Sarkas Tersembunyi ‘Captain Tsubasa’ untuk PSSI

Tsubasa dan Doraemon MOJOK.CO

MOJOK.COPesan nyampluk dari “Captain Tsubasa” yang bisa jadi sindiran alus untuk para pengurus PSSI yang wadidaw itu.

Banyak sekali hal-hal romantis antara sepak bola Jepang dengan animasi Captain Tsubasa. Konon katanya, Tsubasa lah yang memantik semangat anak-anak di Jepang untuk tetap bermain sepak bola. Tsubasa seakan hadir sebagai medium paling ngosak-ngasik dalam memopulerkan sepak bola pada anak-anak di Negeri Sakura.

Dalam hal ini Jepang jauh lebih mengejar upaya “menginspirasi” ketimbang “rasionalisasi” soal kartun ini. Lha iya, mana ada pemain salto di udara berdiam diri lima menit sambil berdialog dalam hati?

Tapi ya, bisa dibilang yang mengambil hati anak-anak di Jepang itu nggak hanya jurus, tetapi semangat juang. Ya walau sempat hopeless ketika melawan Jun Misugi, sih.

Tsubasa menjadi “kurikulum tersembunyi” sepak bola paling efektif perihal daya juang, semangat bertarung, dan sportif. Tsubasa lahir bersama prestasi Timnas Jepang yang bisa dibilang belum melekat label Macan Asia sebelum tahun 1988.

Pun di musim itu, JFA sedang getol-getolnya pembinaan bibit muda. Investasi terbaik itu memang membangun, bukan naturalisasi. Tsubasa turut andil memantik bibit muda ini.

Mangsamu cerita Tsubasa hanya romantisasi sepak bola saja?

Wah, tunggu dulu, banyak pesan luhur yang diberikan oleh animasi satu ini. Sarkas nakal yang justru hadir memberikan kesumringahan sendiri. Sindiran ini seakan Tsubasa bilang, “PSSI nggak mau belajar dari kartun saya aja, nih?”

Ini serius lho. Begini.

PSSI itu ketimbang studi banding ke negara-negara yang sepak bolanya maju, mendingan nonton animasi Tsubasa saja. Di rumah, siapin makan sore, belajar tentang betapa pentingnya sepak bola bagi anak-anak dalam tumbuh kembangnya.

Nah, ini poin pertama, yang selalu diabaikan PSSI.

Muda itu bukan usia muda di bawah 16 atau 19 tahun saja yang selalu laku dijadikan jualan program tipi kabel. Lha ya usia 6 tahun itu juga muda dan sedang bagus-bagusnya dalam usia perkembangan.

Bayangkan saja kalau Tsubasa anak SD di Indonesia, bukan Nankatsu, bakatnya ya pol mentok sparing sama SD tetangga atau main di turnamen tujuh belasan.

Dari animasi Captain Tsubasa, PSSI bisa dapat pelajaran jelas lho. Jadi, Bapak dan Ibu PSSI, tirulah Captain Tsubasa dalam membikin kompetisi dari akar rumput yang saking seriusnya sampai bisa dijadikan latar cerita kartun.

Kompetisinya tentu jangan musiman kayak liga profesional, namun berjenjang sesuai dengan tingkat sekolahnya. Dari SD, SMP, SMA, dan mungkin sampai kompetisi antar-universitas.

Jadi kalau di tengah-tengah kompetisi ada bocah gagal jadi pesepakbola profesional karena kurang berbakat, pelajaran sekolahnya nggak ketinggalan jadi masih bisa kalau mau daftar CPNS.

Begitu pula sebaliknya.

Kalau nanti jadi pesepakbola profesional, pendidikannya bisa kelar sampai setinggi mungkin jadi nggak gampang ditipu-tipu sama kontrak dari klub.

Kalau perlu jadi sarjana kayak Juan Mata dan Edwin Van der Sar. Atau punya gelar master kayak Robert Lewandowski. Pesepakbola, tapi juga bisa jadi dosen. Yang kalau ada masalah gaji nggak dibayar sama klub, bisa nuntut balik.

Kayak di Captain Tsubasa misalnya, yang dari SD hingga SMP rutin ikut kompetisi usia muda. Tetap sekolah dan tetap berpendidikan. Nggak cuma ngandelin otot doang, tapi otak dan disiplin juga diasah. Wajar kalau besarnya sampai sempet main di Barcelona.

Beda bengt kayak pemain berbakat di Indonesia, yang kalau menang satu kali, besarnya malah jadi selebgram.

