MOJOK.CO – Menggunakan metode Pramoedya Ananta Toer, kita perlu menggugat Perjanjian Giyanti. Perjanjian yang terasa sungguh ganjil.
Perjanjian Giyanti yang berlangsung hampir 3 abad masih menyisakan sejumlah pertanyaan mendasar. Salah satunya kenapa perjanjian itu dilakukan di bawah pohon terbuka? Mari mengajukan Metode Pramoedya Ananta Toer untuk mendapatkan jawaban.
Tepat pada 13 Februari 2025, Perjanjian Giyanti berusia 270 tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Namun, selama itu pula, ada nggak, sih, yang bertanya kenapa perjanjian tersebut dilakukan di bawah pohon beringin di tengah sawah? Mengapa perjanjian sepenting itu tidak dilakukan di kawasan kerajaan atau benteng milik VOC atau minimal di rumah warga?
Pikiran semacam itu memukul-mukul isi kepala tatkala saya dan 5 kawan sedang melakukan perjalanan bermotor ke Blora menyambut Seabad Pramoedya Ananta Toer yang digelar pada 6 Februari. Dalam perjalanan yang bertajuk “Pramoedya Ananta Toering”, secara tak sengaja kami melipir ke situs Perjanjian Giyanti seusai berziarah di makam Amir Sjarifuddin di Ngaliyan.
Di bawah pohon beringin, di tengah sawah
Betapa terkejutnya saya. Pasalnya, dalam iring-iringan motor, saya yang berada di barisan terakhir, melihat kawan-kawan lain berbelok ke arah situs itu. Awalnya, saya kira tempat tersebut semacam kuburan pahlawan atau tokoh yang dikeramatkan. Ternyata, sebuah petilasan.
Selama 4 tahun belajar sejarah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta, baru kali ini saya menginjakkan kaki di tempat “sakral” ini. Selama ini, saya memahami lokasi pembagian wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi 2 hanya dari teks buku.
Di lokasi sakral ini tumbuh 2 pohon beringin tua yang rindang. Akarnya membelit ke mana-mana, termasuk memeluk batu berbentuk bulat tak beraturan. Di bagian tengah, terdapat batu menyerupai meja. Batu itulah yang diklaim sebagai alas di mana perjanjian diteken.
Munculnya Perjanjian Giyanti
Sekilas, Perjanjian Giyanti muncul bukan tanpa sebab. Perjanjian ini lantaran Pakubuwana III, anak dari Pakubuwono II yang memiliki nama kecil Raden Mas Suryadi, merasa terusik dengan Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwono II, yang meminta jatah tanah kerajaan.
Gara-gara permintaan yang tidak dituruti, Mangkubumi akhirnya ikut bergabung dengan kubu Raden Mas Said yang telah melakukan pemberontakan lebih dulu. Pemberontakan ini kemudian membuat Pakubuwana III merasa ketar-ketir. Dia tentu khawatir statusnya sebagai raja bakal dikudeta oleh pamannya.
Hingga akhirnya, Pakubuwana III merasa perlu mengamankan status quo. Perjanjian dengan sang paman pun dibikin.
Melihat konflik keluarga kerajaan ini, perusahaan dagang asal Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), ikut cawe-cawe dan nimbrung. Dengan kata lain, VOC bertindak sebagai pihak ketiga.
Berlokasi di Dusun Kerten, Kelurahan Jantiharjo, Karanganyar, tercetuslah kesepakatan yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Garis demarkasi dua kerajaan ini adalah Sungai Opak.
Di bagian timur sungai tersebut wilayah milik Pakubuwana III yang berpusat di Surakarta. Sedang, di bagian barat sungai, tanah diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Sosok inilah yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono, raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta.
Metode Pramoedya Ananta Toer
Sampai di situ dulu cerita sejarahnya karena esai perjalanan ke Blora ini sesungguhnya tentang sosok Pramoedya Ananta Toer dan bukan hafalan apa isi Perjanjian Giyanti.
Pramoedya Ananta Toer dihadirkan di sini tentu saja bukan pihak keempat setelah VOC. Pram menarik ditampilkan justru sebagai metode karena betapa ganjilnya lokasi perjanjian yang punya konsekuensi serius atas keutuhan Kerajaan Mataram. Bayangkan, siapa yang bisa menjawab mengapa perjanjian sepenting itu dilakukan di bawah pohon, di tengah sawah pula?
Bayangkan, 2 elite bangsawan janji ketemuan di tempat sangat jauh dari tembok kerajaan. Mengajak-ajak pihak VOC lagi. Jelas ini bukan acara darma wisata ke pinggiran kota, menikmati wisata agraris di tengah perladangan yang jauh dari rumah penduduk.
Demistifikasi Pram
Metode Pramoedya Ananta Toer yang saya maksudkan adalah demistifikasi. Sebuah ikhtiar untuk membabat unsur-unsur “gaib”, “ganjil”, dan “mistikal” dalam penarasian sejarah. Pram adalah sastrawan linuwih dan ahli mempergunakan pisau demistifikasi ini dalam membaca ulang premis sejarah yang kadung diterima apa adanya tanpa tanda tanya serius.
