MOJOK.CO – Sipil kini sendirian karena pemerintah saat ini semakin menunjukkan bahwa mereka tidak peduli kepada kegelisahan warganya.
Masyarakat sipil kini sendirian. Kesadaran itu muncul setelah saya mendengar celetukan Hasan Nasbi. Dia adalah Kepala Kantor Komunikasi Presiden RI.
Hasan dengan enteng merespons teror kepala babi yang diterima oleh Tempo. “Udah, dimasak aja.” Tepat di saat itu, saya merasa sipil kini sendirian.
Meskipun, sampai saat ini, belum ada bukti siapa yang menjadi pelaku teror tersebut. Namun, respons Hasan, seorang perwakilan pemerintah, adalah hal yang sangat berbahaya. Kita tidak bisa lagi berharap keamanan dan keadilan dari pemerintah. Oleh sebab itu, kini kita hanya punya satu sama lain untuk memperjuangkan hak kita di negeri sendiri.
Hasan adalah kepala sebuah lembaga. Tidak main-main, dia adalah representasi arahan, keinginan, ekspektasi, pesan, dan komunikasi publik Presiden Prabowo. Khususnya untuk rakyat dan negaranya.
Namun, dia malah seperti menyangkal adanya teror terhadap kebebasan pers. Bahkan kita bisa memaknainya sebagai ancaman pembunuhan terhadap jurnalis. Hasan tidak punya kesadaran untuk merespons hal ini dengan serius. Yah, minimal, berempati.
Tidak ada empati untuk sipil
Pernyataan nirempati lainnya untuk sipil berkali-kali terucap oleh Presiden Prabowo dan para pejabat di kabinetnya. Misalnya dalam perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-17 Partai Gerindra pada 15 Februari 2025.
Presiden Prabowo, dalam pidatonya, mengalamatkan kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kabinet gemuk dengan ucapan ndasmu. Dalam Bahasa Jawa, kata ndasmu adalah sebuah makian yang bermakna ‘kepalamu’.
Beberapa waktu lalu saat tagar #IndonesiaGelap berkumandang di ruang publik, alih-alih memberi jaminan dan optimisme, Presiden Prabowo justru memandang sinis. Dia bilang, “Yang melihat Indonesia gelap itu siapa?”
Lebih parah, Ketua Dewan Ekonomi Nasional RI, Luhut Binsar Panjaitan, merespon dengan ketus. Dia bilang: “Kau yang gelap”.
Terbaru, Presiden Prabowo berseloroh: “Biarkan anjing menggonggong, kita maju terus.” Kalimat ini meluncur saat dia menyinggung adanya pihak yang berkomentar buruk terhadap masa depan Indonesia.
Kenapa pejabat suka mengecilkan rakyatnya?
Mengapa presiden dan pejabat tinggi negara mudah sekali merespons kegusaran publik dengan tindak dan ucap yang cenderung mengecilkan sipil dan rakyatnya sendiri? Saya melihat pola yang lebih gawat dari komunikasi publik pemerintah yang buruk, yaitu ketiadaan rasa takut akan timbulnya sanksi sosial dari masyarakat.
Tidak ada manusia yang secara sadar berjalan tanpa busana di sebuah pusat perbelanjaan. Hal ini karena terdapat rasa malu yang besar membayangi individu atas tindakan tersebut.
Secara ilmiah, penelitian membuktikan bahwa perilaku manusia telah tunduk pada jenis kontrol pribadi internal, bahkan sebelum kontrol sosial berperan. Setiap orang cenderung sudah membayangkan ancaman isolasi sebelum fakta isolasi.
Membayangkan sanksi/isolasi sosial saja sudah mendorong orang untuk memperbaiki perilaku yang bertentangan dengan aturan, yang menyimpang dari konsensus masyarakat. Ini jauh sebelum kontrol sosial eksternal dilakukan oleh kolektif. Bahkan jauh sebelum kolektif mengetahui pelanggaran yang dimaksud. Inilah yang dimaksud sosiolog dari Amerika Serikat (AS) George Herbert Mead sebagai “interaksi simbolik” (Kaid, 2004).
