Cantik Memang Butuh Biaya, Kalau Pengin Gratis Pakai Beauty Plus Aja Mylov

Cantik Memang Butuh Biaya

Cantik Memang Butuh Biaya

MOJOK.COHi, Ladies~ berapa banyak pengeluaran yang kamu anggarkan untuk membeli produk kecantikan?  Apakah uang sebanyak itu sepadan dengan manfaat dan kepuasan yang kamu dapatkan? Om Haryo kali ini akan menjelaskan apa itu cantik dan benarkah membeli produk kencantikan itu sama dengan investasi.

Selamat pagi Celengers,

Cantik, dalam beberapa tahun terakhir ini tidak lagi cukup “didempul” dengan seperangkat make up dari produk lokal yang sempat trending seperti Purbasari, hingga yang harganya selangit semacam La Mer. Ada saatnya, semua padu padan dari bedak tabur hingga lipen yang digunakan harus diparipurnakan dengan campur tangan beauty plus yang tertanam dalam aplikasi ponsel.

Serius, 50% perempuan, semoga celengers tidak, masih tidak percaya diri walau sudah menggunakan produk kelas atas sekalipun.

Medsos tidak saja sekedar sebagai tempat saling tukar informasi dan tempat bertemu sahabat dari masa lalu, tetapi juga pasrah menjalani takdirnya yang memilukan sebagai media para netizen menunjukkan muka-muka cantik tanpa pori. Wajah-wajah menawan serupa boneka Barbie seri Wah-Woh. Wah cantiknya saat ada di layar gawai, woh kok gitu sih setelah lihat aslinya.

Konon, lebih dari enam ratus tahun silam, jauh sebelum aplikasi kamera jahat hadir memberikan kegembiraan bagi para perempuan seluruh dunia. Lukisan Dyah Pitaloka yang begitu ayu mempesona jatuh ke tangan raja Majapahit yang langsung gandrung tanpa pikir panjang dan konfirmasi terlebih dahulu. Itu cikal bakal beauty plus.

Kecantikan selama ratusan tahun masa terentang dari era Ken Dedes di abad 12 hingga era Gusti Nurul di abad 20 lebih lekat dengan perawatan alami. Selama 8 abad, hampir tidak ada perubahan cara pandang dalam mendapatkan, merawat dan mempertahankan kecantikan. Itu masa keemasan manusia Indonesia mendapatkan dan kemudian meramunya langsung dari alam. Sama sekali belum ada campur tangan industri.

Mau perawatan rambut? Ada merang, kulit padi yang dibakar kemudian dicampur dengan air. Setelah disaring dapat dijadikan sampo. Perawatan kulit? Lulur dari berbagai rempah yang ditumbuk dan diaplikasikan ke kulit. Juga ada perawatan dari dalam dengan cara mengonsumsi jamu dari berbagai tanaman herbal. Mudah, murah, dan efek merusak yang minimal.

Tahun 1846 di USA,100 tahun sebelum negeri kita merdeka. Sudah ada industri kosmetik yang masih kita kenal hingga saat ini, Ponds. Puluhan tahun kemudian, 1872, untuk pertama kali di Asia muncul Shiseido di negeri sakura. Di Indonesia, boro-boro perempuan pada bedakan, itu tahun-tahun tersulit dimana Nusantara masih sangat terbelakang sekali setelah lepas dari periode paling eksploitatif selama penjajahan.

Belum pandangan misoginis yang masih merajalela pada saat itu bahwa kaum perempuan tugasnya 4M: masak, meteng, manak, dan macak. Macak atau merias diri seolah menjadi tugas perempuan untuk menyenangkan laki-laki. Apa ada pembaca yang masih berpikir bahwa merias diri merupakan tugas perempuan untuk menyenangkan laki-laki?

Om, kali ini sengaja bertanya pada beberapa perempuan dengan berbagai latar belakang bagaimana pandangan mandiri mereka dalam memaknai kecantikan. Ya dong, merekalah subyek yang paling berhak merumuskan apakah kecantikan itu.