Kedua, ketepatan janji akan liga.

Pak dan Ibu, PSSI, ini di Captain Tsubasa ada agenda kompetisi tingkat SD dan SMP lho.

Dan kok ya bisa tepat waktu, nggak ada penguluran jadwal, nggak ada tim yang request main malam atau di jam tayang tipi prime time. Semua halus terlaksana padahal hanya untuk anak SD lho ini?

Jawabannya mungkin satu, JFA (PSSI-nya Jepang) ikhlas untuk bibit muda sekalipun nggak ada cuannya. Lha iya cuan dari mana, sponsor aja nggak ada yang masuk? Nggak ada itu mereka sponsor besar kayak Mola TV atau Super Soccer.

Dan JFA dalam Tsubasa ini bahwa yang mereka lakukan adalah murni untuk masa depan bangsa dan negara. Investasi panjang yang akan terus berkelanjutan.

Coba sekali saja Bapak dan Ibu PSSI, lakukan kegiatan tanpa tedeng aling-aling perihal cuan dan kontestasi politik. Gimana? Sanggup? Oh, nggak bisa, ya? Berat ya? Ketahuan kalau menjabat di PSSI cuma cari popularitas ya? Cari kerjaan doang ya?

Ya sudah, kita masuk sarkas yang ketiga, yakni jangan politik melulu.

Lha di Indonesia ini getol muncul kompetisi usia muda hanya saat jelang Pilkada saja, je. Itu juga cuma sekelas tarkam. Setelahnya ya nggak jelas, nggak terarah, dan nggak ada dampak lanjutannya. Alias sepak bola hanya sebagai kuda pacu politik saja. Nggak jelas juntrungannya ke mana.

Di Captain Tsubasa ada Katagiri Sensei, mantan pemain Timnas Jepang, sebagai pemandu bakat usia muda.

Iya, dari Tsubasa dan kolega masih orok, mereka sudah dipantau oleh pemandu bakat kawakan. Orang-orang JFA yang diisi oleh mereka yang paham sepak bola. Bukan politisi-politisi yang nggak laku dan nganu….

Jun Misugi ini lho, waktu arc Junior Youth, dia jadi asisten pelatih untuk Timnas Jepang. Seakan JFA paham, kalau timnas mau berprestasi ya kudu meletakkan orang-orang yang paham dalam badannya. Bukan orang yang bisa beking doang.

Nggak ada itu ceritanya pimpinan JFA lantas kepikiran jadi gubernur atau pejabat daerah habis pura-pura mengelola PSSI.

Keempat, memperlakukan pemain sepak bola layaknya seorang anak, baik itu pemain timnas negaranya maupun bukan.

Itu yang terjadi dalam animasi Captain Tsubasa.

Pelatih Gamo memanggil Ryoma Hino untuk masuk ke dalam jajaran striker Jepang, namun Hino lebih dulu bergabung dengan timnas Uruguay. Lantas apa yang dilakukan Gamo? Yowes menerima keputusannya.

Apa jadinya jika Hino ada di Indonesia dan menolak tawaran timnas?

Selain dihujat satu negara, masih ingat ketika Ketum PSSI dulu nyindir kiper Juventus, Emil Agus Audero Mulyadi? Ya, Si Ketum dengan ndlogok-nya bilang, “Ada orang kita bernama Audero Mulyadi yang dari Juventus, tapi sombongnya minta ampun.”

Maksud saya kih sombong apanya tho? Mbok PSSI itu ya bisa mawas, lha wong kondisi sepak bola kita aja ingah-ingih begini kok bisa-bisanya jumawa. Wajar lah kalau Emil memilih tempat yang lebih memanusiakan pemain sepak bola kayak Italia. Nggak kayak di Indonesia.

Lah piye? Di Indonesia itu, begitu si pemain main di klub dan tiba-tiba kontraknya dilanggar sama klub, PSSI nggak pernah mau turun gunung bantuin masalahnya. Pemain modyar nggak diurusin klub juga dibiarin, pemain nggak digaji juga PSSI nggak peduli. Tapi kalau ada pemain yahud di luar negeri, PSSI bakal ngebet banget mau ndompleng populer setengah mati.

Ya itulah yang terjadi di dunia kebalikan Captain Tsubasa di negeri kita ini. Kartun yang nggak bakal cocok ditonton pengurus PSSI, karena dasarnya ini federasi emang nggak pernah mau evaluasi diri.

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Jokowi usai Anak dan Mantu Menangi Pilkada dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Exit mobile version