Bukan Game Perang Kayak PUBG yang Bikin Agresif, tapi Player yang Noob dan Tukang AFK

MOJOK.CO Dari segitu banyak player PUBG, berapa orang yang melakukan tindak kekerasan karena terdoktrin sama game ini?  Yak tul. Kagak ada!

Sebagai gamer insyaf, saya selalu kena trigger tiap kali ada kalangan yang main tuduh bahwa game membuat agresif dan memicu playernya melakukan kekerasan di dunia nyata. Seakan-akan game isinya mudharat thok tanpa sedikit pun manfaat.

Padahal kalau ditimbang-timbang, daripada mudharatnya game lebih banyak mudharatnya nyinyir di sosmed ya to?

Gimana nggak ketrigger. Seumur-umur saya ngegame, enggak pernah tuh ujug-ujug loncat dari ujung Monas biar jatuh di atas tumpukan rumput ala Assassin Creed atau melakukan fatality ke orang lain gara-gara main Mortal Kombat.

Saya juga nggak pernah kebut-kebutan karena kebanyakan main Need for Speed, lha wong beli mobil aja cuma mampu beli seken tahun 90-an. Boro-boro ngebut, nggak mogok aja udah Alhamdulillah.

Berbekal pengalaman pribadi ini, saya optimistis bahwa kalau ada orang yang kasar atau agresif karena kebanyakan ngegame, itu bukan karena konten gamenya. Tapi ya emang karena dasar orangnya.

Kalau tidak percaya, coba lihat data game paling populer yang makin ngetop setelah diendorse MUI, PlayerUnknown’s Battlegrounds alias PUBG.

Sejak dirilis sampai sekarang game ini sudah terjual 50 juta kopi dan per Februari 2019 lalu ada 932.000 player aktif yang mainin PUBG. Angka ini sudah turun karena di puncak kejayaannya, Januari 2018 lalu PUBG dimainkan lebih dari 3,2 juta player.

Ini baru PUBG versi PC yang berbayar lho, belum versi PUBG Mobile yang gratisan dan jadi game wajib gamer hape. Dari segitu banyak player, berapa orang yang melakukan tindak kekerasan karena terdoktrin game ini?

Yak tul. Kagak ada!

Kalau masih nggak yakin, coba cek sendiri. Kalau pun ada berita terinspirasi game, saya berani menjamin tuduhan melakukan kekerasan gara-gara terinspirasi game datang bukan dari pelakunya, melainkan karena latar belakang si pelaku yang pernah main game atau ngefans game tertentu.

Tuduhan ini tentu saja ngawur. Sama ngawurnya dengan tuduhan orang jadi pembunuh setelah minum air putih dan di rumahnya ditemui berbotol-botol air mineral. Nggak nyambung, Bos!

Untungnya, orang yang skeptis terhadap tuduhan bahwa game memicu agresivitas dan membuat orang menjadi rawan melakukan kekerasan di dunia nyata cukup banyak. Di dunia akademik topik game dan agresivitas masih menjadi kontroversi karena di penelitian terdahulu nyatanya banyak penelitian bias yang dibuat karena penelitinya kurang memahami media ini.

Beberapa jurnal ilmiah bahkan menarik sementara sejumlah artikel dan melakukan peninjauan ulang terhadap artikel ini karena dicurigai tidak objektif.

Sebagai gantinya, sejumlah penelitian menyatakan tidak menemukan hubungan antara konten game dan agresivitas. Artinya sejauh ini belum ada satu pun temuan yang secara empiris menyebutkan konten game membuat seseorang kepingin merealisasikan fantasi kekerasannya di game ke dunia nyata.

Sejumlah penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa bukan gamenya yang bikin agresif, melainkan kegagalan menuntaskan misi dalam game. Dengan kata lain, gamernya yang noob. Soal ini saya sepakat.

Ngaca saja, kapan hasrat menggebrak keyboard atau membanting hape muncul saat main game?

Biasanya hasrat itu muncul saat main rank dan satu tim sama player noob bin toxic, no skill tapi bacot maksimal. Nggak asyik kan pas kita udah dapat momentum buat menang dan naik peringkat tahu-tahu ada teammate yang cupunya kumat.

Kesalahan sekecil apapun bisa mengubah jalannya pertarungan. Atau bisa kalian bayangkan pas udah mau push rank di PUBG malah ketemu player afk. Saya jamin jari-jari ini langsung gatal buat misuh-misuh dan mengabsen penghuni kebun binatang di tab chat.

Agresivitas ini kadang juga disebabkan karena situasi yang nggak mendukung, misalnya tiba-tiba koneksi ngajak gelut karena lag atau malah disconnect.

Efeknya bakal makin dahsyat kalau gangguan sinyal ini terjadi di momen-momen krusial. Kalau sudah kejadian dan ahirnya enggak bisa log in lagi, biasanya fanpage provider yang dipakai yang jadi sasaran umpatan.

Saya juga yakin sobat gamer setanah air sepakat pingin mbanting joystick ketika bos terakhir udah sekarat tiba-tiba ngeluarin ultimate skill dadakan dan akhirnya kita harus modyar dan mengulang dari checkpoint terakhir.

Pokoknya kalau sudah ketemu sebab-musabab ini banyak gamer ngaku bahwa niat game buat refreshing malah bikin bete. Untungnya saya nggak pernah sampai begitu. Sori, begini-begini saya lumayan pro walaupun nggak pernah kepikiran buat jadi gamer profesional di kancah e-sports.

Tetap ada risikonya

Berarti aman dong main game terus-terusan?

Ya nggak juga. Kata emak saya, semua yang terlalu itu enggak baik. Kebanyakan main game faktanya emang bisa bikin kecanduan.

Efek terburuknya adalah membuat seseorang jadi mager dan nolep karena jadi jarang bersosialisasi. Soal ini enggak usah ngeyel. Saya lihat sendiri banyak teman dan kenalan yang jadi jarang nampak batang hidungnya atau rajin mbolos gegara kebanyakan ngegame. Ironisnya frekuensi mbolos ini tidak sebanding dengan kemampuan ngegamenya. Ya di situ-situ saja.

Kebiasaan ini kalau terus-terusan dituruti ujung-ujungnya bisa memicu rasa kesepian dan depresi yang meningkatkan risiko mengakhiri hidup kalau enggak segera ditangani. Ini baru dari sisi psikis, dari sisi fisik yang paling gampang kelihatan adalah gangguan penglihatan karena kebanyakan menatap layar atau maag akut karena duit buat makan abis buat ngegacha item premium.

Apapun itu, saran saya kalau kalian sudah mulai masuk ke fase-fase ini, segeralah bertobat.

Percaya deh, gamer esports profesional berlatih mirip atlet olahraga fisik. Ada aturan istirahat dan asupan gizi yang diatur secara rinci. Aturan ini dibuat supaya mereka enggak jenuh dan punya waktu buat mengembalikan kondisi fisik dan mental supaya prima pas bertanding.

Nggak kaya kalian, udah nolep kok masih noob aja. Pantesan gampang ngegas.

Exit mobile version