Milenial Tanpa ATM Bukanlah Dosa, Tapi Masa Sih Hari Gini Nggak Punya ATM?

Tanya

Teruntuk Om Haryo yang peduli sama mahasiswa berkantong pas-pasan.

Pertama-tama izinkan saya berkenalan dengan memberikan deskripsi diri. Berikut gambaran betapa pas-pasannya hidup saya Om Har:

  1. Sehari makan dua kali dengan mengeliminasi sarapan (kecuali kalau pas ujian matakuliah di pagi hari, terpaksa saya harus sarapan biar lancar mikirnya). Untuk tiap kali makan saya biasa menghabiskan uang antara 5.000 sampai 10.000. Paling sering habis 6.000 untuk sebungkus nasi telor racikan warung burjo.
  2. Setiap bulan, saya mendapat jatah 800.000 dari Romo dan Biyung saya. Dan Alhamdulillah selalu cukup, bahkan sisa untuk mengarungi kegiatan keseharian sebagai mahasiswa semi-aktivis.

Selain itu, jarak rumah ke kos-kosan saya relatif dekat. Hanya sekitar 1 jam ditempuh naik motor dengan nyantai. Sehingga sampai sekarang saya nggak pakai ATM atau rekening untuk minta jatah bulanan, cukup pulang sekaligus menengok keadaan Romo dan Biyung.

Seiring berjalannya kebutuhan saya terhadap rekening kian meningkat. Misalnya kemarin sebelum lebaran ketika artikel saya tembus salah satu media onlen dan saya (harusnya) berhak atas uang 50.000. Tapi uang itu gagal saya terima. Kata Mas-mas pimrednya sih: “Harus rekening pribadi mas!”. Gitu jal! Asem kok! Masnya tadi menolak mentah-mentah untuk transfer ke nomer rekening sahabat saya. Entah dalih atau lantaran khawatir salah kirim. Yang jelas alasan itu nggak akan terjadi kalau saya punya nomer rekening pribadi.

Nah, kemarin teman saya nawarin pembuatan rekening secara gratis alias tanpa saldo minimal. Itupun dapat voucher onlen shop ternama pula sebanyak 400.000. Kurang maknyuss apa coba?

Tapi saya kan minim literasi perbankan. Takut kalau itu bermasalah. Baiknya gimana om haryo? Ini saya kasih lihat ATMnya temenku.

Yang ingin saya tanyakan adalah:

  1. Menurut om Haryo saya perlu ga sih punya ATM?
  2. Kalau perlu, kira-kira bermasalah nggak kalau pakai ATM itu?
  3. Kalau misal nggak bermasalah sumber dananya dari mana ya Om? Kok bisa-bisanya ngasih promo seyahud itu?

Sekian Om Haryo. Semoga penjelasan saya yang panjang nggak membingungkan. Terimakasih

Jawab

Hidup Mahasiswa Indonesia!!

Duh maaf maaf nih, Om sebagai eksponen 98 yang haus pengakuan dan tidak terafiliasi dengan kelompok mana pun kerap larut jika mendengar kata mahasiswa. Romantisme ala mahasiswa cukup membetot perasaan Om sampai ke titik terendah. Tidak heran begitu mendapatkankan surat dari mahasiswa, hal yang terpikir oleh Om cuma dua, kalau tidak terbelit masalah keuangan pasti terbelit masalah percintaan yang dangkal dan mengharu biru, selaras keadaan isi dompetnya.

Begini Mas Mahasiswa di universitas terkemuka di kota Y yang mengaku berkantong pas-pasan tapi kebelet belanja di onlineshop. Tidak memiliki ATM memang bukanlah dosa, ketidakpunyaan uanglah sebenarnya yang sering menuntun ke perbuatan dosa. Saya hanya bisa berdoa, semoga yang dimaksud pas-pasan ialah pas butuh, pas ada. Perih kalau yang terjadi sebaliknya, pas butuh pelukan, kok ya pas tidak ada yang dipeluk.

Sekarang tahun 2018, masbroo, sebentar lagi 2019.  Bukan tentang tahun politik, tetapi tahun dimana kita sudah memasuki cashless society era. Tolong jangan diterjemahkan masyarakat tanpa uang uang tunai ya.  Tetapi masyarakat yang dalam melakukan pembayaran, sudah tidak lagi menggunakan uang kertas (tunai). Saat ini, hampir tidak ada lagi transaksi yang tidak dapat dilakukan secara elektronik. Mau nonton? gesek! Mau makan? gesek! Naik kereta? Gesek! Mau gesek? Idihhhh.

