Semua Orang Bisa Jadi Ustaz kayak Felix Siauw, tapi Tidak Semuanya Otomatis Jadi Ulama

MOJOK.CO – Ketimbang sebagai seorang ulama, Felix Siauw lebih cocok disebut ustaz motivator. Sebab kemampuannya beretorika dan mengorganisasi ummat begitu luar biasa.

Saat pertemuan terakhir kelas menulis di komunitas kami, setiap peserta diminta menyebutkan guru favorit mereka selama belajar. Masing-masing menyebut nama mentor atau peserta teladan, sampai salah satu peserta menyebut nama anak guru kami yang saat itu masih SD dan hadir bukan sebagai “mentor”.

Guru kami memang sering mengajak anaknya dalam pertemuan komunitas. Biasanya ia hanya menyimak sambil mengambil foto kami dengan kameranya. Sesekali berkomentar dengan celetukan yang mind-blowing.

Saya termasuk orang yang tidak menyangka nama anak kecil itu akan disebut sebagai salah satu guru favorit. Bahkan kalau boleh jujur, menganggapnya sebagai guru pun tidak. Tapi salah satu teman kami bahkan menjadikannya sebagai sumber belajar favorit.

Menurut penjelasannya, teman saya belajar banyak soal semangat dan hal lain (saya agak lupa detailnya) dari anak kecil itu. Saya setuju. Saya hanya lupa bahwa, seperti kata teman kami, semua orang bisa menjadi guru sekaligus murid.

***

Belakangan pesan teman itu seperti kembali diuji ketika saya mulai rajin ngaji virtual bersama asatidz hits di media sosial.

Berhubung saya mengikuti cukup banyak “ustaz seleb” di media sosial, bisa saya simpulkan tidak semuanya adalah ulama. Beberapa “hanya” penceramah. Meski begitu, saya sepakat (dengan diri sendiri) bahwa semua asatidz itu adalah Guru dengan keahlian masing-masing.

Contoh yang paling mudah, Ustaz Felix Siauw. Menurut saya, beliau bukanlah asatidz yang akan saya jadikan rujukan ketika mencari ijtihad ulama terkait ilmu agama. Bukan karena sanad keilmuan beliau yang belum saya telusuri dengan baik, melainkan pada tingginya sandaran rasio dalam banyak ceramah beliau.

Porsi logika yang ditawarkan beliau sebagai pendekatan penyelesaian masalah sayangnya seringkali justru melampaui ilmu Quran atau Hadis yang (bagi saya) mestinya lebih diutamakan oleh seorang ulama.

Kalau pun beliau menyebut ayat atau hadis, sekali lagi dijelaskan dengan logika “retorika bahasa” dan bukannya melalui perangkat ilmu diniyah yang proper, baik dalam lingkup tekstualnya dulu baru kemudian lingkup kontekstual.

Menurut saya, dengan audiens sebanyak ummat beliau, penjelasan dengan penjelasan akal seperti itu berbahaya sekali untuk orang awam seperti saya. Apalagi dengan kemampuan komunikasi beliau yang masyaallah.

Bukan nggak mungkin audiens beliau yang masih belia akan menelan ceramah logika beliau (yang sometimes blunder) mentah-mentah. Kalau penasaran ceramahnya seperti apa, silakan cek akun YouTube beliau.

Salah satu yang menurut saya berbahaya adalah tanggapan beliau perihal siapa yang salah dalam pelecehan perempuan.

Meski begitu, bagi saya beliau tetaplah Guru yang darinya saya bisa banyak belajar. Dua keahlian beliau yang menonjol menurut saya adalah kemampuan berceramah dan mengorganisasi anak muda.

Poin pertama, seperti sedikit saya bahas sebelumnya, adalah tentang kemampuan retorika beliau yang masyaallah. Alhamdulillah saya beberapa kali berkesempatan mengikuti kajian beliau secara langsung, dan merasakan betapa kata-kata yang beliau himpun bisa begitu hebatnya memantik ghirah juang ummat.

Beliau ini, menurut saya, tipikal ustaz motivator yang baik. Ketika menyampaikan kabar gembira, akan disambut penuh sukacita. Begitu pula ketika menyampaikan peringatan (yang oleh beberapa orang disebut menakut-nakuti) akan disambut dengan semangat perlawanan.

Menurut saya, potensi orasi Ustaz Felix Siauw bagus sekali. Saya bayangkan jika beliau berkenan sesekali mengajak ummatnya di aksi Kamisan atau demonstrasi menolak pertambangan dan perusakan lingkungan, masyaallah! Betapa semangat ummat untuk benar-benar melawan tiran dari bawah akan bergelora menggetarkan arsy, insyaallah.

