Jika Anda sempat mampir atau sekadar melintas di dekat Jogja National Museum—tempat dilangsungkannya pagelaran Mandiri ArtJog 9—Anda akan melihat sebuah mercusuar yang di puncak tertingginya terdapat semacam antena berputar dengan kilatan lampu sorot berwarna biru dan putih. Anda mungkin akan menduga itu seperti UFO. Anda tak salah: Benda tersebut memang “UFO” hasil rekayasa Venzha Christiawan.
Saya menemui Venzha di ruang pameran instalasi yang terletak di salah satu sudut pelataran Mandiri ArtJog 9, pada malam itu, Rabu (15/06/2016). Kala itu, pemuda berambut gimbal tersebut tengah asyik berbincang dengan dua orang rekannya di anak tangga. Suasana berlangsung santai, meski kesan letih di wajahnya jelas tampak.
“Monggo, Mas. Di sini aja, ya. Biar ga formil-formil banget,” katanya kepada saya sambil mempersilakan duduk.
Sebelum memulai perbincangan, saya sempat tertegun cukup lama memperhatikan mercusuar karyanya tersebut. Dengan tinggi yang menjulang hingga 36 meter dan dilengkapi dengan perangkat lampu suar yang jangkauannya mencapai 10 kilometer, cukup sulit bagi saya untuk tak terpukau dan kebingungan sekaligus. Saya pun memulai pertanyaan dengan selugu mungkin.
“Ini sebetulnya apa tho, Mas? Kok kaya UFO?”
“Pada dasarnya ini semacam radio astronomi yang berfungsi seperti teleskop untuk menangkap frekuensi, serta teleskop. Gagasannya mencontoh sejumlah lembaga independen yang mengeksplorasi data dari ruang angkasa.”
Mendengar penjelasan pria kelahiran tahun 1975 tersebut, saya hanya bisa mengangguk-angguk sok paham. Radio astronomi? Menangkap frekuensi? Ini “art” atau kursus singkat menjadi astronot gagal terbang?
Secara garis besar, karya Venzha tersebut merupakan mercusuar yang disertai dengan instalasi kinetik berbentuk blower berdiameter 2,5 meter dan dalamnya 50 meter. Satu antena yang dipasang di menara setinggi 36 meter dan satu kelompok antena yang dipasang di atas berfungsi sebagai alat penangkap sinyal dan frekuensi.
Untuk memperjelas rekaman frekuensi yang didapat, Venzha telah menyiapkan 12 televisi, simulasi, dan animasi bergerak tentang karyanya. Pengunjung jadi akan mendapatkan pengetahuan tentang radio astronomi, cara mengaksesnya, dan cara membuatnya. Karya Venzha itu sejalan dengan tema Mandiri ArtJog 9 kali ini yang mengusung tema “Universal Influence”.
Ia menamai karyanya tersebut dengan tajuk Indonesia Space Science Society atau ISSS. Bagi Venzha, ISSS disebut sebagai institusi atau semacam platform yang menghubungkan masyarakat dengan ilmu pengetahuan tentang ruang angkasa. Adapun ide ini telah dipersiapkannya sejak enam tahun lalu.
Meskipun telah mendapat penjelasan yang cukup komperhensif dari Venzha, keluguan saya toh tetap tak hilang. Selama ini saya hanya mengetahui bahwa “art” itu sebatas lukisan, patung, atau berbagai medium perangsang imajinasi yang secara filosofis menghadirkan kenikmatan spiritual belaka. Tak lebih dan tak kurang.
Maka saya pun kembali penasaran. Jika ditanya ihwal kategorisasi, kemanakah kiranya karya Venzha ini cocok ditempatkan? Ia menjawab mantap: “Space art!”
“Lho kategori itu memang ada tho, Mas?”
“Ya dibikin saja sendiri. Kalo bukan ‘space art’, lantas apalagi? Masalah kategori yang paling mendekati ya ini,” ucapnya sambil terkekeh.