Cita, 21 tahun, menurutnya menggunakan bermacam make up untuk terlihat lebih fresh saja, enak dilihat dan tidak dimaksudkan untuk menutupi kekurangan. Pemilihan jenis kosmetik yang digunakan lebih didasarkan pada kesesuaian dengan kulit dan harus disesuaikan dengan pemasukan.

Sebagai sarjana yang baru saja diwisuda dan tidak perlu repot mencari kerja karena sejak kuliah sudah menjadi pengusaha cattery ternama di Yogyakarta, pemasukannya memang sudah lebih dari cukup untuk menggunakan produk high-end seperti Chanel, Kiehl’s, YSL dan Benefit.

Sebentar, Om kok jadi mumet membayangkan nilainya. Penggunaan normal atas berbagai produk kosmetik tersebut paling tidak secara variatif habis dalam waktu 3-6 bulan. Itu belum memasukkan produk perawatan kulit yang dia gunakan, seperti SK II dan gang-nya. Pengeluaran per bulannya sudah jelas, minimal 2 juta!

Hmmm… sampai di sini kok malah mrinding sendiri. Apa nggak cukup cuci muka pake aqua aja? Sehari satu botol kan sebulan nggak sampai 100 ribu.

Berikutnya Vitri, 30 tahun, seorang ibu rumah tangga. Menurutnya, merawat dan mempercantik diri yang utama untuk kebahagiaan diri sendiri, bukan untuk orang lain. Dengan kata lain, menjadi cantik itu bukti perempuan mencintai dan berbahagia atas dirinya. Nah soal nilai yang dianggarkan harus kompromi dengan kebutuhan lain.

Ibu milenial ini menggunakan beberapa produk kosmetik drugstore seperti Biore, Bioderma, Hada Labo, Nasific dan leneige. Harganya relatif terjangkau untuk kaum milenial pada umumnya, 50-300 ribu per itemnya sudah cukup untuk 3-4 bulan.

Kurang murah? Baiklah, penting untuk menyimak pendapat perempuan dari generasi X.

Rosita, 40 tahun, seorang sopir travel. Ya, kalian tidak salah baca, ibu atau emak bangsa tersebut berprofesi sebagai sopir dan tetap dapat mempertahankan keayuannya. Cantik itu tidak perlu ribet, paham kekurangan dan memahami kondisi orang lain. Berapa biaya yang dikeluarkannya? Pensil alis viva seharga 28 ribu dan lipstik sejuta lambe, Purbasari seharga 37 ribu.

“loh, Mbak penghasilan sebagai sopir khusus mengangkut bule-bule kan juga tidak kecil, kok nggak upgrade?”

“Saya pernah pake Maybelline dan Make Over tapi malah lambe jadi pecah-pecah. Langsung saya hentikan daripada kalau diteruskan jadi lambe turah”

Moral strowberynya (nggak usah pada repot ngoreksi ya) apa nih untuk kalian?

Untuk para celengers cantik, kalau yang mau dicontoh tokoh yang pertama, contoh dulu mentalnya yang sudah jadi pengusaha sejak kuliah, pilihan kosmetiknya menyesuaikan dengan kemampuan finansial. Kalau masih mahasiswa dan mengandalkan kiriman orang tua, misal kirimannya senilai 1 juta rupiah, keluarkan 200 ribu atau 20% untuk budget 2 bulan.

Cukup? Ya relatif. Terkadang memang kekeliruan kita saat menyandingkan 2 masa yang berbeda, dan jelas-jelas preferensinya juga sudah lain. Kalau situasinya di tahun 1990an, jumlah tersebut sudah cukup. Itu masa dimana mahasiswi menggunakan lipstick saja banyak yang masih malu.

Jika yang dicontoh tokoh yang kedua, harga masuk akal dan sudah cukup pantas untuk mendukung penampilan. Rasanya pengeluaran 500 ribu per bulan tidak akan mengganggu cash flow keluarga, atau tinggal disesuaikan dengan pendapatan kepala rumah tangga.

Nah, kalau kalian bukan jenis beauty junkies, hanya sedikit saja koreksi yang hendak ditampilkan untuk mempertebal rasa percaya diri, maka pilihan make up serba minimalis seperti mbak sopir di atas juga sudah baik. Tentu saja sepanjang kulitnya bersedia diajak irit.

