Pedoman Keuangan Bagi Milenial Yang Sudah Ngebet Nikah

MOJOK.CO – Sudah masuk bulan Zulhijah, artinya apa? Ya, banyak undangan nikah! Om Haryo kali ini memberikan pedoman mengenai apa saja yang harus dipikirkan Milenial ketika membicarakan pernikahan.

Suka atau tidak kita hidup di tengah masyarakat yang begitu gemar dan iseng menanyakan urusan pribadi. Serius, kita hidup di alam yang tidak mengijinkan kita untuk tenang-tenang saja atas serangkaian keputusan yang kita ambil. Saat menghadiri acara pernikahan sementara kita belum menikah, maka kita akan dihantam dengan pertanyaan ala Bung Jebret oleh sekian orang.

“Kamu kapan?”

Emang salah kalau memutuskan belum atau bahkan tidak menikah? Begitu sudah menikah sekian lama, kita akan disergap dengan pertanyaan “wajar tanpa perasaan” yang tidak saja kurang elok tapi bisa jadi sangat menyiksa.

“Anakmu sudah berapa?”

Kita memang seperti sudah pasrah dan membiasakan diri menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang secara adab tidak saja kurang baik tetapi juga sebenarnya tidak perlu. Kecuali kita memang sengaja melibatkan orang lain dan menghendaki solusi dari satu pembicaraan. Itu lain soal.

Kalau minggu kemarin kita membahas keutamaan secara religi dan ekonomi  untuk berkurban hewan ternak. Maka seminggu sesudahnya dapat dimaknai sebagai musim pernikahan. Indikasinya jelas, banyak undangan teronggok yang membuat detak jantung kita berdetak lebih kencang. Bukan karena ada nama mantan di undangan tersebut tetapi karena undangan sama artinya dengan pengeluaran!

Kebiasaan menikah di bulan Zulhijah (menurut kalender islam) di beberapa daerah di Indonesia masih lestari. Satu bulan yang diyakini paling baik untuk mengadakan pesta pernikahan tersebut telanjur membudaya. Walaupun tidak sedikit orang berpandangan modern yang lebih memilih menikah di musim liburan.

Tapi benarkah ini bulan paling baik untuk menyelenggarakan pernikahan? Dari sudut pandang ekonomi dapat dibenarkan. Di bulan-bulan ini hampir semua aspek pendukung acara pernikahan berputar. Persewaan busana pengantin hingga persewaan gedung, tukang masak hingga tukang rias, dan dari usaha pembuatan souvenir hingga usaha catering mendapatkan momentumnya.

Tentu saja itu di luar “jerat budaya 3N”, Nikah-Ngundang-Nyumbang. Satu pihak repot menyelenggarakan pernikahan, kemudian mereka mengundang pihak lain untuk juga “ikut repot” tidak saja dalam bentuk meluangkan waktu menghadiri pernikahan tersebut, tetapi juga memberikan uang sejumlah tertentu sebagai sumbangan.

Jadi tidak ada salahnya kalau minggu ini kita perlu membahas soal pernikahan. Ruang lingkupnya kita batasi biaya dan waktu pelaksanaan. Di dalam penjelasan singkat nanti kita tidak perlu membahas pernikahan secara fiqih. Selain Om tidak mampu menyampaikan karena keterbatasan ilmu, forum ini bersifat universal.

Beberapa “pertanyaan terhadap diri sendiri” yang lumayan sering menyergap kalian di bawah ini akan membantu dalam memahami dimensi pernikahan dari sudut pandang kesiapan sampai dengan pelaksanaan.

Bagaimana perasaaan kalian saat menghadiri pernikahan saudara yang umurnya tidak terpaut jauh? Om yakin jawaban kalian, “Namanya juga jodoh, Om. Sedekat apa pun hubungan kita dengan pacar, sekuat apa pun kekuatan finansial kita, kalau belum waktunya ya tidak bisa dipercepat.”

Satu jawaban yang trengginas, sungguh dewasa, diplomatis dan cenderung ingin menunda.

Juga saat muncul pertanyaan di kepala saat menghadiri teman kuliah seangkatan atau bahkan adik kelas. Om yakin jawaban kalian tidak akan mleset dari seputaran hal ini.

“Namanya juga jodoh, Om. Pinginnya sih cepet dan nggak menunda lagi. Tapi gimana lagi, ini pekerjaan juga belum mantap karena baru aja pindah, masih probation. Belum tabungan yang kek nggak ngumpul-ngumpul, ada aja kebutuhan yang nggak sopan banget dan tidak terkendali.”

Ohhh ya ya ya… Om pernah muda, pernah mengalami hal seperti itu juga. Tapi kalau pacar sudah ada kan?

“Nah, itu dia masalahnya, Om. Baru bulan lalu minta putus.”

Jadi memang sudah dapat dipastikan. Selain karena belum ada pasangan, faktor penghambat utama untuk segera melangsungkan pernikahan tetaplah masalah klasik, soal biaya. Benar ada kata bijak “rejeki sudah ada yang mengatur”, tetapi selama format acara pernikahan kita masih seperti praktek umum selama ini maka biaya menjadi satu hal mutlak untuk dipertimbangkan sejak awal.

