Sisi Lain dari Klitih Anak Sekolah di Yogyakarta

Skena kekerasan tingkat sekolah di Yogyakarta ada banyak sekali. Selain klitih, ada juga nggropyok, ngedrop, cegatan, mubeng, hingga istilah-istilah yang lebih kasar seperti mbeleh hingga ngremuk. Dari semua, tentu klitih yang paling menyeramkan. Klitihh nggak lagi identik dengan kenakalan remaja, karena nyawa jadi taruhannya. 

Klitih juga menjadi istilah yang berkembang, dari yang semula menjadi sebutan untuk aktivitas keluyuran atau nongkrong, kemudian diidentikan dengan kenakalan remaja, hingga kini jadi tindak kriminal yang mengancam jiwa seseorang. Mojok mencoba meringkas hal-hal mengelitik dari klitih yang dilakukan oleh anak-anak sekolah di masa lalu. 

***

Saya masih ingat sebuah guyonan bahwa Bunderan UGM, adalah episentrum tawuran di Jogja. Geng-geng ganas baik itu yang masih beraliansi dengan sekolah maupun lepas tanpa terikat instansi pendidikan, jika tawuran ya berada di Bunderan UGM.

Banyak juga guyonan perihal klitih yang muaranya menjadi cerita yang menjalar dari mulut ke mulut. Misalnya tentang jaket sebuah SMA terbaik di Jogja, jika pakai itu saat melewati romantisnya jalanan Jogja, barang tentu kalian akan selamat sampai tujuan. “Siapa yang mau menyerang SMA yang anteng-anteng saja?” ungkap Dandi (25), bukan nama sebenarnya, salah satu pengamat klitih Jogja.

“Klitih itu ada dinamikanya. Dari yang semula hanya muter-muter gitu, sampai pada akhirnya saling serang secara terbuka. Lantas belakangan jadi saling serang diam-diam, senyap. Yang bikin bahaya, kita nggak tahu pelaku ini anggota salah satu geng atau bukan,” terang Dandi.

Dandi menerangkan bahwa medio 2010-an adalah puncak perselisihan antar-geng pun antar-sekolah. “Dulu terarah, target jelas, dan ada tujuan, tapi belakangan ini seperti acak. Bukan hanya anak SMA, tetapi malah masyarakat luas. Yang tadinya dikerjakan oleh bocah-bocah SMA, sekarang malah mas-mas gabut pada umumnya,” kata laki-laki yang kini bekerja sebagai perajin ukir.

Dandi pernah diklitih salah satu SMA paling buas. “Kejadiannya lucu banget, Mas. Mungkin bisa dimasukkan dalam liputanmu, hal-hal menggelitik dalam klitih,” katanya, membuat saya semringah. 

“Jadi waktu itu ada yang teriak ke aku, cah endi kowe? Langsung aku jawab SMA asalku. Tiba-tiba aku dipukul pakai pemukul baseball, terkapar di jalan, mondok seminggu di Bethesda.”

Saya jadi kagok, pengin rasanya langsung nanya kepada Dandi, lucunya bagian mana. Namun apa daya, ia kebacut ngakak sejadi-jadinya. Welah, pitikih? Akhirnya ia pun melanjutkan, “Lucu banget, kan? Yang bikin lucu itu aku dipukul pakai pemukul baseball, bukan kena katana atau clurit,” katanya, masih ngakak, sedang saya memilih untuk senyum-senyum sambil mbadog nasi magelangan yang sudah dingin.

Namun, bukan kisah menggelitik macam itu yang saya cari. Nyatanya, buasnya klitih, bisa direduksi dengan kisah yang bergerak dari mulut ke mulut yang bermuara menjadi komedi. Dari obrolan, pesan WhatsApp, hingga menelusuri jejak di forum Facebook, Mojok.co akan meringkasnya untuk para pembaca sekalian.

Ingat, nggak ada jaminan lucu dan bikin kalian kemekelen, rangkuman kisah-kisah ini, bisa juga menjadi getir atau malah bikin pembaca sekalian mbatin, “KOK ISOOO?”

Lolos klitih karena sekolah yang kurang terkenal

“Tiba-tiba kami disergap dari belakang. Kata mereka, mandek, mandek, cah endi kowe?” kata Arif (24) dalam penuturannya dengan air muka yang menegangkan. Arti dari cegatan itu, Arif disuruh untuk berhenti dan ditanya asal mana sekolahnya. “Jelas aku keweden, Mas. Niat mau main arung jeram ke Magelang, menyusul komunitas Pramuka sekolahnya, eee baru sampai Sleman malah sudah dicegat,” imbuhnya.

