Sebagai Guru, Saya Otomatis Berpikir UN Dihapus Itu Maksudnya UN Ganti Baju

ujian nasional dihapus un dihapus nadiem makarim menteri pendidikan kebijakan baru Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mojok.co

ujian nasional dihapus un dihapus nadiem makarim menteri pendidikan kebijakan baru Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mojok.co

MOJOK.CORabu (11/12) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan UN dihapus per 2021. Dengan demikian, ujian nasional tahun depan akan menjadi ujian nasional terakhir. Ini beneran kabar baik atau sebenarnya UN tetap ada, tapi namanya saja yang diubah?

“Apa enggak ganti nama doang itu, Mas?” komentar salah seorang murid di grup WhatsApp saat partner saya membagi poster berbunyi “Sah! Ujian Nasional Bakal Dihapuskan”.

Iya, selama satu abad tidak menulis untuk Mojok.co, saya memang sedang gayeng-gayengan jadi fasilitator belajar bagi sekumpulan remaja SMA di sebuah sanggar di sudut selatan Jogja. Pekerjaan ini menyenangkan karena sejak awal kami dimerdekakan untuk merancang sendiri pembelajaran di kelas. Kritik-kritik pribadi saya seputar pendidikan formal bisa bertransformasi jadi aksi belajar yang sungguh berbeda dengan yang terjadi di sekolah umum.

Namun, karena asyik bereksperimen di sanggar, saya jadi apatis terhadap apa yang terjadi di luar. Itu sebabnya saya tidak terpana saat Mas Nadiem Makarim jadi menteri pendidikan. Saya juga tidak bertepuk tangan saat Mas Menteri dikutip berbagai meme karena kutipan “Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi…” dan seterusnya.

Maka, ketika kemarin muncul berita bahwa UN dihapus, sebenarnya saya ingin mengambil sikap biasa saja. Toh juga ternyata tetap ada penggantinya. Ya, UN dihapus, tapi ada Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Saya mbok yakin, di benak semua guru di seluruh Indonesia ketika mendengar istilah itu pasti akan berpikir,

Baiklah. Apa lagi itu?

Guru-guru kita, kawan-kawan kita yang bekerja sebagai guru, bahkan anak-anak kita yang kelak menjadi guru, boleh dikata adalah jiwa-jiwa tangguh yang adaptif. Mereka, setiap kali kabinet berganti, adalah manusia-manusia yang harus turut siap berganti. Ganti kurikulum, ganti cara menulis rapot, ganti jam kerja.

Sementara di aras orang tua, masalah yang dihadapi tetap sama. Hampir semua kawan saya yang menyekolahkan anaknya di jalur formal, akan mengeluh bahwa beban anak terlalu berat, seperti jam belajar yang terlalu panjang dan materi ajar yang melampaui daya nalar usia anak dan tidak berkorelasi dengan kehidupan anak.

Seperti Chiki, problem pendidikan di Indonesia sesungguhnya hanya ganti kemasan. Isi dan rasanya tetap sama: Gurih, bulet-bulet, dan banyak micinnya.

Jauh di dalam hati kecil saya, ada secercah harapan pendidikan di Indonesia sedang menuju perubahan paradigma. Banyak orang tua gelisah, banyak guru ingin berubah, dan ada satu menteri dengan program-program yang cukup bernyali. Namun, lagi-lagi, apakah Indonesia siap? Karena bicara pendidikan artinya kita tidak hanya bicara tentang paradigma sang menteri pendidikan. Ada kompetensi guru yang harus disertifikasi, ada sekolah keguruan yang perlu dibenahi, ada orang tua yang jaga gengsi.

Dan satu-satunya hal yang jarang sekali menjadi pusat perhatian justru para peserta didik itu sendiri.

Sebelum mengeluarkan kebijakan UN dihapus, Mas Menteri sempat mengimbau guru untuk lebih banyak mengajak siswa berdiskusi. Sebuah ajakan sederhana, sesungguhnya. Namun, pada praktiknya, diskusi bisa terjadi jika dua (atau lebih) anggota diskusi memiliki kesetaraan dalam pola relasi sosial. Jadi, andaikata seorang guru jaim berujar pada murid-muridnya, “Anak-anak, ayo kita diskusi,” bisakah Anda membayangkan murid-murid itu akan bersahut-sahutan memberi pendapat? Saya kok tidak.

Tentu saja, sebagai seorang ibu, saya berharap iklim pendidikan di negeri kita membaik. Biar kelak saya tidak perlu menghabiskan energi mencari sekolah terbaik untuk anak saya setiap ia lulus dari masing-masing jenjang pendidikan. Saya berharap proses mencari sekolah jadi mudah karena semua sekolah adalah sekolah yang menyenangkan. Itu sebabnya saya juga berharap iktikad-iktikad baik Mas Menteri tidak dijegal siapa pun.

Namun, jika seorang manusia meresapi hakikat belajar yang asali, sejatinya slogan “merdeka belajar” bisa tak lagi mengagumkan. Sebab, ia telah mengalami “merdeka belajar di mana saja”. Yang artinya, tidak belajar di sekolah juga tidak apa-apa.

BACA JUGA Alasan-alasan Penting Kenapa Wacana UN Dihapus Harus Ditentang atau esai GERNATATITI lainnya.

Exit mobile version