Pedoman Menabung Bagi Milenial Yang Pengin Jadi Haji di Masa Depan

Pedoman Menabung Bagi Milenial Yang Pengin Jadi Haji di Masa Depan

Pedoman Menabung Bagi Milenial Yang Pengin Jadi Haji di Masa Depan

MOJOK.COHalo, Milenial! Sudah pernah memikirkan kapan berencana untuk melakukan ibadah haji? Kalau belum, Om Haryo akan memberikan pencerahan kepada kita mengapa sebaiknya kita harus mulai menabung untuk mempersiapkan haji dari sekarang.

Selamat pagi Celengers,

Seberapa ingin sih kalian naik haji? Begitu lulus sekolah/kuliah, saat mulai bekerja, sedang di puncak karir, atau saat sudah tua? Kalau kita melihat profil jamaah haji Indonesia, ternyata memang didominasi para orang tua. Dari data tahun 2017, diketahui jika sekitar 63% jamaah berusia di atas 51 tahun, dengan jumlah terbesar di kelompok usia 51-60 tahun.

Sementara di kelompok usia pembaca mojok, usia 21 tahun hingga 40 tahun, hanya sekitar 11% saja. Apakah ibadah haji merupakan titik kulminasi setelah kaum muda Indonesia seperti kalian lelah mereguk kenikmatan duniawi? Hmm… sebentar, ternyata Om juga belum pergi haji. Ya tapi kan setidaknya sudah mendaftar.

Ibadah haji, selain berbicara kesanggupan dana, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Kesiapan dan kesanggupan secara fisik. Niat saja tidak cukup, fisik prima selagi muda lebih disarankan untuk dapat menjalani semua rangkaian ibadah haji. Jadi terlalu sering menunda pendaftaran tidaklah bijaksana

Kapan sebaiknya bala celengers mulai memikirkan atau bahkan mendaftarkan haji?

Begitu Om lulus kuliah dan mencari kerja, berkembang satu informasi dari mulut ke mulut tentang pertanyaan penting saat interview kerja. Dua pertanyaan kunci untuk menguji seberapa greget visi dan misi kita dalam memacu diri. Mengapa muncul pertanyaan itu? Pemberi kerja ingin menyaring orang yang mampu unjuk performa untuk mencapai tujuan yang berbanding lurus dengan kemajuan perusahaan.

Oke, sip. Jadi pertanyaan pentingnya itu apa yak?

Pertama, biasa dalam wawancara awal, pemberi kerja akan menanyakan ini setelah salaman dan basa-basi. “Sekarang, ceritakan tentang diri anda”.

Saat mendapatkan pertanyaan tersebut si pencari kerja akan dilihat kepercayaan dirinya dalam “menjual diri”. Bagaimana prestasi secara akademis, apa saja pencapaian saat sekolah, kegiatan positif apa saja yang dapat menunjukkan apakah kita orang yang mudah bekerja sama dalam satu tim atau tidak, juga kemampuan kita dalam menyampaikan informasi, nyambung atau malah nyandung.

Itu kesempatan terbaik untuk menunjukkan kemampuan kita agar menjadi asset terpenting di perusahaan yang kita lamar. Jangan malah kemudian terjebak menceritakan masalah pribadi dengan harapan mendapat belas kasihan. Itu tidak berlaku di perusahaan yang mengandalkan profit untuk mempertahankan hidup.

“Pak, saya ini berasal dari keluarga petani. Itu pun petani dengan lahan sempit. Panen musim kemarin hasilnya tidak baik, kami kalah dengan wereng dan tikus. Sedangkan tahun ini harganya patokan pemerintah belum cukup membuat kami sejahtera. Padahal orang tua saya sudah sejak lama memimpikan pergi haji. Dan kalau itu terjadi, saya harus mengantarkan juga ke tanah suci. Besar harapan saya untuk dapat diterima di perusahaan ini. Sekian, wassalam”

Setelah cerita semi pidato, terengah-engah dan minta minum. “Maaf, Pak, Bu, Saya terlalu bersemangat”

Untuk acara kontestasi di TV yang mengharapkan kemurahan vote dari pemirsa, hal tersebut akan mendatangkan gelombang simpati. Tetapi untuk pemberi kerja, hal-hal seperti itu tidak bakal dianggap. Ya iyalah, perusahaan akan lebih memilih mempekerjakan orang yang dapat menguntungkan perusahaan.