Bagi pengusaha, penggunaan uang elektronik (kartu debit) oleh konsumen memudahkan lalu lintas pembayarannya. Mereka tidak perlu lagi repot-repot setor ke bank, nyaman dan aman. Dari sisi mahasiswa sebagai konsumen, dompet bisa semakin tipis, cukup diwakili kartu ATM dan kartu mahasiswa. Eh, malah sekarang beberapa kampus sudah melakukan inovasi untuk semakin menipiskan dompet mahasiswa. Kartu mahasiswa yang terintegrasi dengan ATM.

Semakin mudah kan? Iya, kalau ada saldonya. Hidup tetaplah sulit kalau sekedar punya nomor rekening, ATM dari bank besar tetapi saldonya enggan saat ditarik.

Kenyamanan lain? Kalau pacar minta ditraktir belanja di marketplace seperti Bukasalak atau Tokonesiapa, top up (isi uang) ke akun kita akan lebih mudah jika kita mempunyai rekening sendiri. Tapi saran saya, kalau anda besok sudah punya rekening, pacar suruh bayar sendiri aja, Mas. Kasihan Bapak Ibu di rumah, turut membiayai anak orang lain tanpa mereka sadari. Ini bukan ngajari pelit, tapi memancing dia untuk minta dihalalin setelah lulus huehuehue.

Membaca surat dari anda, saya juga bangga, Mas. Kalau mengacu dari berita ekonomi beberapa waktu lalu soal garis kemiskinan, jelas pengeluaran anda berada di atas batas pengeluaran penduduk miskin yang ada di angka Rp 401.220. Anda baru dicap miskin kalau hidup di negara yang menggunakan standar pengeluaran penduduk miskin USD 1,9 (paritas daya beli) /hari. Untungnya hidup di Indonesia, negara yang melunakkan syarat seorang penduduk layak disebut miskin. Negeri dimana uang bulanan anda dapat untuk membiayai 2 penduduk miskin.

Ah sudahlah, sebelum dianggap politisasi, kita kembali lagi fokus ke soal keharusan mempunyai rekening.

“Apakah aman kalau kita menggunakan ATM dari bank penerbit (asing) tersebut?”

“Kemudian darimana sumber dana mereka kok berani memberikan penawaran buka rekening gratis, tanpa saldo minimal dan memberikan voucher belanja sekian ratus ribu di onlineshop?”

Tentu saja aman. Operasional semua bank di Indonesia, lokal maupun asing diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, banyak persyaratan yang harus dipenuhi lembaga yang menyelenggarakan jasa keuangan. Ini memang era persaingan bebas dimana batas-batas wilayah sudah bukan persoalan pokok lagi.

Ada beberapa hal yang membedakan praktik yang dijalankan lembaga perbankan satu dan lainnya. Paling pokok, beda skala usahanya, pasti beda strateginya. Hal lainnya?

Pertama, mendapatkan nasabah dengan tabungan kecil secara hitungan bisnis dalam jangka pendek jelas rugi. Itu untuk menjawab mengapa bank dengan jumlah nasabah besar jarang melakukan praktik tersebut. Mereka lebih concern untuk memelihara nasabah yang ada agar menambah dananya daripada menambah jumlah nasabah dengan cara tersebut di atas. Kalaupun menambah nasabah, mereka akan lebih mengutamakan mengakuisisi nasabah bank lain.

Bank relatif baru atau kecil dihadapkan pada beragam pilihan, menambah nasabah baru dari generasi milenial yang “rakus” belanja secara online hanya salah satu opsi saja. Di luar itu mereka tetap mengongkosi operasional mereka dari pendapatan lainnya, penyaluran kredit. Lagi pula tidak semua hal dimulai dari posisi untung, banyak nasabah yang awalnya gurem seiring dengan berjalannya waktu bisnisnya menggurita.

Kedua, bank memiliki alat ukur untuk menganalisis keuntungan per nasabah. Bagi bank, uang 800 ribu yang masbro setorkan tiap bulan, kalau dihitung dengan metode tersebut belum menguntungkan. Akibatnya jelas untuk anda, bunga yang diberikan (mengacu ke saldo terendah di periode tersebut) terpangkas habis untuk biaya administrasi atau malah nombok.

Jadi kalau dari bulan ke bulan saldo kita malah digerogoti biaya administrasi lebih baik tatuh dompet saja? Ingat bahwa salah satu ciri cashless society ialah tidak dapat lepas dari transaksi elektronik. Habit atau kebiasaan berbank ini tidak pernah goyah hanya karena alasan bunga atau biaya administrasi.

Kecuali kita menjadi nasabah kakap atau prioritas sebuah bank. Kita mempunyai kekuatan tawar untuk meminta bunga khusus, bahkan hadiah-hadiah tertentu jika kita mengendapkan sejumlah dana dengan besaran tertentu dan periode tertentu. Orang kaya sangat mengetahui hitungan tersebut, dalam industri perbankan merekalah rajanya.