Potensi kedua yang saya pelajari dari Ustaz Felix Siauw adalah kemampuan beliau mengorganisasi kelompok anak muda untuk berdakwah kreatif di media baru. Sebenci apapun kalian dengan beliau, kalau mau gentle harus diakui tim dakwah beliau keren sekali dalam memproduksi video, poster, film pendek, bahkan animasi yang auto-viral.

Sebagai studi kasus, sebut saja tim dakwah Hijab Alila, brand milik Ustaz Felix Siauw (dan tim). Saya lumayan mengikuti mereka dari awal muncul dan masih norak tapi mahal (harga bajunya), sampai sekarang sudah elegan dan tetap mahal (kualitas grafisnya) hehe.

Bukan hanya Hijab Alila sebagai brand, anak didik Ust Felix Siauw yang aktif berdakwah secara personal di media sosial (utamanya Instagram) juga banyak sekali, dan karena berjejaring, setiap konten personal ini akan disebarkan teman-teman jaringan kelompoknya. Jadi ya auto-viral.

Sedihnya, sebagaimana gurunda mereka yang (menurut saya) somehow suka kepleset logika, anak-anak didik Ustaz Felix Siauw yang masih muda, beda, dan bergelora ini juga sering nggamashook. Karena tips viral salah satunya adalah membahas kabar yang sedang hits, termasuk menanggapi video. Kadang argumentasi yang disampaikan seringkali “oke aja belum”—karena mungkin untuk mengejar momentum.

Salah satu contoh logika blunder yang hits adalah ketika menanggapi video Gitasav, didukung dengan para fans yang segera menyerang Gitasav secara personal padahal menangkap maksud (dengan menonton keseluruhan videonya) saja tidak.

Meski begitu, semangat anak-anak muda ini, harus diakui, masyaallah sekali. Kemampuan digital grafis mereka juga keren, daya kreatifnya nggak perlu diuji lagi lah. Tentu saja ini tidak terlepas dari keberhasilan Ustaz Felix Siauw dalam menghimpun dan memberdayakan potensi mereka di jalan yang baik.

Hanya saja (menurut saya), konten yang disampaikan, ketika berisi topik yang membutuhkan dialektika intelektual keagamaan yang lebih dalam biar bisa mantul—harus diakui—masih sangat kurang.

Kepada anak-anak muda ini, saya berharap mereka bisa mendapat akses belajar pada ulama dengan keilmuan dinniyah-nya lebih mumpuni. Sehingga konten yang dihasilkan bisa naik kelas.

Saya yakin jika teman-teman ini memiliki akses belajar kitab dengan tekun, bukan tidak mungkin mereka bisa memproduksi short movie yang terinspirasi kitab Ihya’ untuk milenial.

***

Ketika “mengkritik” ustaz popular seperti Felix Siauw, para fans yang tidak terima akan berujar tidak suka: Siapa kamu berani menyebut guru kami bukan ulama? Kamu sudah berkontribusi apa untuk ummat? Apa hakmu membuat definisi seseorang hanya bisa disebut penceramah?

Padahal sebagai ummat jelata pun, saya merasa punya hak untuk memilih ulama. Semua orang bisa menjadi motivator islami, tapi tanpa set of islamic knowledge tertentu seseorang tidak bisa begitu saja berijtihad menafsirkan Quran dan Hadis dengan akalnya, hanya karena audiens medsos memanggilnya sebagai Ustaz.

Di zaman Nabi, kita memiliki banyak keteladanan Sahabat. Ada yang menjadi Guru dalam kesabaran, ketaatan, kecintaan pada Allah dan Rasulullah. Tapi kalau membaca Sirah, tidak semua Sahabat (generasi terdahulu) ikut berijtihad dalam setiap putusan syariat.

Itulah kenapa orang berilmu (ulama) disebut Allah ditinggikan beberapa derajat. Itulah kenapa dalam Islam penasihat keagamaan dan hakim juga ulil amri tidak sembarangan dipilih hanya karena “saleh”. Sebab banyak orang saleh di zaman Nabi, tapi tidak semua naik ke mimbar.

Ini bukan perkara “tidak menganggap seseorang sebagai ulama hanya karena tidak memiliki gelar keilmuan agama” sebagaimana argumen yang sering disuarakan beserta nasihat bijak untuk tidak melihat nasihat dari siapa yang menyampaikan.

Ini hanyalah bentuk kehati-hatian dalam “memilih” tafsir agama di zaman banjir informasi. Sebab semua bisa menjadi guru, tapi tidak semua guru memiliki kapasitas untuk berijtihad sebagai ulama.

Exit mobile version