Menabung Untuk Kehidupan Pasca Pernikahan, Bukan Untuk Pesta Pernikahan

biaya pernikahan pesta pernikahan

MOJOK.CODi zaman sekarang, menikah udah nggak cukup cuman modal cinta, butuh yang namanya uang uang uang. Makanya, kalau nggak punya uang harus nabung, nabung, nabung. Masalahnya, kebanyakan orang lebih memilih menabung untuk biaya pesta pernikahan, dihabiskan, lalu lupa bahwa kehidupan sebenarnya dimulai pasca pernikahan itu sendiri.

Sahabat celenger yang ragu-ragu menikah hanya karena nggak punya tabungan,

Era teknologi seperti sekarang ini, disadari atau tidak, sering menimbulkan banyak ketakutan yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat.

Anak muda di zaman saya–dua dekade silam–nggak pernah mempunyai ketakutan baterai gawainya habis, followernya nggak kunjung bertambah, apalagi merasa resah karena belum tahu Young Lex lagi makan pecel atau jajan mie ayam di video youtube terbarunya.

Ketakutan yang tidak memandang generasi baru dimulai begitu masa kuliah mereka mulai molor, gairah duduk di bangku kuliah semakin surut, sudah begitu kok rasa-rasanya tipis kesempatan mendapat pendamping wisuda. Mikir gitu nggak kalian?

Tapi, Itu belum seberapa. Begitu lulus kuliah–atau bagi yang tidak kuliah, beberapa tahun kemudian setelah lulus SMA–kita mulai diminta untuk menghadiri pernikahan teman sebaya. Bukan soal iri, hanya deg-degan. Kok bisa undangan bertubi-tubi datang, sementara kita pacar pun tak ada? *mengelap air mata*

Yang lebih menyeramkan lagi, beberapa tahun kemudian, setelah punya kerjaan, sudah ada pacar. Tapi tak juga kunjung menikah. Pertanyaan paling menakutkan yang sebisa mungkin dihindari mulai menyerbu dari berbagai arah, “kapan menikah, nunggu apalagi?”.

Masih mending kalau yang bertanya teman atau saudara. Tidak sulit untuk mengelak dengan mengerahkan satu atau dua jurus. Bayangkan saja kalau yang bertanya orang tua kita. Om kasih tahu, model pertanyaan seperti itu tidak hanya sering muncul di sinetron, tetapi juga di kehidupan nyata.

“Nak, nggak capek kerja terus bagai kuda? Ibu dan Bapak sudah pingin momong cucu, loh. Rumah ini jadi terlalu besar setiap lebaran tiba. Sepi tidak ada celoteh anak.”

*mengangis di pojokan*

Menikah, membangun rumah tangga, membangun rumah beneran, mempunyai kendaraan, dan akhirnya mempunyai anak. Secara konsep tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tetapi ketakutan yang dihadapi rupanya sangat jauh berbeda.

Orang tua pun jenisnya macam-macam. Ada yang menyukai seremonial pesta pernikahan yang dirayakan, ada yang menghendaki calon menantunya memberikan uang panaik dalam besaran tertentu, ada juga tipikal yang penting sah. Sederhana, cukup ke KUA, habis itu sewa gedung! Hahaha jadinya sama saja.

Suka tidak suka, salah satu keputusan terpenting dalam kehidupan manusia–menikah–seringkali lebih didorong oleh konsensus yang berlaku di masyarakat tradisional. Sudah dapat pekerjaan, diharuskan menikah. Usia menjelang usia 30 tahun, dihadang dengan pernyataan jangan sampai lupa menikah.

Jangan tersinggung kalau dikatakan tradisional dalam pemikiran soal pernikahan. Menikah memang baik dan perlu. Tetapi, tidak seharusnya menjadikan orang merasa terbebani dengan kewajiban yang memberatkan.

Kita jelas hidup di dalam tataran masyarakat tradisional itu. Mau tidak mau harus siap dibenturkan dengan fakta bahwa pernikahan merupakan peristiwa yang sejatinya lebih kental nuansa ekonominya daripada psikologi.

Kalau mau diperjelas lagi, meskipun menikah adalah kewajiban agama dan atau kebutuhan biologi, menikah menimbulkan konsekuensi secara ekonomi. Jer Basuki Mawa Bea membutuhkan pengorbanan, bro. Cinta saja tidak cukup, ongkos tetap harus keluar.

Malu kalau menikah tidak menyelenggarakan pesta pernikahan, malu kalau menikah hanya mengundang kerabat saja, malu kalau berani menikah hanya mengandalkan cinta. Pokoknya malu belum punya cukup materi sudah berani menikah.