Ketiga, dukungan layanan seperti jaringan ATM. Walaupun antar ATM beda bank sudah dapat saling sedot dan kirim uang dari kartu kita, tetap saja akan terkena biaya administrasi per transaksi. Kalau mas MN termasuk nasabah yang sensitif dengan biaya, faktor-faktor tersebut dapat menjadi pertimbangan sendiri. Apa gunanya tidak ada saldo minimal kalau nyari ATM-nya harus menghabiskan bensin setengki? Hiyyyy

Promo yang ditawarkan oleh bank dimaksud tentu sudah melewati banyak kajian. Misal, isi ulang (top up) di aplikasi nonton film sekian rupiah, dapat cash back 50 ribu. Belanja online sekian rupiah, dapat voucher (jika belanja lagi). Bagi orang yang peka terhadap selisih harga, promo seperti itu sangat menarik. Tetapi tidak cukup bagi orang yang menginginkan akses lebih luas. Psikologi pemasaran seperti itu yang dimainkan oleh bank tersebut. Acuannya jelas prinsip ekonomi, pengorbanan sejumlah tertentu untuk mendapatkan keuntungan tertentu”

Untuk penyeimbang, saya akan menceritakan aib saya sendiri. Beberapa tahun lalu, tidak banyak mahasiswa mempunyai ATM. Di fakultas saya sendiri, dalam satu angkatan mungkin tidak akan lebih dari 10 mahasiswa yang mempunyai. Itu fakultas ekonomi, tempat dimana literasi perbankannya seharusnya paling mencorong.

Rata-rata memang pikirannya seperti anda, untuk apa punya rekening? toh kiriman uang bisa lewat wesel (pos), atau kalau orang Y seperti saya tinggal minta orang tua, kurang-nambah-kurang-diomeli. Begitu lulus kuliah, kondisinya tidak bisa seperti itu. Kantor dimana mereka sudi mempekerjakan saya mensyaratkan untuk mempunyai rekening.

“Loh, Bu, apa tidak sebaiknya saya terima uangnya dalam bentuk amplopan saja atau kirim ke rekening orang tua?”, tanya saya sesaat setelah menandatangani offering letter.

Ibu itu berusaha tersenyum dalam kejengkelannya, “Pak, ini perusahaan besar yang sudah menggunakan standar akuntansi. Sistem penggajiannya pun sudah baku melalui bank yang kami tunjuk. Itu nyambung ke sistem-sistem yang lain. Dalam struktur gaji ada komponen gaji pokok, tunjangan, jaminan hari tua, asuransi dan seterusnya. Tidak seperti pengupahan pekerja harian”.

Tentu saja saya hanya bisa plongah plongoh.

Sejenak kemudian berpikir bahwa hidup kok jadi ribet begini. Padahal apa yang dijelaskan Bu Direktur itu sering saya baca, juga saya pelajari secara khusus. Apalagi saya berasal dari universitas top di negeri ini. Tetapi begitu mengalami sendiri, semua menjadi gelap. Lebih jahiliyahnya lagi, begitu saya mencoba mengeluarkan uang dari dispenser uang yang digeser Hulk pun susah. Saya gagal mengeluarkan pecahan 7.500 di menu penarikan dan mengisikan jumlah lain. Lambat menyadari kalau dispenser kurang ajar itu hanya mampu mengeluarkan pecahan 50 ribu.

Jiwa mantan mahasiswa yang masih menggelegak seperti mendorong untuk misuh sekuat-kuatnya sambil mengepalkan tinju ke udara, “kemajuan peradaban itu sungguh jancuk!

Untung segera sadar kalau yang jancuk itu nasabahnya, saya.

Saya kira ini dapat menjawab mengapa media tersebut tidak sudi mentransfer hak anda ke rekening orang lain. Bukan soal jumlahnya 50 ribu atau 50 juta, tetapi erat kaitannya dengan pertanggungjawaban keuangan perusahaan tersebut. Belum kalau teman anda khilaf mentraktir pacarnya paket data 50 ribu di Tokonesiapa atau mengaku tidak pernah mendapatkan transferan dari media tersebut.

Besok, sebelum siang segeralah buka rekening, Mas. Jika satu saat kelak ada seseorang mengatakan anda terlibat dosa riba karena hidup berbank, itu bagian penting yang harus anda rasakan juga. Setelah itu baru direnungkan, mau meneruskan menabung di bank atau di celengan ayam.

Apa pun pilihannya kelak  yang penting yakin seperti tokoh panutan kita semua, Mas Pur.

 

Exit mobile version