Secara umum, berapa sih persentase pengeluaran wajar untuk belanja kosmetik terhadap pengeluaran rutin?

Agustus 2018, perusahaan nasional yang bergerak di bisnis kecantikan, Zap Clinic menggandeng perusahaan konsultan marketing Markplus melakukan penelitian sangat komprehensif yang outputnya mereka sebut sebagai ZAP Beauty Index. Aspek pengeluaran untuk belanja produk dan jasa kecantikan hingga jenis dan lama perawatan tersaji dalam penelitian tersebut.

Pengeluaran pribadi untuk belanja fashion dan kecantikan persentasenya ada di kisaran 20%. Begitu situasi keuangan membaik, belanja tersebut didorong hingga ke angka 40%. Tidak sekedar belanja produk make up saja tetapi ada menu tambahan berupa perawatan di luar rumah seperti spa, facial, laser, wax, dan seterusnya.

Era memang sudah berubah, tiga dekade lalu rambut di ketiak bukan masalah. Tanya tante Eva Arnaz kalau tidak percaya. Cantik ukuran sekarang lain, rambut di tempat yang tidak diingankan harus diwaxing atau minimal ditumpas. Itu standar yang diterapkan Pecinta Ketiak Indonesia.

Jadi mana lebih pantas, pengeluaran untuk mendongkrak kecantikan 20% atau 40% dari belanja rutin?

Kalau sebagai ibu rumah tangga murni, 20 persen menjadi angka yang masuk akal. Sedangkan perempuan yang berpenghasilan sendiri, 40% pengeluaran yang sangat pantas dan tidak perlu didebat. Untuk urusan kecantikan, justru pola pikir laki-laki yang harus diperbaiki. Rata-rata berpandangan ongkos perawatan perempuan itu mahal dan tidak masuk akal. Jelas, karena mereka menggunakan dirinya sebagai alat ukur kepantasan. Dimana muka bluwek bertahun-tahun tidak terkena sabun muka pun merasa tidak masalah.

Perawatan sebagai pembentuk citra cantik, dalam pandangan ilmu ekonomi tidak berbeda dengan investasi. Dalam bahasa yang lebih membumi mungkin sebagian pembaca lebih akrab dengan kalimat beauty is pain. Ekonom KW3 seperti Om tidak akan ragu mengatakan kedua hal tersebut sama. Mau mendapatkan muka kinclong binti glowing dengan step-step ala Korea? Kerja kerasnya mungkin akan sederajat dengan seorang investor yang menitipkan Sapi ke peternak di 6 bulan mendatang nilainya sudah tumbuh 10%.

Wah becanda nih, masa kecantikan perempuan disamakan dengan memelihara sapi?

Begini ya, ini akan lebih mudah menjelaskan kepada perempuan dibandingkan laki-laki. Untuk menghasilkan terangnya, kehalusan dan kekenyalan kulit yang paripurna dimana lalat pun akan ragu-ragu kalau mau menempel. Ada banyak biaya yang dibutuhkan, ada tuntutan kesabaran yang diperlukan, dan ada waktu tunggu yang nisbi lama.

Kalian pikir kecantikan itu seperti pop mie? kasih air panas, tunggu 3 menit, buka penutupnya dan slurrppp kenyalnya dah pas.

Titik Puspa, dalam satu wawancara dengan sebuah stasiun TV, satu dekade silam, mengungkapkan rahasia kekencangan kulit wajahnya yang konon tanpa oplas seperti halnya RS, Rekan Saya. Ini rahasia yang kalau kita simak memang menjadi bukti bahwa beauty is pain itu memang nyata.

“Saya sejak usia 36 tahun tidak pernah tidur miring, karena tidur miring membuat kulit muka kendor”

Hmmm… itu ya, Om mau ketawa tapi takut dosa. Tidur itu kan nggak terasa sudah berubah posisi miring atau telentang. Tapi ya sudah, kembali ke aturan pertama saja, perempuan itu tidak pernah salah.

Exit mobile version