Dengan metode Pramoedya Ananta Toer, kita bisa simulasikan jalannya Perjanjian Giyanti ini. Pihak pertama perwakilan dari Pakubuwana III beserta rombongan. Pihak kedua adalah mereka yang berada di dalam sirkel Mangkubumi. Lalu, pihak ketiga, bisa disebut sebagai saksi, adalah VOC.
Lalu, perjanjian pun direncanakan dan perlu waktu dan lokasi musyawarah. Dipilihlah titik di bawah pohon beringin yang berada di Dusun Kerten itu.
Perkara tempat ini sangatlah mengganggu. Dusun Kerten ini tak ada istimewanya. Bukan tempat yang keramat. Atau, misalnya, punya jejak leluhur Mataram yang lebih jauh. Atau juga, kawasan ini bukan wilayah yang secara transportasi mudah dilewati karena tak ada jejak pabrik perkebunan di sini.
Belum lagi masalah jarak. Dari Kasunanan Surakarta hingga ke lokasi perjanjian itu bukan main jauhnya. Kalau membuka Google Map, ketemu angka 19 kilometer. Jarak sejauh itu bukan perkara enteng yang ditempuh dengan jalan kaki atau berkendara dengan bendi. Belum lagi, bangsawan yang terbiasa dengan budaya tandu sangat sulit diajak kegiatan yang membutuhkan keringat dan kesukaran.
Untuk 2 hal itu saja, lokasi dan jarak, titik situs Perjanjian Giyanti itu sulit diterima. Makin absurd kalau kita tambahkan soal waktu. Apakah pihak-pihak yang berjanji itu tidak memikirkan bahwa Februari dalam kalender perubahan musim di Jawa dan sekitarnya masih berada dalam musim penghujan.
Bayangkan saja, saat perjanjian berlangsung secara outdoor, eh, tiba-tiba turun hujan lebat. Betapa berisikonya.
Subjek yang perlu dipertanyakan
Demistifikasi ala Pramoedya Ananta Toer menjadikan “Perjanjian Giyanti” bukan saja sebagai sebuah peristiwa sejarah, tetapi subjek yang mesti dipertanyakan. Apakah situs perjanjian itu adalah lokasi yang fiks atau hanya simbolisasi yang dibikin jauh belakangan sebagai sebuah monumen yang artinya bisa dipindah di mana saja. Atau, monumen itu sekadar gimik agar ada “sertifikat luar ruang” yang bisa dilihat semua orang. Entahlah.
Sastrawan yang diperingati dalam #SeabadPram memberi kita keberanian berlipat-lipat mempertanyakan apa saja yang tak beres. Apalagi, hal itu dikeluarkan oleh penguasa. Pramoedya Ananta Toer getol menolak segala sesuatu yang berbau ketidakjelasan. Hal-hal mistik dan mitos ia sapu bersih dari jagat berpikirnya.
Di atas jok motor yang keras, saya ingat paragraf Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995):
“… lebih seribu tahun lamanya wayang mengajarkan: bahkan para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan, dan: korup! Apalagi brahmin, satria, waisyia dan sudra. Dan paria tak lain dari ujung terakhir deret hitung.”
Saya ulangi, dewa saja bisa salah, apalagi raja, terlebih lagi sultan.
Pemikiran Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer, secara demonstratif, mengupayakan demistifikasi sejarah itu pada cerita Arok Dedes dan Mangir.
Pram mengajak pembaca untuk memahami bahwa bukanlah kesaktian keris Empu Gandring yang membikin Tunggul Ametung dikudeta Arok. Empu Gandring, dalam pembacaan Pram, adalah pemilik pabrik persenjataan. Siapa yang menguasai senjata dan logistik, dia yang berkuasa.
Begitu juga dalam penceritaan Mangir, Pramoedya Ananta Toer lagi-lagi melabrak apa yang disampaikan dalam cerita babad. Ini menurutnya sama sekali tidak masuk akal. Upaya demistifikasi cerita Mangir ini terlihat dari sosok Baru Klinting.
Dalam cerita yang beredar umum di masyarakat yang kemudian didukung budaya pop film seperti Banteng Mataram (1983), Baru Klinting adalah nama tombak sakti Ki Ageng Mangir Wanabaya. Tetapi, Pram justru menganggap Baru Klinting adalah sosok panglima perang alias tangan kanan Ki Ageng Mangir.
Begitulah, memperingati seabad hadirnya Pramoedya Ananta Toer dengan segenap karya tulisnya yang menggugah pikiran sekaligus usaha kita mengkaji metode kerjanya dalam berhadapan dengan sejarah masa lalu. Pram tak ada keraguan untuk menyiangi segala gulma yang membelit pohon sejarah.
Jadi, apa kabar dengan situs Perjanjian Giyanti? Siang itu, kami terus bermotor ke timur, ke Blora, sembari memikirkan kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang ini: “… bahkan, dewa pun bisa tolol dan korup.”
Penulis: Sunardi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pramoedya Ananta Toer dan Soeharto: Blora yang Berjarak 115 Kilometer dari Astana Giribangun dan pemikiran menarik lainnya di rubrik ESAI.