Sahabat celenger yang sudah capek nabung tapi bocor terus,

Dalam satu materi bercandaan yang sungguh gelap dan rawan diceramahi agamawan selama sisa hidup kita. Pernikahan tidaklah berbeda dengan perjudian–yang tidak saja didukung oleh keluarga, tetapi juga agama dan negara turut menganjurkan. Iya kalau bahagia, kalau malah menjadikan kita mengilhami banyak seri sinetron khusus azab?

Belum selesai memikirkan biaya jika kita meminang seorang perempuan. Ketakutan sudah menjalar lagi ke persoalan yang semakin dalam. Hidup tidak dimulai dengan kesanggupan kita membayar mas kawin dan juga catering di pesta pernikahan.

Hidup sebenarnya dimulai pagi begitu bangun tidur setelah malam pertama. Ya, pasca pernikahan!

Dari semula cukup ngekos harus memikirkan setidaknya rumah petak. Dari semula cukup makan indomie kalau lapar, harus memikirkan istri yang menganut paham ketoisme. Ketoknya (kelihatannya) diet padahal tidak. Kehidupan pasca pernikahan keras, bung!

Duwit duwit duwit. Adakah orang menikah berdasarkan cinta di zaman modern ini? Kalau zaman Gajah Mada mah enteng aja. Bioskop tidak ada, sekolah tidak ada, warung mie ayam apalagi. Mau indehoy cukup di bawah pohon randu atau beringin kalau sedang rindu kesurupan.

Kalau mau sedikit mewah bawa panah cari kelinci untuk dibakar. Buah pun melimpah, dari ciplukan sampai rambutan tinggal petik. Bebas, nikmat dan nggak banyak pikiran.

Itu saat peradaban belum sematerialistis sekarang, di mana uang adalah panglima, sementara kita adalah hulu balangnya. Tapi lebih sering merangkap budaknya. Getir memang tapi begitulah memang bekerjanya ekonomi uang.

Tidak banyak orang yang seberuntung saya bahwa menikah itu modalnya cuma cinta, bukan uang. Belasan tahun lalu seorang perempuan, sekarang sudah jadi istri, yang sudah punya jalur karir baik meminta untuk dinikahi. Sementara kondisi saya saat itu tengah terpuruk, belum lama kehilangan pekerjaan.

Jangankan tabungan, pekerjaan pengganti pun belum saya dapatkan. Tetapi kami, tepatnya dia sih, percaya bahwa cinta merupakan bahan bakar terbaik untuk menghidupkan perekonomian rumah tangga pasca pernikahan.

Itu sekedar contoh kasus. Di Indonesia, umumnya tetap kita harus secara khusus mempersiapkan tabungan sebelum menikah. Bukan untuk dihabiskan saat pesta pernikahan yang mana kita merajakan diri sebagai pengantin. Tetapi untuk mempersiapkan kehidupan “sehari setelah pesta”, Kehidupan pasca pernikahan.

Pertama harus memastikan ada dana untuk kepemilikan rumah. Kredit atau tunai tergantung kekuatan masing-masing dalam mewujudkan rumah impian. Umumnya keluarga muda, tentu saja mengambil KPR. Syukur-syukur sudah dipersiapkan oleh orang tua.

Pengeluaran yang sudah harus disiapkan setelahnya adalah biaya pendidikan anak. Besaran kenaikan inflasi pendidikan jauh melampaui inflasi kebutuhan akan sandang maupun pangan.

Berapa nilai untuk masing-masing pengeluaran tersebut?

Itulah peliknya menabung. Bagi kalian yang masih gajian, 40% penghasilan biasanya habis untuk pengeluaran rutin. Bisa jadi lebih untuk yang besaran gaji atau upahnya masih setara upah minimum yang ditetapkan pengusaha dan pemerintah. Sangat mungkin seluruh penghasilannya habis di bulan itu.

Loh, kalau habis semua, jadi kapan nikahnya dong?

Loh ya kalau sudah ada calonnya disegerakan saja, daripada dia berubah pikiran. Kita tidak akan pernah merasa siap kalau terlalu berhitung. Rejeki itu misterius, dimakan sendiri kurang, dimakan berdua malah tambah banyak. Banyak contoh bagaimana orang menjadi tambah sejahtera setelah menikah. Sumber ekonomi bertambah, semangat membaja, lembur tambah kayak kuda.

Mumpung musim hujan, harga bumbu terhitung murah, mari kita menikah. Ingat, uang tabungan gunakan untuk kehidupan pasca pernikahan. Wah nggak boleh seneng-seneng pas pesta pernikahannya dong? Loh ya ditunda lagi nikahnya kalau masih pengin bebas…

Exit mobile version