Receh bersama Admin Semiotika Adiluhung 1945 dan Perecehan Stekstual

MOJOK.CONgobrol bersama admin fanspage Semiotika Adiluhung 1945 dan Atra selaku pengelola Perecehan Stekstual.

Sebelum ada internet, kebutuhan dasar manusia hanya sandang, pangan, dan papan. Begitu ada internet, kebutuhan pokok itu bertambah menjadi: sandang, pangan, papan, dan shitpost.

Apa boleh buat, shitpost atau konten-konten lucu secara umum telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita di dunia maya. Bahkan ada sebagian orang yang sengaja membuka media sosial semata-mata dengan tujuan untuk lihat-lihat shitpost dan meme terbaru.

Shitpost telah menjadi pelipur lara dan penghilang penat bagi mereka. Jadi, biar pun namanya shitpost, ternyata shitpost itu nggak shit-shit amat.

Di Facebook, saya punya dua orang teman yang rajin sedekah… sedekah shitpost. Kadang memang sebagian shitpost atau meme yang mereka sebar nggak bisa saya temukan di mana letak lucunya, tapi ya secara umum kehadiran mereka sukses membuat linimasa jadi lebih meriah dan kocak. Saya mendoakan agar mereka istikamah di atas jalan shitpost (yok, aminkan tiga kali yok!).

Di jagat media sosial, Facebook adalah medium yang paling banyak memproduksi shitpost dan meme. Sudah nggak terhitung banyaknya fanspage yang menjadi produsen tetap shitpost dan meme.

Saking banyaknya fanspage itu sampai perlu mengidentifikasi diri dengan label tertentu. Ada fanspage dan grup lucu-lucuan dengan konten khusus terkait sekolah, ojek daring, marketplace, hingga yang paling fenomenal grup penghimpun jokes bapak-bapak.

Kalau di Twitter, akun yang hobi memproduksi konten lucu-lucuan biasanya yang nama akunnya ada “txt” gitu.

Berhubung dunia per-shitpost-an dan meme nggak bisa dianggap sepele, saya jadi penasaran dengan sosok di balik fanspage populer yang rutin mengunggah konten lucu. Saya kira penting untuk membongkar dapur produksi shitpost agar kita lebih paham cara kerja mereka. Saya pun berusaha untuk menghubungi beberapa admin fanspage untuk menanyakan soal shitpost dan hal-hal sekitarnya.

Pada beberapa waktu lalu akhirnya saya kesampaian untuk ngobrol-ngobrol santai dengan Ngaliman (blio minta namanya disamarkan, mungkin khawatir terjangkit riya) selaku admin fanspage Semiotika Adiluhung 1945 dan Atra selaku pengelola Perecehan Stekstual.

Sampai artikel ini saya buat kedua fanspage itu masing-masing sudah memiliki jumlah penggemar 46 ribu dan 113 ribu orang. Seandainya para penggemar itu kopdar, jumlah mereka nggak akan kalah dari jumlah sebenarnya Alumni 212.

Soal Semiotika Adiluhung 1945, ia menjadi salah satu fanspage paling senior dan lejen di jagat per-shitpost-an Indonesia. Semiotika Adiluhung 1945 dibuat pada 2016 ketika sang admin lagi sibuk-sibuknya dengan tugas akhir.

“Sebetulnya saya nggak ada tujuan khusus sih ketika bikin fanspage Semiotika Adiluhung 1945. Dan konsep awalnya bukan untuk ngelucu (nggak pernah buat ngelucu juga, sih). Fanspage ini dibuat karena terinspirasi dari page-page kayak LSD: Meme Emulator dan Redemptoris yang suka nge-post gambar-gambar bizarre dan out of context. Nah, (Semiotika Adiluhung 1945) pengen bikin versi lokalnya, yaitu dengan nge-post foto-foto lokal yang nggak diedit dan tanpa konteks,” ujar Ngaliman.

