Jika VAR Digunakan di Indonesia, Mungkin Tidak Ada Manfaatnya

MOJOK.CO – Apakah VAR bisa diterapkan di sepak bola Indonesia? Kekhawatiran seperti berkurangnya drama menjadi alasan. Meski alasan itu sebenarnya tumpul saja.

Video Assistant Referee (VAR) sedang menjadi perbincangan. Penggunaan VAR di Piala Dunia 2018 tampak begitu menentukan. Tanpa VAR dan goal line technology, Prancis gagal menang di laga pertama melawan Australia.

Mile Jedinak, kapten Australia, dalam laga melawan Denmark mencetak gol melalui penalti. Penalti diberikan setelah wasit utama melihat VAR untuk kemudian menetapkan Yussuf Poulsen melakukan handsball di kotak terlarang.

Suka atau tidak, VAR memang telah berpengaruh terhadap sepak bola meskipun hanya menyediakan video pembanding dan wasit tetaplah yang menentukan. Ada yang bilang, VAR telah merusak drama dalam sepak bola. Namun, teknologi ini telah memberikan rasa adil yang lebih baik, karena keputusan wasit jadi lebih tepat untuk momen-momen krusial.

Teknologi telah menjamin tidak adanya gol yang tidak disahkan seperti gol Frank Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010. Tendangannya saat itu sudah melalui garis gawang tapi memantul keluar dan wasit menyatakan bahwa bola belum masuk.

Gol batal dan itu dijadikan para pendukung Inggris sebagai alasan mereka gagal di Afrika Selatan. Padahal ya memang secara kualitas Jerman jauh lebih unggul dan skor 4-1 menunjukkan bahwa The Three Lions tak berkutik menghadapi seterunya.

Momen yang menjadikan sepak bola penuh drama dan didiskusikan selama bertahun-tahun itu tak terjadi lagi karena sudah ada teknologi yang membantu kinerja wasit. Tapi, memang dasar manusia, tidak ada puasnya. Kita sibuk berargumen bahwa teknologi telah merusak sepak bola. Tak ada lagi drama dalam sepakbola. Tak ada lagi pengandaian tentang tim mana yang seharusnya menang.

Jika teknologi bisa begitu bermanfaat dan menjamin fair play, bagaimana jika sepak bola Indonesia menggunakan VAR atau goal line technology?

Baru juga wacana itu muncul. Banyak pihak yang tidak sepakat. “Kalau semua serba teknologi, lebih baik kita main PlayStation saja,” kata Iwan Budianto, wakil ketua PSSI.

Tanpa bermaksud mengamini perkataan Iwan Budianto, Indonesia memang masih jauh dari kata siap untuk menggunakan VAR dan teknologi penunjang pertandingan lainnya. Masalahnya jelas, seperti yang sering diucapkan oleh Presiden kita, Joko Widodo: infrastruktur.

Untuk menerapkan VAR, dibutuhkan setidaknya 20 kamera yang terpasang di stadion. Di Indonesia, untuk pertandingan sekelas Liga 1 saja paling banyak 8 kamera terpasang. Itu pun tidak semua pertandingan yang disiarkan langsung ada 8 kamera yang terpasang.

Struktur bangunan kebanyakan stadion di Indonesia belum bisa mendukung pemasangan kamera di lokasi yang memadai untuk menghasilkan gambar yang bagus. Ini belum memasukkan fakta bahwa di beberapa daerah siaran langsung pertandingan sepak bola adalah hal yang mustahil untuk dilakukan.

Padahal jika VAR dijadikan aturan, mestinya semua laga bisa menggunakan teknologi ini. Menjadi tidak adil jika ada pertandingan yang tidak bisa menggunakan VAR, akan jadi kecemburuan dari klub lain karena merasa dirugikan.

Faktor berikutnya adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Tanpa bermaksud mendiskreditkan kameramen di Indonesia, selain karena keterbatasan alat dan infrastruktur, juga tentu ada faktor skill mengambil gambar.

Anda masih ingat gol Diego Assis, pemain Persela Lamongan, ke gawang Persija Jakarta yang sempat menyentuh tangan? Gol itu bahkan sulit dibuktikan ketika melihat tayangan ulang. Foto Angger Bondan, jurnalis Jawa Pos, justru yang mampu memotret momen itu dengan lebih jelas. Jadi, teknologi VAR belum tentu bisa membantu banyak di sepak bola Indonesia.

Walaupun demikian, secara pribadi, penulis mendukung jika VAR diterapkan di Indonesia. Teknologi ini bisa membantu sepak bola kita berjalan lebih adil. Meminimalkan penalti ajaib atau pelanggaran keras yang layak diganjar hukuman berat dan berbagai intrik lain di pertandingan.

Tidak ada lagi penalti siluman seperti ketika Mahyadi Panggabean terjatuh di luar kotak penalti dalam laga Persik Kediri melawan Persija di Stadion Brawijaya, 31 April 2010. Fiator Ambarita, wasit yang memimpin laga itu memberi penalti pada tuan rumah meski Mahyadi terjatuh sekitar 2 meter di luar kotak ketika bersentuhan dengan Baihakki Khaizan.

Atau fakta lain yang mencurigakan ketika Persisam Samarinda memperoleh 20 penalti di 15 laga kandang Divisi Utama musim 2008/2009. Itu berarti di setiap laga, lebih 1 hadiah penalti diperoleh oleh pasukan Oranye.

Juga insiden gol Ezechiel ke gawang Persija ketika Persib bertemu Macan Kemayoran di Manahan Solo, 3 November 2017, yang tidak disahkan wasit lantaran dianggap belum masuk ke gawang. Tayangan ulang memperlihatkan bola telah sah masuk gawang. Untuk laga segenting ini, keputusan bisa berdampak panjang. Bisa menjadi sarana terpantiknya eskalasi konfilk antarkelompok suporter.

Jangan takut jika drama akan hilang di sepak bola kita. Teknologi tak akan menghilangkan semua drama. Selalu akan ada drama di sepak bola, terlebih di Indonesia.

Fariq Hitaba, salah satu wasit papan atas Indonesia dan pernah memimpin partai sekelas final Piala Presiden 2017 kena getahnya dari coba-coba menggunakan tayangan ulang untuk menilai keputusannya.

Saat itu pertandingan PS TNI melawan Persija Jakarta di Stadion pakansari, Juni 2017. PS TNI diberi penalti, tapi setelah adu argumen dengan pemain Persija, Fariq kemudian memutuskan untuk melihat tayangan ulang yang ada di pinggir lapangan milik kru televisi. Setelah itu, Fariq membatalkan keputusannya.

Ivan Kolev, pelatih PS TNI saat itu jelas berang. Apalagi timnya akhirnya kalah dua gol tanpa balas. Fariq pun kemudian dinonaktifkan oleh PSSI. Keputusan itu menuai kontroversi, tapi seperti biasa PSSI jalan terus. Fariq pun tak bisa memimpin laga level nasional. Dan kita pun semakin kekurangan stok wasit bagus.

Begitulah sepak bola Indonesia. Dramanya tak akan berakhir. Jangan takut ada VAR mengakibatkan berkurangnya drama. Justru dengan ada VAR, nantinya drama akan bertambah banyak dan durasi pertandingan bisa semakin panjang lantaran terlalu banyak insiden di lapangan yang mesti dinilai dengan VAR.

Exit mobile version