkurban terhitung rendah sekali, hanya 0,75%. Riilnya tentu lebih memprihatinkan lagi, karena tidak sedikit orang yang mampu berkurban lebih dari satu ekor. Tapi juga perlu dicatat, kelemahan paling mendasar di negeri ini soal data.

Kalau dibandingkan dengan jumlah kelas menengah muslim kita yang sebanyak 45,9 juta jiwa (2016). Jumlah hewan kurban baru 3,2% dari populasi kelas menangah. Kenapa ribet ngitung persentasenya? Itu erat kaitannya dengan distribusi daging kurbannya. Kerap terjadi daging kurban justru menumpuk di kawasan yang relatif sudah sejahtera.

Kurban itu soal kesanggupan yang erat kaitannya dengan materi. Artinya tidak semua kelompok penghasilan mampu melakukannya. Om mengasumsikan pembaca mojok 75% merupakan kelas menengah yang mampu menjalankan. Tapi sangat mungkin tidak sampai seperlimanya yang berkurban. Loh kalau tidak berkurban emang salah?

Sama sekali tidak. Ibadah kurban sifatnya tidak mengikat, anjuran bagi yang mampu dan mau saja. Kalau kita mau berpikir progresif dengan memberikan lebih, potensi ekonomi umat akan semakin melejit jika setiap muslim patuh pada anjuran tersebut.

Bagaimana realisasinya?

Biar Om yang hitungkan untuk kalian. Jika kita mengacu data jumlah hewan kurban dari Kementan, paling tidak nilai keseluruhan dari jual-beli baru mencapai 11,5 triliun. Sekali lagi itu angka moderat, dengan memperkirakan harga sapi rata-rata “hanya” 20 juta/ekor dan kambing 2juta/ekor.   Baangkan saja, sapi jenis peranakan ongole (PO) milik Jokowi,  yang rencananya akan disembelih di Istiqlal beratnya 1,5 ton dengan harga hampir 70 juta, 3-4 kali lipat dari harga sapi dewasa standar kurban. Tidak sedikit juga orang yang menyumbangkan sapi jenis limosin yang harganya tembus hingga 100 juta.

Ingat, hitungan tersebut baru berasal dari perbandingan jumlah hewan ternak terhadap populasi kelas menengah kita. Seandainya 20% saja kaum kelas menengah melakukan ibadah kurban dengan komposisi hewan kurban seperti saat ini, potensi nilai ekonomi dari aktivitas jual-beli tersebut akan mencapai 70 trilyun. Jauh lebih besar dari hitungan Baznas yang berkisar 40-60 trilyun.

Itu baru dari nilai jual beli hewan ternaknya saja. Ilmu ekonomi punya cara pandang canggih untuk meneropong angkanya akan lebih besar dari sekedar 11,5 triliun jika kita mulai menghitung dampak ikutan atas ibadah tersebut. Angkanya dapat menggelembung beberapa kali lipat.

Petani/peternak dapat menjual hewan ternaknya, pemilik angkutan yang mendistribusikan hewan mendapatkan sewa, pengusaha SPBU mengisikan bbm ke angkutan hewan ternak, orang yang tidak mempunyai skil dapat menjaga, mencarikan rumput dan mengurus hewan di tempat penampungan.

Cukup? Belum.

Industri kulit bisa mendapatkan bahan baku relatif murah, jagal amatiran mendapatkan kepercayaan menyembelih, permintaan tali tambang meningkat, pedagang bumbu omsetnya melonjak, pengusaha arang kayu tersenyum cerah di antara jelaga, pengusaha tusuk sate semakin cepat meruncingi bambu, pedagang selongsong ketupat musiman menyerbu kota-kota di sekitar mereka tinggal.

Cukup? Masih banyak sebenarnya. Dampak ikutan dari perayaan keagamaan memang beririsan langsung dengan ekonomi rakyat. 9 sektor perekonomian Indonesia jelas aktif bergerak meresponsnya. Nilainya jauh lebih besar dari pendapatan freeport yang berada di kisaran 40 trilyun per tahun.

Pertanyaanya pentingnya mengapa jumlah pekurban di Indonesia masih terhitung sedikit?

Setidaknya baru 1 dari 30 penduduk kelas menengah kita yang menjalankan ibadah tersebut. Ini sama sekali tidak terkait dengan kemampuan menabung, tetapi lebih terkait dengan kebelumsiapan (hadeh bahasanya bener nggak nih) kita dengan ibadah tersebut. Ini satu bukti bahwa sebagian besar manusia ternyata masih pada taraf hidup sebagai makhluk ekonomi.

Padahal kalau kita menimbang ide penguatan ekonomi umat, pintu masuk salah satunya ibadah kurban. Itu praktek tertinggi manusia sebagai makhluk sosial.  Bagaimana tidak, kita mengorbankan harta bukan dalam bentuk investasi yang dapat memberikan keuntungan lebih. Tetapi sebagai manifestasi bahwa manusia harus siap kehilangan atau mengorbankan kecintaan terhadap materi.

Apakah ada jawaban masuk akal selain hal tersebut?

Dimensi sosial kurban memang sangat besar. Jauh melebihi nilai ibadah untuk individu. Kurban bukan sekadar napak tilas atas apa yang telah dilakukan Ibrahim, lebih dari itu, ia kesanggupan untuk menyingkirkan egoisme yang sudah sering berkarat. Tidak mudah memang, tetapi juga bukan berarti sulit.

Keinginan untuk melakukan ibadah kurban sebenarnya tidak memerlukan perencanaan keuangan yang muluk-muluk. Selama seorang pekerja sanggup membeli pulsa 100 ribu per bulan, rokok sebungkus per hari, nonton bioskop 2 kali sebulan, ganti ponsel 2 tahun sekali, makan siang minimal 15 ribu,  dan nongkrong seminggu sekali di cafe. Kurban hanya tinggal menunggu keikhlasan.

Secara aturan mungkin satu orang satu kambing, tetapi kalau mampunya satu kambing ditanggung berdua atau bahkan berempat masa Tuhan menyalahkan kita sih? Ini kalau kita mau bersepakat soal penguatan ekonomi umat. Padahal latihan kurban dalam bentuk iuran sudah diinisiasi sejak usia sekolah dasar.

Siap ya untuk mulai menjadi pekurban dalam ibadah kurban kali ini dan di tahun-tahun mendatang. Jangan sampai saat om tanya jawabannya,  “Aku sudah berkurban untuk kebahagiannya bersama orang lain, Om”.

Exit mobile version