Kedua, pertanyaan yang juga menjadi favorit dari pemberi kerja. “Apa rencanamu dalam 5 tahun mendatang?”

Ini bukan ajang bagi kita untuk menunjukkan segala kebutuhan kita yang terpendam selama ini. Tetapi untuk menunjukkan rasa antusias kita yang sejalan dengan rencana-rencana perusahaan. Bahwa kita memiliki memiliki rencana-rencana tertentu, kemukakan sepanjang itu terkait dengan bidang yang kita kuasai. Bukan membicarakan keinginan terpendam.

“Pak, dalam 5 tahun mendatang saya ingin menggusur, eh, menggantikan posisi Bapak sebagai pimpinan perusahaan. Punya istri secantik/seganteng artis sinetron yang belum terkenal, juga punya rumah di kawasan menengah atas di Jakarta Selatan. Itu penting agar saya merasa pantas kalo ngenggres gado-gado. Last but not least, di tahun ke 5 saya pilgrimage to mecca dengan haji khusus atau yang biasa disebut ONH Plus.”

Ya itu hak kalian seumpama akan mengeluarkan jawaban dramatis seperti itu. Tapi sesungguhnya itu bukan jawaban yang diinginkan perusahaan pada umumnya. Sedikit saja hal positif yang akan membuat perusahaan merasa mempunyai ketertarikan untuk mempekerjakan kalian. Bukan soal haji, bukan soal menginginkan posisi pemimpin, juga bukan soal ingin punya istri atau suami seperti artis sinetron yang belum terkenal. Tetapi soal tujuan profesionalisme kita yang bermasalah.

Dari awal tulisan, Om menyinggung soal haji sebenarnya bukan tanpa maksud. Jika kita berhasil mendapatkan pekerjaan bagus, setidaknya itu akan membawa pengaruh positif terhadap kemampuan finansial kita untuk mendukung ibadah kita.

Namun demikian, ada satu fakta menarik yang selama ini jarang kita simak, terutama profil pendidikan jamaah haji dan profil pekerjaan jamaah haji dari Indonesia. Adakah korelasi antara keinginan menunaikan haji dengan tingkat pendidikan?

Berdasarkan data dari Kementerian agama. Lulusan SD/MI persentasenya paling tinggi, sebesar 34,7 persen atau sebanyak 67.617 orang. Selanjutnya lulusan SMA sebesar 24% atau setara dengan 48.838 orang. Kemudian di tingkat sarjana, ya, sederajat dengan pendidikan kelompok  pembaca terbesar mojok sebesar 21% atau sejumlah 41.778 orang.

Apa sebenarnya yang mendasari sarjana seperti kalian tidak seagamis lulusan SD yang begitu bersemangat dalam ibadah? Apakah karena seorang sarjana mempunyai kecenderungan merasa sayang seumpama uang tabungan digunakan untuk berhaji? Hahaha.

Itu baru bicara tingkat pendidikan jamaah haji, dimana lulusan universitas bergelar sarjana ternyata bukan merupakan kelompok  yang terbesar. Bagaimana dengan profil jamaah haji berdasarkan pekerjaan?

Profesi Ibu rumah tangga ternyata mencatatkan diri sebagai kelompok yang terbanyak, sebesar 28 persen atau sebanyak 56.990 orang. Selanjutnya berturut-turut pekerja swasta sebesar 22% atau 44.398 orang, PNS 21% (42.417 orang), dan petani/nelayan 13% (16.221 orang). Sebanyak 16% lainnya berprofesi pedagang, pensiunan, pegawai BUMN, TNI dan lainnya.

