Pekerjaan Non-PNS Yang Nggak Kalah Menjanjikan Secara Finansial

pekerjaan-non-pns

MOJOK.CO Ciee Nggak lolos CPNS, ya? Tenang, nggak jadi PNS bukan berarti kiamat. Masih banyak pekerjaan non PNS yang nggak kalah menjanjikan secara finansial seperti yang dijelaskan Om Haryo di bawah ini.

Halo Celengers,

Bagaimana perasaan kalian kalau saat melihat pengumuman hasil ujian CPNS, tidak ada nama kalian di sana? Harus dirayakan! Serius, itu artinya kalian menjadi pahlawan negara. Di satu sisi menjadi PNS merupakan satu pengabdian kepada negara, tapi di sisi lain tidak menjadi PNS merupakan cara kita untuk tidak membebani negara dengan memikirkan gaji kita tiap bulan.

Stress lho pemerintah itu memikirkan PNS. Kalau menurut Ibu Menkeu, Sri Mulyani, lebih dari seperempat anggaran belanja negara habis untuk bayar gaji PNS. Kadang-kadang di waktu sepertiga malam saat sebagian besar PNS masih pada tidur, Om terbayang terus dengan mimik muka beliau waktu menyampaikan hal tersebut. Hmmm… serius, kayaknya kok PNS itu merepotkan banget pemerintah.

Jadi kalau seumpama kalian tidak diterima jadi PNS, jangan pernah menganggap hal tersebut sebagai sebuah kegagalan. Justru kalian harus merasa tengah ditinggikan derajatnya oleh Tuhan sebagai manusia yang jauh lebih mampu bekerja keras sekaligus meringankan beban pemerintah.

Tolong, ini jangan dipelintir sebagai gerakan anti-PNS. Sahabat PNS yang syuper, teknik menasehati dan memotivasi orang gagal itu memang terkadang harus mengelus satu pihak dan menginjak pihak lain. PNS selain urusannya dengan takdir juga dengan hoki. Ingat Kahiyang Ayu, anak Presiden Rupublik Indonesia? Itu juga tidak diterima saat mendaftar CPNS.

Nah, sekarang lupakan soal PNS. Banyak orang justru karirnya melenting lebih jauh setelah tidak diterima sebagai CPNS. Kemudian, pekerjaan non PNS apa sih yang secara kesejahteraan remunerasinya tidak kalah dengan PNS? Bekerja di perusahaan BUMN? Perusahaan Multinasional? Bikin Startup? Buka Warung? Jasa perbengkelan? Atau malah cukup jadi petani saja?

Beberapa tahun lalu TEDx, media nirlaba yang berkedudukan di Amerika Serikat menghadirkan sosok fenomenal, Jon Jandai, seorang petani dari Thailand. Dalam tayangan tersebut, ia membuka mata sekaligus menginspirasi jutaan orang dengan kalimat yang menghentak kesadaran kita, “Hidup itu mudah. Sangat mudah dan menyenangkan”.

Jangan bandingkan dengan jumlah klik yang didapatkan Young Lex. Walaupun sudah diunggah bertahun-tahun, tetap saja tidak mampu menyaingi jumlah klik di kanal youtube rapper kondang yang sebenarnya tidak bisa ngerap tersebut. Jangan ditanya juga apakah Young Lex mampu menginspirasi para pencari kerja?

Jon Jandai, selayaknya orang desa yang lugu, penampakannya sangat sederhana. Tapi Jon bukan sembarang petani, ia merupakan pemulia tanaman sekaligus pendiri Punpun. Satu pusat pembelajaran pertanian organik di Thailand Utara yang mengupayakan satu sistem pertanian berkelanjutan.

Istimewanya, dulunya Jon tidak berbeda dengan umumnya kaum muda desa yang pernah mencoba peruntungan pergi ke ibu kota. Persis seperti kalian, eh, Om juga. Selalu memandang bahwa kesuksesan harus ditunjukkan dengan sukses di Jakarta, atau merantau ke kota-kota besar di negeri ini. Tempat dimana kegiatan ekonomi yang melibatkan peredaran uang dalam jumlah besar berada.

Ekonomi uang yang membuat Jon muda silau dengan gurihnya Bangkok perlahan tapi pasti pudar. Ia merasakan hidup justru menjadi lebih sulit daripada waktu di desa. Walau ia menggandakan segenap kekuatan, kerja lembur bagai kuda lebih dari 8 jam hasilnya tak kunjung membuatnya sejahtera.

“Saat saya sudah bekerja keras, bagaimana bisa hidup jadi begitu sulit?”

Jon juga berpikir seperti kebanyakan dari kalian, eh, Om juga. Jangan-jangan karena hanya lulusan STM yang begitu lulus langsung kerja, sehingga hidup menjadi tidak sejahtera. Maka kemudian ia memutuskan untuk kuliah. Ya, menggunakan pendidikan formal sebagai jalan untuk mengubah nasib. Apa yang didapatkan setelah kuliah?

Ia yang dikemudian hari memraktekkan pertanian berwawasan lingkungan tersebut justru tambah gelisah. Universitas, menurutnya justru akan semakin menyulitkan hidupnya. Jangankan mengajarkan pengetahuan yang produktif, dunia kampus justru kerap lebih mengenalkan cara destruktif saat mengeksploitasi sumberdaya alam.