Ada satu pertanyaan filosofis yang penting kita ajukan terkait pernikahan, “sudahkan kalian dengan pasangan membicarakan kebutuhan untuk menikah?”

Dulu sempat berpikir, anak muda yang 10-15 tahun di bawah Om, usia-rata-rata menikah saat ini, akan melakukan perlawanan terhadap budaya tersebut. Perlawanan terhadap budaya yang tidak produktif dan juga tidak berorientasi pada kebutuhan sebenarnya.

Bentuknya konkritnya?

Undangan nikah hanya dibagikan ke sejumlah teman dan kerabat secara terbatas, cukup dibatasi 50-100 orang. Tapi dugaan saya mleset. Budaya andrawinan dengan menyewa gedung berkapasitas besar tersebut masih lestari. Pesta pernikahan merupakan cara orang tua mengundang orang tua lain (kerabat kolega ortu). Sementara undangan anaknya tidak pernah lebih dari 25%, walaupun membiayai pernikahannya sendiri.

Berapa sih biaya menikah saat ini?

Dulu mahal, sekarang pun mahal kalau formatnya menikah di gedung. Paling tidak anggaran untuk satu piring nasi berisi lauk standar sebesar 50 ribu, nggak cukup itu doang kan? Kita masih harus pesan menu tambahan dalam bentuk saung-saung dari empal gentong hingga kambing guling, dari siomay hingga samsung, eh bakso. Sate belum disebut tuh. Masa nikah di gedung cuma nasi rames, tega?

Minum juga ngga cukup air putih saja, dari syrup hingga cola. Itu belum buah, es krim dan pudingnya. Tega membiarkan tamunya pulang tanpa menyantap dessert? 250 undangan saja 100 juta masih kurang, mengingat masih banyak biaya yang belum kita hitung. Kecuali kalian percaya diri tidak pakai juru rias, cukup bedakan sendiri. Cukup pakai ponsel siomay tanpa menggunakan jasa fotografer professional.

Itu masih menggunakan hitungan moderat dan membatasi jumlah undangan.

Di saat Om menikah, terobosan penting yang dilakukan saat itu ialah keberanian untuk tidak mencantumkan gambar celengan. Itu masa peralihan pola pikir dari datang saja sudah bersyukur-membawa kado lebih baik-kalau bisa uang saja. Ekonomi uang memang membuat rasa malu kita semakin tipis.

Tidak jarang di banyak acara pesta pernikahan, saat kita sedikit saja terlambat datang hidangan sudah porak poranda. Ini bukan perkara tamunya mbladog, seneng makan atau bukan. Tetapi karena terlalu banyak orang yang berpikir ekonomis, alias ngirit. Adab memuliakan tamu menjadi terasa kurang. Itu yang jarang dipikirkan para makhluk ekonomi pemuja pesta tapi nanggung.

Hukum besi dari pesta pernikahan itu kelimpahan makanan! Serius, orang boleh nganga kita menyelenggarakannya di gedung mentereng bertarif mahal. Orang pun boleh takjub pengantin perempuannya maju mundur syantik kaya si inces, sementara pengantin lakinya menggunakan busana adat basahan yang menunjukkan perutnya yang sick pack.

Tapi kalau empal gentongnya tinggal kuah dan bekas perasan jeruk nipis, sate tinggal lontong, bakso tinggal tinggal sledrinya. Sementara pesta baru akan selesai 1 jam lagi, hih… itu selain meninggalkan kenangan buruk juga bisa masuk majalah hidayah. Azab bagi penyelenggara pesta pernikahan yang ngirit.

Generasi millennial harusnya dapat menjadi pembeda. Cukup adakan acara yang ringkas baik tempat, jumlah undangan maupun biaya. Kebaruan jangan cuma diwakili satu sentuhan instagramable dan gebyar foto-foto prewed yang mempesona. Sementara format acara masih menggunakan cara lama. Akan lebih bermanfaat kalau sebelum menikah sudah mengadakan pembicaraan serius pengaturan cash flow. Uang siapa yang akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kredit rumah, kendaraan dan seterusnya. Bukan habis-habisan membicarakan acara satu hari yang senilai sekian persen harga rumah atau kendaraan.

Menikah itu hak, mengundang kewajiban orang tua. Itu pakem yang dipegang teguh generasi baby boomer yang ternyata masih mencengkeram generasi milenial hingga saa ini! Padahal hidup sebenar benarnya hidup itu justru setelah pesta pernikahan. Mana ada yang mengingat pesta pernikahan kita ada hidangan kambing guling dan kemewahan lain?

Tidak masalah kalau uang yang kalian peroleh melalui kerja bagai kuda akan dipertaruhkan hingga hampa untuk menjadi raja dan ratu sehari. Itu pilihan, juga termasuk jika menambah utang untuk mendongkrak kemewahan. Tapi ingat pesen, Om. Jangan sampe pas Om datang ke pernikahan kalian terlambat 30 menit saja sotonya tinggal kuah, es krimnya tinggal sendok kayunya. Ingat soal majalah Hidayah tadi.

Exit mobile version