Laki-laki lulusan Fakultas Teknik ini bercuap-cuap sembari memungut kembali pengalaman mendebarkannya itu. “Aku berusaha ngebut, terus satu motor nyalip saya. Ha edyan po motor saya Vario, sedang mereka berdua pakai KLX. Semisal saya gas kenceng, tinggal nunggu waktu untuk disalip,” katanya.

Arif akhirnya melambatkan motor, tubuhnya mbregeli, tangannya dingin, juga helmnya dipenuhi keringat yang katanya, baunya seperti rendaman cucian kotor yang ditelantarkan berhari-hari. “Yo penguk, yo remuk!” katanya. 

Arif, dengan menyeruput teh yang saya sajikan, bicara dengan gamblang, “Aku berhenti, tiba-tiba mereka mengeluarkan pemukul baseball. Kojoooor!”

Arif, katanya, hanya bisa berserah dan berdoa. Ia tak menyangka akan kena klitih seperti ini lantaran SMA-nya, salah satu SMA yang ada di Bantul itu nggak garang-garang amat masalah dunia perklitihan. “Aku disuruh buka jaket. Disuruh melihatkan logo sekolah. Manut saja saya buka. Mereka melihat, sekonyong-konyong mereka balik, naik motor, dan meninggalkan saya. Lah…, ada apa? Begitu kan pikir saya.”

Arif senang bercampur bingung, kenapa kok dirinya nggak jadi dipalak atau diklitih? Usut punya usut, jebul para pelaku klitih itu asing dengan logo sekolah Arif, pun nggak tahu di mana asal sekolah Arif berada. 

“Kata salah satu dari mereka, SMA X? SMA endi kuwi? Wah, bajingan ig, nek aku bisa gelut we mereka gantian aku klitih!” katanya, kami berdua pun kemekelen. Arif selamat dari klitih karena sekolahnya nggak terkenal.

Karena jarak, sekolah ini memilih saling klitih antar angkatan

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala, bisa-bisanya demi memuaskan dahaga masa muda, ada satu sekolah yang pikirannya lebih licin dari belut sawah. “Iya, kami saling bacok satu sama lain karena nggak ada lawan dari SMA lain,” kata Bon (19). Laki-laki yang pernah nggak naik kelas dua kali ini berujar bahwa gelut adalah makanan pokok siswa sekolah ini, namun mereka nggak punya lawan tanding.

Ketika dijelaskan kenapa nggak punya lawan tawuran, klitih, atau sparing, saya ngampet ngguyu. “Jarak sekolah kami dengan sekolah lain itu sekitar belasan kilo, Mas. Ha ini mau tawuran atau mau studi banding? Bahkan, jarak terdekat dengan sekolah lain, keletan satu gunung. Kami butuh gelut, bukan kepengin cosplay jadi Ninja Hatori (mendaki gunung, lewati lembah, red),” kata Don sambil ngucek esteh yang sejatinya, gulanya, sudah larut.

“Bajingaaaaan!” kata saya berusaha mengimbangi gaya gondhesnya. Cekikikan kecil saya lontarkan, padahal kalau boleh ngguyu kemekelen pun saat itu bisa saya haturkan dengan lantang.

“Lha iya, Mas. Bayangkan saja lah bagaimana susahnya akses hanya untuk tawuran,” katanya. Ditanya apakah nggak ada sekolah lain yang datang ke sekolahnya, jawaban Don makin bikin saya ngak-ngik-ngak-ngik nahan kencing dan tawa. Ia menjawab, “Pernah. Ada SMA kota datang ke dekat area kami. Eee ndilalah sama gurunya, mau praktikum cara bertahan hidup di alam katanya. Kan jem**, area kekuasaan kami disetarakan seperti hutan hujan tropis.”

Don berkata, pada akhirnya timbul fraksi-fraksi. “Ada geng besar di sekolah kami. Nah, geng itu melahirkan dua fraksi. Fraksi pertama itu mendukung sekolah kami berkawan dengan sekolah terdekat, sedang fraksi satunya ya sebaliknya. Jadilah kami gelut antar-siswa.”

“Dan kalian merasa keren dengan cara gelut yang seperti itu? Melawan saudara sendiri?” tanya saya dengan sedikit kurang ajar.

“Nah, justru itu. Sejak tahun 2014 kami menyebut sebagai perang sipil. Ada pula yang menyebutnya Perang Paregreg. Kita saling hadang, saling gebuk, antar perbedaan fraksi itu. Kami gelut di galengan sawah yang hampir panen pada akhirnya kami diusir oleh petani setempat. Padahal, bisa saja kehadiran kami bisa menjadi pengusir hama tikus yang beberapa kali melanda persawahan tersebut,” tutupnya.

Saya hanya tersenyum dan membayar kisah Don dengan dua lencer Surya dan satu gelas teh. Ah, hampir saja saya menjawab keterangannya dengan kata-kata kasar penuh nafsu seperti, “Perang Paregreg, ndasmu!”