Pejabat Indonesia tidak punya kontrol pribadi atas sipil
Dalam konteks pemerintah hari ini, tersirat pola bahwa mereka tidak memiliki kontrol pribadi atas sipil. Khususnya untuk mampu bertindak/merespons dengan bayangan rasa takut akan mendapatkan isolasi sosial. Dengan kata lain, mereka tidak mengontrol diri dalam merespons.
Terdapat beberapa kemungkinan. Bisa jadi mereka tidak peduli dengan sanksi sosial. Bisa pula karena mereka merasa sadar betapa besar skala kekuasaan mereka sehingga tidak akan ada sanksi sosial yang fatal bagi mereka.
Dalam survei kepuasan masyarakat pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran dari Litbang Kompas, menunjukkan lebih dari 80% responden mengutarakan kepuasannya terhadap kinerja Prabowo-Gibran. Hasil ini sangat lumrah membuat pemerintah semakin percaya diri dan mengaburkan rasa takut terkena sanksi sosial atas sipil.
Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di tengah protes besar-besaran dari sipil seluruh penjuru negeri pun tidak menyurutkan ambisi pemerintah untuk menggolkan secepat kilat. Langkah ini juga seolah mengkonfirmasi bahwa pemerintah tidak memiliki ketakutan atas sanksi sosial yang terjadi.
Mengenali ciri pemimpin
Sikap-sikap politik ini, oleh Gideon Rachman (2022) disebut sebagai strongman politics. Dalam bukunya The Age of the Strongman: How the Cult of the Leader Threatens Democracy around the World (2022), Rachman mengelaborasi 4 karakter pemimpin strongman.
pertama, menciptakan kultus kepribadian. Kedua, tidak suka dengan supremasi hukum. Ketiga, klaim bahwa mereka merepresentasikan rakyat dan bukan elite (populisme). Keempat, politik yang menyebarkan rasa takut dan nasionalisme.
Ciri pertama bisa terlihat dengan Presiden Prabowo yang mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dan nasionalis dalam setiap pidato publiknya. Bukti ciri kedua yang menyepelekan supremasi hukum adalah mengeluarkan sejumlah keputusan yang bertentangan dengan konstitusi. Misalnya pengangkatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet hingga penunjukkan jenderal TNI aktif untuk mengisi jabatan publik, yaitu Mayjen Novi Helmy sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).
Ciri ketiga dan keempat bisa terlihat dari banyaknya pernyataan Presiden yang menyebut “demi rakyat”, “rakyat harus sejahtera”, “koruptor akan saya kejar sampai ke Antartika”, “Indonesia akan menjadi negara hebat”, dan lain sebagainya.
Catatan kelam perlakuan pemimpin kepada sipil
Melihat ciri-ciri tersebut, Prabowo sangat mungkin untuk disandingkan dengan nama-nama strongman lainnya dari berbagai belahan dunia. Misalnya seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Filipina 2016-2022 Rodrigo Duterte, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Brazil 2019-2022 Jair Bolsonaro, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, dan pemimpin lainnya yang memiliki catatan hak asasi manusia yang cenderung kelam.
Bencana dari era strongman adalah rusaknya demokrasi serta tertindasnya supremasi hukum dalam bernegara. Apalagi kepada kemerdekaan sipil yang kini sendirian.
Melihat realita ini, baru kali ini saya merasa berada di titik terendah pesimisme sebagai warga sipil. Para orang tua kita belum sembuh dari trauma Orde Baru yang saat itu saya masih terlalu kecil untuk merasakannya. Namun hari ini, saya seolah bisa merasakan kekhawatiran yang sama akan perilaku pemerintahan Orde Baru yang hanya saya baca dari literatur-literatur.
Semoga ini hanya kecemasan saya sebagai warga sipil yang berlebih. Saya berharap pandangan dan analisis saya di atas adalah sebuah kesalahan.
Namun, satu hal yang pasti, masyarakat sipil harus saling jaga. Kita hanya punya satu sama lain, karena perilaku pemerintah saat ini hanya memperjelas ketidakpedulian mereka atas kegelisahan rakyatnya.
Penulis: Intan Bedisa
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jerat Warisan Bahasa Orde Baru dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.