Minatnya dalam “Space Art” rupanya sudah didalami Venzha sejak cukup lama. Pada 2006 lalu, misalnya, ia pernah mendapatkan kesempatan mengikuti event “Pacific Rim Grant for Telematic Technology” di University of California, Amerika Serikat. Setahun sebelumnya, 2005, jebolan desain interior ISI tahun 1996 ini juga menjadi peserta terpilih dalam Transmediale 05, ‘BASICS’, Jerman—sebuah pagelaran seni rupa yang juga penting dan berskala dunia.
Bersama rekan-rekannya yang juga memiliki minat sama, Venzha juga mendirikan kelompok The House of Natural Fiber (HONF), Yogyakarta New Media Art Laboratory”: Sebuah kelompok yang bergerak dalam kreativitas seni dan teknologi. Suatu wacana kebersenian yang berada dalam lingkup “New Media Art”.
“Setiap karyamu itu memang selalu gigantis seperti ini ukurannya, Mas?”
“Seringnya sih iya.”
“Yang paling besar ini?”
“Oh, enggak. Waktu saya pameran di Jepang, saya pernah membuat semacam simulasi tata surya dengan menggunakan ruang dengan luas 22 X 22 meter. Juga dengan sekian peralatan dan teknisi mencapai 12 orang. Belum yang lain-lainnya, ya.”
“Itu bikin berapa lama?”
“Dua bulan.”
“Pengerjaannya di sana semua?”
“Iya.”
Dengan wilayah kebersenian yang kerap bersinggungan dengan media besar dan peralatan banyak, Venzha tentu saja acap kesulitan mencari biaya. Maka tak heran, dalam setiap pembuatan karya, Venzha memakan waktu cukup lama, salah satunya untuk memastikan kelancaran operasional terlebih dahulu. Terlebih, katanya, ia menyadari setiap karyanya cukup sulit untuk dikomersilkan.
“Saya rasa cukup enggak mungkin jika ada orang datang melihat karya saya yang di ArtJog kali ini terus ingin membelinya, hahaha…”
Ketika saya menyinggungnya dengan isu terkait penempatan karyanya sebagai commissioned artists yang berada di belakang venue, bukan di depan, Venzha tak merasa ada masalah sama sekali. Bahkan, katanya, justru dengan penempatan yang di belakang, ia bisa lebih leluasa berbincang dan menjelaskan lebih detail kepada pengunjung Mandiri ArtJog 9.
“Enggak masalah, Mas. Di belakang saya kira lebih asyik karena bisa ngobrol lebih banyak sama pengunjung, karena karya saya ini kan perlu penjelasan panjang juga,” ujarnya.
Menjelang pamit, saya sempat bertanya, dengan pendekatan yang senjlimet ini, apakah karyanya tersebut termasuk “karya seni”? Bagaimana respon orang-orang terkait estetikanya?
“Kalo diukur soal estetika, tentu saya tak dapat berbuat apa-apa. Tapi kalo ini bukan disebut karya seni, kok ya rasanya bodoh amat yang bilang begitu. Yang saya lakukan kan menangkap respon alam. Dan alam adalah karya seni paling agung lho.”
Dari wawancara singkat dengan Venzha, ada beberapa poin yang saya tangkap. Pertama, prinsip berkarya yang “tak biasa” dalam kacamata kesenian Indonesia. Kedua, totalitasnya sebagai seniman dalam mempertahankan eksistensinya cukup “ajaib”. Saya kira, Venzha adalah salah satu potret seniman yang memiliki kemandirian dalam bersikap juga berkarya. Sebuah jalan yang barangkali cukup sulit ditempuh bagi sebagian orang tapi acap dianggap mudah bagi mereka yang lain.
Disclaimer: Tulisan ini termasuk dalam #MojokSore. Mojok Sore adalah semacam advertorial yang disajikan oleh tim kreatif Mojok yang dikenal asyik, jenaka, dan membahagiakan. Bagi Anda yang mau mempromosikan produk-produk tertentu, silakan menghubungi [email protected].