Karena geng baru, nggak punya lawan dan nggak ada sekolah yang mau mengakui

“Ingin sekali rasanya sekolah kami di-drop atau salah satu anggota kami ada yang diklitih,” itu kalimat pertama yang dilayangkan oleh Asuk (21). Diruntut dalam pesan Instagram yang akhirnya ia balas setelah ia anggurkan dua hari. Asuk adalah pentolan salah satu geng di SMA-nya yang sudah  bertaubat dengan cara menjadi wibu partikelir.

“Seumur-umur saya SMA, blaaaas nggak pernah aku mengalami kejadian menegangkan itu (di-drop, klitih, sparing, dll, red). Ha buat apa saya jadi ketua geng kalau tugas geng di sekolah saya sama seperti anggota UKS—bersihin kolam sekolah, nyapu jobin di depan aula. Ha ini geng apa kelompok pecinta alam?” katanya dengan sebuah metode bernama sambat.

“Nggak pernah cari gara-gara, Mas Asuk?” begitu pesan balasan saya. Ia langsung membaca dan mengetik begitu lama. Saya habiskan stalking video dan foto meme lucu, ia belum juga usai mengetik.

Pada akhirnya ponsel saya berbunyi, jawaban Asuk bikin saya bongko kemekelen di dalam kamar. Katanya, “Kami pernah lemparin sekolah lain pakai batu. Kami sudah siaga pada hari berikutnya. Satu hari setelah kejadian… belum ada balasan. Dua hari… belum ada balasan. Seminggu… belum ada balasan. Jebul sekolah itu malah bentrok dengan sekolah lain. Kok ya rasanya sakit hati, ya?”

Asuk menilai, lemparan batu adalah ‘tanda cinta’ sedangkan tiada balasan menandakan bahwa cintanya sudah tertolak. “Aku punya kawan dari SMA yang kami serang, kata pentolan sana, mereka nggak tertarik menyerang sekolah kami lantaran nggak ada feedback-nya. Jyaaan remok rasanya.”

Menurut keterangan beberapa gontho yang saya tanya dalam lingkar kekerasan ranah SMA di Bantul, sekolah-sekolah yang tawuran, biasanya akan mendapatkan beberapa feedback dari aksinya. Pertama, jelas nama kedua sekolah akan naik dalam percaturan tersebut. Kedua, pentolan mereka akan menjadi terkenal. Ketiga, tujuan mereka adalah menyeimbangkan keganasan SMA yang ada di Kota Jogja.

“Aku kurang paham, sih, perihal peta percaturan tawuran di Bantul, yang jelas kami (sekolah Asuk, red) menantang SMA lain memang bertujuan menaikkan nama geng kami. Tapi kalau ada statement menyeimbangkan keganasan SMA Kota Jogja, aku kurang setuju, Mas. Di Bantul, ada kok beberapa SMA yang memang sudah terkenal ganas,” katanya.

Asuk, dalam pesan Instagram, membuat saya kian tertawa, “Sekolah kami adalah sekolah baru. Kalau mau tawuran kudu lewat ring road dulu. Pernah ada yang mau by one dengan salah satu anak sekolah kota, sebagai sesama anggota, kami mendukung. Untuk ke sekolah tersebut, kami kudu lewat perempatan ring road. Niat mau dukung by one sesama rencang, ealah malah kena tilang!”

Asuk menutup, “Ditanya polisi pada mau ke mana. Mau jawab dukung teman berantem, itu namanya nambah hukuman. Sedang mau bilang nengok kawan lagi sakit kok ya malah nggak lucu.”

Terpaksa bermusuhan dengan geng SMP

Kisah yang akan datang ini mengingatkan saya dengan kisah Mickey, pentolan geng Tokyo Manji, dalam manga Tokyo Revengers. Mickey, ketika SMP, selalu berhadapan dengan anak-anak SMA yang postur maupun perawakannya lebih bongsor ketimbang dirinya. Sedang Mickey, selalu memenangkannya.

“Iya, bener, dulu ketika aku masuk di geng SMA, ada bocah di SMP yang seperti Mickey dalam Tokyo Revengers. Ia jago banget berantem, bahkan sempat kalahkan dua anggota geng kami secara langsung. Ketika SMA lain geger klitih, kami malah geger karena kalah melawan bocah SMP!” begitu yang dikatakan oleh Genter (24).

Ketika jaman-jaman Putih Abu-Abu Futsal (PAF) dan DetEksi Basketball League (DBL) sebuah event olahraga yang sering kali mempertemukan sekolah-sekolah di Jogja, acap kali terjadi rusuh baik di Amongrogo maupun di luar. Genter menjelaskan, alih-alih mencari lawan tawur dengan sekolah lain di PAF atau DBL, ia justru mencari bocah SMP itu.