Bagaimana kita membaca data tersebut? Apakah bagi perempuan akan lebih baik kalau jadi ibu rumah tangga saja daripada repot-repot menabung? Apakah lebih baik baik menjadi pegawai swasta daripada PNS? Apakah lebih baik menjadi PNS daripada menjadi Petani?

Data tersebut tentu saja sangat wajar dan jauh dari unsur manipulatif. Seorang ibu rumah tangga pasti dibiayai oleh suami atau anaknya yang bekerja menjadi pekerja swasta, PNS, dan lainnya. Sedangkan psikologi orang pada umumnya cenderung akan menunda kalau tidak berangkat sekalian dengan pasangannya.

Sekarang, bagaimana celengers milenial perlu bersiasat agar dapat melaksanakan ibadah haji?

Menentukan pilihan biaya: haji reguler vs haji khusus

Naik haji bagi milenial itu mudah, lha wong tinggal jual asset orang tua. Betul nggak? Mikirnya itu yang strategis saja. Tidak perlu mikirin jenis hajinya apa, biayanya berapa. Asal ada niat, langsung jual pekarangan orang tua. Biaya haji dapat, sisanya masih bisa untuk beli Kawasaki Ninja 250.

Wah ya jangan durhaka begitu. Orang kok seneng jual-jual asset. Ya, kecuali memang assetnya tidak habis dimakan 7 turunan 7 tanjakan dan 7 pemberhentian.

Untuk haji reguler, asalkan sudah mempunyai uang 25 juta rupiah sebenarnya mudah saja. Segera pergi ke bank untuk buka tabungan haji. Kemudian pergi ke kantor kementerian agama kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor porsi. Done, tinggal tunggu 25 tahun lagi atau 30 tahun lagi, bhuaaa.

“Ditempatku itu waktu tunggunya 30 tahun, Om. Kalau aku daftar sekarang, baru umur 63 tahun aku berangkat. Kalau aku masih fit nggak masalah, lha kalau sudah lemes?”

Itu kata teman Om, seorang perempuan pengusaha ternama dari Kabupaten Pati, Nia Raimudidoni.

“Lho ya udah ikut haji khusus saja, waktu tunggunya kan 5 tahun, biayanya juga ringan untuk kelas pengusaha. Cuma 150 juta saja. Atau mau yang plus plus, 300 juta berangkat di tahun yang sama?”

“Wohhh 150 juta kok cuma. Lha ya kalau segitu mending untuk membesarkan usaha ikan asapku”

Menabung

Ini cara paling konvensional, aman, moderat dan rasional. Masalahnya, kita harus membuat perancanaan keuangan berdasarkan jumlah pendapatan dan skala prioritas. Mana yang akan didahulukan, rumah, naik haji atau naik ninja? Formula amannya, keluarkan 30% dari pendapatan kita untuk ditabung.

Katakanlah untuk jenis haji reguler, kita batasi saja sebelum 2 tahun sudah mampu menabung 25 juta, khusus untuk haji. Kalau kita berangkat dari embarkasi dimana waktu tunggunya 25 tahun, artinya baru di tahun ke 27 kita berangkat. Loh siapa tau nasib orang beruntung, di tahun kedua ada lonjakan pendapatan karena karir mencorong atau diterima kerja di tempat bagus.  Dari rencana semula haji reguler menjadi khusus.

Kecepatan menabung tiap orang tentu tergantung besaran pendapatan.  Kalau kemampuan menabungnya bisa sampai 70 juta dalam 2 tahun khusus untuk tabungan haji saja, berarti kita layak untuk mengikuti haji khusus. Eit, ingat. Masak mau berangkat sendiri, Pak Haji? Calon Bu Haji yang sekarang masih tahap pendekatan nggak diajak? Yakin?

Gimana nih, bala celenger? Pilih naik haji atau naik ninja? Serius dong ah..

Exit mobile version