Sampai saat ini Semiotika Adiluhung 1945 memang konsisten memposting gambar-gambar yang “apa adanya” alias nggak diedit atau dibumbui kepsyen tertentu. Ngaliman sengaja mengonsep Semiotika Adiluhung 1945 seperti itu karena ia merasa foto-foto yang out of context terasa lebih unik dan lucu ketimbang foto yang sudah diedit-edit yang malah jadi cringe.

Sementara itu, Perecehan Stekstual yang aktif sejak 2017 memiliki sejarah yang berbeda. Atra menuturkan bahwa awalnya ia membikin fanspage humor karena dia memiliki hobi mereceh di linimasa. Karena khawatir kalau kebanyakan mereceh melalui akun pribadi akan di-unfriend secara berjamaah oleh teman-temannya, dia pun membikin fanspage khusus untuk menyalurkan hobi ganjilnya itu.

Berbeda dengan Semiotika Adiluhung 1945 yang hanya mengunggah shitpost yang benar-benar shitpost (bukan meme atau foto yang diedit supaya terkesan lucu), Perecehan Stekstual lebih longgar sehingga berbagai macam kiriman—asalkan mengandung nilai-nilai kerecehan—tetap di-posting.

Terkait muasal konten, kedua fanspage tersebut mendapatkannya dari berbagai sumber: kiriman penggemar, grup Facebook, penelusuran internet, linimasa, dan lain sebagainya. Di tangan mereka, apa saja bisa jadi shitpost dan konten lucu-lucuan. Benar-benar Midas garis lucu.

Kendati begitu, keduanya memiliki kriteria tertentu sebelum nge-post. Jadi, nggak asal nge-post supaya fanspage ada isinya. Semiotika Adiluhung 1945 menekankan pada dua hal: lokal dan nggak diedit. Sementara Perecehan Stekstual memiliki kriteria “yang penting receh”. Namun, receh yang dimaksud bukan sekadar postingan berisi umpatan atau konten-konten seksis dan mesum.

Soal konten, Semiotika Adiluhung 1945 pernah dianggap making fun fisik seseorang ketika fanspage itu mengunggah foto Iron Man Bali beberapa waktu lalu. Padahal Ngaliman sebagai admin nggak ada tujuan untuk mengejek atau menghina siapa-siapa.

“Padahal saya nggak edit atau bubuhi kepsyen sama sekali. Tapi ya udahlah, untuk kasus itu saya maklumi aja. Mungkin karena rata-rata fanspage tujuannya untuk mocking, padahal kan ya bisa juga untuk nge-share foto out of context begitu,” ungkap Ngaliman.

Sebagai admin fanspage shitpost, Ngaliman merasa mendapatkan kepuasan pribadi. Sementara itu, Atra merasakan berbagai keuntungan yang tak disangka-sangka. Sepanjang pengalamannya menjadi admin Perecehan Stekstual, ia pernah mendapatkan keuntungan materil seperti menjadi media partner event tertentu dan bekerja sama dengan perusahaan kaos anime.

“Pengalaman sebagai admin fanspage humor juga jadi portofolio tambahan bagi saya untuk masuk ke dunia kerja. Makanya ketika background checking, jadi auto-lolos, deh. Haha,” tambah Atra.

Sebagai penutup perbincangan, saya pun menanyakan soal masa depan shitpost atau meme kepada mereka. Keduanya menganggap bahwa tren shitpost atau meme akan tetap awet selama internet sebagai medium masih tetap eksis.

Shitpost/meme secara umum itu trennya sudah sama tuanya dengan internet. Sejak awal kemunculan internet, konten seperti itu juga sudah ada. Mediumnya saja yang berbeda. Kayak sekarang kan page-page meme udah jauh lebih advance dengan video-video yang nyampah banget (ya, walaupun cuma reinkarnasi dari Youtube poop doang, sih). Jadi, tren begini ya sampai dunia kiamat juga bakal terus ada. Karena ini bagian dari kultur internet juga jadi nggak bakal bisa hilang,” tutup Ngaliman.

BACA JUGA Analisis Semiotika Adilihung 4 Jenis Baliho Caleg di Indonesia dan tulisan rubrik LIPUTAN lainnya.

Exit mobile version