“Suatu hari bocahnya itu naik sepeda depan kita, terus kami klitih. Jebul mudah sekali mengalahkan dirinya,” katanya. 

Genter melanjutkan, “Bajingannya, jebul yang kuat bukan dirinya, tapi bekingannya. Buajiguuur, jebul kakak si bocah SMP itu adalah pentolan SMA di Jogja yang terkenal ganas. Ha benjut, Mas, seminggu penuh kami nggak berani keluar sekolah sendirian, takut disamurai (dikatana, red) ketika tengah lengah.”

Jatuh dari motor ketika jadi role swiper

Dias (19) dalam ingatannya berbicara banyak perihal role dalam klitih. Dari keterangannya diselipi guyon, setidaknya ada empat hal, pemukul, penjaga, pengintai, dan yang berdoa di tongkrongan. Lebih universalnya, hal ini pernah dilaporkan oleh Vice Indonesia. 

“Biasanya ada pembagian peran sebagai Joki alias pengendara motor; Fighter sebutan buat orang yang dibonceng dan bertugas menyerang; serta pasukan Swiper di belakang yang bertugas mengamankan kawanannya saat situasi darurat, seperti penggerebekan polisi atau warga.”

Dias pernah menjadi swiper dalam aksi klitih yang dilancarkan SMA-nya melawan SMA lawannya. “Aku pernah ditugaskan sama kakak kelas buat klitih anak SMA lawan. Kalau berhasil, resmi sudah jadi anak geng situ. Aku sama anak-anak kelas 10 pun dijelaskan banyak hal. Tapi blaaas nggak dijelaskan apa risiko yang kami tanggung,” katanya.

“Hari yang bikin kembang-kempis itu pun dimulai. Kami bagi tugas, aku jadi swiper dan tentu saja kakak kelas kami kebagian tugas yang paling susah, pendoa di tongkrongan. Katanya, doa itu nggak main-main. Aku pun mbatin, doa buat klitih ya hanya bikin malaikat pencatat pahala jadi bingung, ini masuk kategori pahala atau dosa,” kata laki-laki yang kini kuliah di kampus swasta area Sleman.

“Aku jadi swiper, Mas. Aku jadi ingat ‘Swiper Jangan Mencuri’ dalam serial Dora the Explorer yang kebagian sial. Wah, jingan, perasaan saya makin nggak nggak enak,” katanya.

Dias pun ambil posisi aman, di bagian belakang. Seperti halnya tugas seorang swiper, datang jika prahara menyerang. “Setelah semua aman, target dipukul dari belakang, kami pun mlayu pontang-panting, berhamburan. Aku pun ikut mancal dengan cepat, motor saya geber, dan tiba-tiba ban motor saya selip, saya terjungkal di depan anak-anak SMA lawan yang sedang makan bakso di pinggir jalan.”

Dias menghimbau, kalau nggak punya skill mumpuni dalam berkendara motor, mendingan nggak usah klitih. “Mendingan nggak usah sama sekali, sih. Nggak ikut geng sekolah juga bukan berarti kiamat, kan? Walau ke depannya aku terus di-bully,” katanya dengan sedikit mrengut.

Klitih memang mengerikan, menghasilkan darah dan juga peluh yang sia-sia. Korban berjatuhan, padahal bisa jadi ia ditunggu keluarganya di rumah. Ada sosok ibu yang sedang menghangatkan sop untuk anaknya yang baru pulang dari sekolah, ada sosok bapak yang pulang kerja banting tulang demi pendidikan anaknya. Betapa nyerinya perasaan mereka, jika yang pulang adalah berupa raga tanpa nyawa, akibat kerasnya jalanan Yogyakarta.

Memang ada kisah lucu yang terhimpun dari buasnya klitih jalanan Yogyakarta, namun itu bukan berarti pemerintah daerah mengendurkan ikat pinggangnya untuk menangani angka kekerasan jalanan di Yogyakarta yang tak pernah surut. Ketakutan warga, adalah tugas besar dari pemerintah. 

Data yang dihimpun Polda DIY, dari 29 Januari 2019 – Januari 2020 tercatat ada 40 kasus yang dikategorikan sebagai klitih. Seperti dikutip dari Tirto.id dari kasus tersebut 35 kasus terjadi sepanjang 2019, sedangkan 5 kasus lainnya terjadi pada Januari 2020. Sebanyak 80 pelaku ditangkap dari total 40 kasus, sebanyak 57 pelajar terlibat dalam kasus tersebut. Sisanya merupakan pengangguran.

BACA JUGA Seorang Pasien yang 12 Jam Tidur di Samping Jenazah dan liputan JOGJA BAWAH TANAH lainnya.

Exit mobile version