Apa yang ia ilustrasikan berikutnya membuat siapa saja yang menyayangi lingkungan gamang menjalani hidup.

“Semakin banyak arsitek atau insinyur yang dihasilkan, maka kerusakannya akan semakin besar. Semakin banyak mereka bekerja maka kawasan pegunungan akan bertambah rusak, dan tanah-tanah yang subur yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Chao Phraya akan lebih tertutup hamparan beton”

“Jika kalian belajar pertanian atau semacamnya di universitas, berarti kalian belajar cara meracuni tanah, air, dan belajar untuk merusak semuanya.”

Dia memutuskan untuk berhenti kuliah dan pulang ke desa.

Idealismenya menuntun pada pemahaman utuh bahwa alam akan memberikan kemurahan lebih, jika kita memuliakannya dengan cara bertanam organik. Semula orang mempertanyakan mengapa dia berbeda dengan petani yang walaupun sudah menggunakan pupuk kimia hasilnya tidak baik, di tahun kedua 30 orang langsung menjadi followernya. Di IG? Facebook? Twitter? Bukaaan. Ya di usaha tani organik tersebut.

Ini bukan hendak mendeskreditkan kebijakan pembangunan yang mewadahi banyak lulusan yang dipersepsikan oleh Jon Jendai lebih banyak unsur destruktifnya dibanding produktifnya. Tujuh tahun setelah paparan singkat petani Thailand tersebut, “secara kebetulan” insinyur-insinyur yang dipekerjaan pabrik semen mendirikan pabrik semen di kawasan kars pegunungan Kendeng yang kaya akan air.

Petani merupakan satu dari sedikit profesi yang dapat diwariskan secara turun temurun dan menjanjikan potensi pendapatan yang baik. Dengan catatan mempunyai kesanggupan untuk berani berbeda seperti yang dilakukan Jandai. Kerja cukup 2 bulan (secara akumulasi), ditambah 15 menit untuk memelihara kebun dan ikan setiap hari.

Sementara IPB, kampus yang diharapkan mampu mencetak sarjana pertanian yang handal dan lebih mumpuni daripada Jendai justru kerap mengundang seloroh. Sejak lama atribusi yang dilekatkan pada IPB adalah Institut Perbankan Bogor. Beberapa waktu lalu Jokowi juga menegaskan soal kecenderungan banyak alumni kampus tersebut yang bekerja di luar pertanian.

Contoh pekerjaan lain? Wiraswasta.

Ada satu teman kuliah di fakultas ekonomi UGM yang lulus tahun 2001, dan Indonesia belum pulih benar sejak terjangan krisis moneter 1998. Begitu lulus, harapannya untuk terlepas dari kemiskinan yang digaungkan sejak sebelum kuliah seakan sirna. Selama satu tahun lebih dia terpaksa menjalani hidup kerja di bengkel tambal ban.

Jangan bayangkan perihnya tidur di bengkel kecil di pinggir jalan Kalimalang, Jakarta Timur dimana debu dan asap knalpot berebut menghajar dari hidung hingga rongga dadanya sepanjang tahun. Kalian sarjana milenial belum tentu kuat. Seperti halnya Jandai, dia sepertinya akan takluk dengan mudah dan menjadi orang kalah di ibu kota.

Jika Jandai pulang ke Chiang Mai untuk bercocok tanam. Ucok, anak Tebing Tinggi yang punya cita-cita lepas dari jerat kemiskinan tersebut bangkit melawan sekuat yang dia bisa. Benturan dan kerasnya hidup yang dia sangga menjadi bahan bakar untuk membangun usaha ekspedisi yang terus membesar. Bagi orang yang tidak mengenal perjuangannya, besarnya usaha yang dimilikinya sekarang hanyalah keberuntungan.

“Keberuntungan nenek, lu!”

Boleh saja orang mempunyai mimpi mempunyai imperium bisnis, membangun perusahaan startup, sociopreneur, youtuber, dan selebgram. Ingat, tetap harus realistis. Pemilik perusahaan startup tidak banyak, dari satu juta orang berusaha menjadi youtuber hanya satu dua saja yang berhasil. Oh yang penting kerja keras! Emang mau sekeras apa?

Menurut Pak Tani tersebut, bagaimana bisa saat lulusan universitas begitu banyak justru kehidupan semakin bertambah sulit? Apakah kalian merasakan hal yang sama? Satu posisi tertentu di dunia kerja dijadikan rebutan banyak orang dengan berbagai persyaratan yang ketat?

Dalam pemahaman Jandai, hal tersebut merupakan bentuk kemunduran. Masyarakat mengalami pergeseran dari masyarakat yang beradab menjadi tak beradab. Kondisi tersebut salah dan sama sekali tidak normal. Manusia seharusnya tak berbeda jauh seperti binatang kalau menyangkut rumah: Burung membuat sarang dalam waktu satu dampai dua hari. Tikus membuat lubang untuk sarangnya dalam waktu satu malam.

Berapa waktu yang dibutuhkan manusia milenial? Seharusnya cukup 3 bulan saja. Bukan tergantung jangka waktu KPR. Itu sih bisa 25 tahun. Seumur hidup nyicil terus!

Itu kalau kita mau bicara work-life balance khas milenial… uang terkumpul cepat, tabungan jalan terus, waktu pun semakin luang!

Exit mobile version